Jangan Bandingkan Pak Jokowi Dengan AHY, Itu Bagaikan Langit Dan Sumur

Oleh: Saiful Huda Ems

(Ketua Departemen Komunikasi dan Informatika Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat kepemimpinan Dr. H. Moeldoko)

Saya heran bagaimana bisa Andi Nurpati yang merupakan Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat Cikeas mengatakan "Politik tidak memandang Mayor dan Jenderal" lantas membandingkan AHY dengan Presiden R.I Joko Widodo (Jokowi), yang dikatakannya meskipun bukan Jenderal Pak Jokowi bisa menjadi Walikota, Gubernur hingga kemudian menjadi Presiden. Ini jauh banget membandingkannya, seperti langit dan sumur.

Pak Jokowi itu dari kecil ditempa dengan kehidupan yang sulit dan keras, pernah pindah-pindah tempat tinggal karena rumah orang tuanya digusur, dan yang terutama lagi Pak Jokowi yang lahir dari keluarga sederhana itu selalu menyelesaikan persoalannya dengan usahanya sendiri. Untuk menjadi Presiden, Pak Jokowi juga memulainya dari bawah, dari tukang kayu sampai jadi pengusaha, lalu jadi Walikota, jadi Gubernur hingga jadi Presiden. 

Kalau di Militer gitu pangkatnya Pak Jokowi itu sudah selesai dari Bintang Empat, mengingat prosesnya untuk menjadi pemimpin yang ditempuh Pak Jokowi itu sangat panjang dan lama. Sudah terbiasa merasakan pahit, getirnya hidup hingga jiwa leadershipnya tumbuh mendewasa dan matang. Pun demikian dengan Pak Dr. Moeldoko yang sudah pernah menjadi Pangdam, KASAD, Panglima TNI hingga jadi Kepala Kantor Staf Presiden dan kemudian menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Demikian pula dengan jenjang karier akademisnya Pak Moeldoko hingga beliau lulus dan menjadi doktor.

Ini berbeda jauh dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang baru berpangkat Mayor tapi sudah lari duluan demi mengejar jabatan untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta, tragisnya gagal lagi jadi Gubernur DKI Jakarta. AHY itu juga anak sulung mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hidupnya pasti sangat dimanja dan menikmati kekayaan orang tuanya yang berlimpah. Makanya ketika AHY menjadi Ketua Umum Partai Demokratpun ia masih selalu dijagain atau dipapa orang tuanya. Bahkan untuk berorasipun AHY selalu disiapin teks agar AHY bisa berorasi mengikuti petunjuk ayahnya yang tertuang di teks pidato yang dibacanya. Jika tanpa teks, pidato AHY akan ngalor ngidul tidak nyambung seperti bicaranya Vicky Prasetyo dulu itu.

Selain itu AHY juga belum pernah diuji jiwa dan kualitas kepemimpinannya dari tingkat bawah, seperti yang dialami oleh Presiden Jokowi dan Kepala Staf Kepresidenan Pak Moeldoko. AHY ujug-ujug jadi Ketua Umum Partai Demokrat dan ujug-ujug mau nyalonin Presiden. Itu rumus politik dari mana? Makanya banyak senior Partai Demokrat yang mengatakan,"AHY itu tidak pernah mendaki, tapi tiba-tiba ada di puncak". Ini kan bahaya sekali, sangat beresiko bagi masa depan bangsa ini, jika saja nantinya AHY jadi Capres. 

Oleh karena itu dukungan untuk AHY agar bersedia menjadi Calon Gubernur DKI 2024 itu sebenarnya sudah merupakan suatu kehormatan tertinggi baginya, sebab sebenarnya kami sadar AHY pantasnya dicalonkan jadi Camat atau Bupati di Pacitan, namun karena kami kasihan ya akhirnya kami setuju kalau AHY dicalonkan saja jadi Calon Gubernur DKI Jakarta 2024. Kalau AHY menang ya syukur kalau kalah ya tidak masalah, karena saat AHY pernah dites untuk maju menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta 2017 lalu, meskipun para pendukungnya seluruh Indonesia dikerahkan ke Jakarta, toh AHY tetap kalah saja, dan pidato ayahnya (SBY) tidak didengar oleh rakyat yang dahulu menjadi pemujanya. Mungkin saja rakyat sudah bangkit kesadarannya, hingga tidak mau tertipu untuk kesekian kalinya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama