Oposisi Yang Tak Bervisi Dan Yang Semakin Kehilangan Orientasi

Oleh: Saiful Huda Ems (SHE)

(Lawyer dan Pemerhati Politik, serta salah satu pelopor penggagas terwujudnya sistem Multi Partai di Indonesia menjelang dan paska tergulingnya Rezim Soeharto)


Di zaman Orde Baru (Orba) oposisi sangat digemari oleh kalangan muda, mahasiswa hingga kalangan tua terutama bagi mereka yang berpikiran kritis dan militan, olehnya organisasi-organisasi kemasyarakatan di zaman Orba terlebih Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Non Governenmental Organization (NGO) mendapatkan apresiasi tersendiri di hati masyarakat. 

Semua kiprah dan pergerakan LSM maupun NGO selalu didukung dan ditunggu-tunggu oleh masyarakat kala itu, terlebih bagi masyarakat yang terdampak langsung oleh kebijakan Pemerintahan Orba Soeharto yang saat itu sangat menyengsarakan mereka. 

Ini semua terjadi karena dua Partai Politik (PDI dan PPP) serta Golongan Karya (GOLKAR) yang saat itu masih malu-malu menyebut dirinya sebagai Partai Politik, tidak bisa memungsikan dirinya sebagai penyalur apalagi pejuang aspirasi rakyat. Baru di menjelang akhir kepemimpinan Soeharto, muncul fenomena baru, yakni MEGA BINTANG melalui tokohnya Moedrik M Sangidu di Solo berhasil menggabungkan kekuatan dua parpol (PDI dan PPP), untuk menjadi kekuatan oposisi melawan Pemerintahan Soeharto yang didukung oleh masyarakat dari berbagai kota dan pelosok daerah. 


Oposisi memang sangat dibutuhkan oleh bangsa manapun yang telah memilih sistem Demokrasi, sebagai kekuatan penyeimbang agar roda pemerintahan tidak oleng dan terjebak pada absolutisme, militerisme dan sentralisme. Oposisi memang sangat dibutuhkan agar suara-suara kritis masyarakat kecil terus digaungkan, dan menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk memutuskan kebijakan strategis nasionalnya. Oleh karena itu, pemerintah yang berusaha membungkam suara oposisi, biasanya tidak akan pernah berumur lama, atau paling tidak ia masih akan bisa bertahan sekian tahun namun kemudian jatuh setelah mengalami kekeroposan di dalam, hingga polarisasi kekuatan internal akan berbenturan sendiri satu sama lainnya, dan berujung pada bersatunya mereka dengan kekuatan rakyat yang melawannya. 


Nampaknya Pemerintahan Jokowi sangat menyadari akan arti dan peran oposisi yang sangat signifikan seperti itu, olehnya seberapapun suara "miring" tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh-tokoh partai politik sangatlah diperhatikannya, diakomodirnya, hingga tidak heran Pemerintahan Jokowi juga sudah beberapa kali memberi anugerah penghormatan terhadap berbagai tokoh masyarakat dan politisi dengan berbagai ragam bentuknya, meskipun kadang hal itu telah menuai pro dan kontra di tengah masyarakat, khususnya dari kalangan pendukung Pemerintahan Jokowi sendiri. Contoh nyata dari itu adalah saat Presiden Jokowi memberi anugerah Bintang Mahaputra Nararya pada Fadli Zon, yang oleh kalangan pendukung Jokowi sendiri dianggapnya bukan tokoh oposisi, melainkan hanyalah seorang anggota dewan yang sukanya asal bersuara nyinyir. 


Tidak ada sama sekali maksud dari Pemerintahan Jokowi membunuh dan melenyapkan oposisi. Baik itu mereka yang bersuara "miring" pada Pemerintahan Jokowi dari kalangan politisi, budayawan, agamawan dan akademisi, semuanya telah diberi oleh Pemerintahan Jokowi kebebasan untuk bersuara dan mempertahankan eksistensinya. Karenanya Rizal Ramli, Fadli Zon, Rocky Gerung, Refly Harun, SBY, AHY, dll. hingga saat ini masih bebas bersuara sekeras apapun seperti maunya mereka. Tidak ada seorang Polisipun yang datang menjemput mereka, kecuali mungkin jika suatu saat apa yang disuarakan dan diperbuatnya sudah masuk pada kategori tindak pidana. Itulah yang sekarang terjadi pada beberapa tokoh kelompok Social Justice Warrior (SJW) yang semakin tahun tidak semakin dewasa dan matang dalam berpikir, melainkan malah semakin brutal dan menjadi-jadi, fitnah sana sini, membunuh karakter orang sana sini, menebarkan hoax dari hari ke hari hingga kemudian berurusan dengan Polisi. 


Oposisi di zaman Pemerintahan Jokowi ini sebenarnya bukanlah oposisi, melainkan sebuah gerombolan yang asal melawan dan tamak serta rakus akan uang, jabatan atau kekuasaan. Jika oposisi sejati di zaman Orba Soeharto menyuguhkan berbagai ide-ide alternatif untuk menjadi bahan perbandingan dari kebijakan pemerintah, maka oposisi di zaman Pemerintahan Jokowi ini hanya gemar menyuguhkan berita-berita hoax yang sarat provokasi bukan hanya yang akan berakibat terjadinya benturan antara rakyat dengan pemerintah, melainkan berpotensi membenturkan rakyat dengan rakyat, pemeluk agama satu dengan pemeluk agama lainnya, dst. Dari berbagai kajian yang saya lakukan, jika saya membuat suatu perbandingan antara oposisi di zaman Soeharto dan oposisi di zaman sekarang ini adalah sebagai berikut:


Dahulu di zaman Orba kaum oposisi gemar membaca buku, gemar membaca berbagai berita mulai dari surat kabar mainstream yang ternama, hingga surat kabar atau media-media alternatif (tabloid, jurnal kampus dll.), lalu mereka mendiskusikannya satu sama lain kemudian melebarkan sayap pengaruh pergerakan melalui pembentukan jaringan aksi di berbagai kota dan daerah hingga ke manca negara. Mereka juga gemar mendatangi langsung masyarakat yang menjadi korban kebijakan pemerintah, dan menjadi pagar betis perlindungan rakyat dari aksi kesewenangan-wenangan aparatur pemerintah (Polisi, Satpol PP dll.). Begitu juga beberapa politisi di Senayan yang masih memiliki wawasan kerakyatan dan memiliki komitmen juang, mereka akan datang dan menyatu dengan para pejuang demokrasi di lingkungan kampus hingga di grass root. Visi mereka jelas, orientasi perjuangan mereka jelas, terwujudnya Republik Indonesia yang lebih demokratis dan beradab !. Lalu bagaimana dengan oposisi di zaman sekarang?.


Oposisi di zaman sekarang tidaklah lagi diikuti oleh pejuang-pejuang demokrasi yang idealis dan militan, yang berani hidup apa adanya yang penting kehormatan diri tetap terjaga. Tidak lagi diisi oleh akademisi-akademisi sejati yang kredibel, beritegritas dan memiliki tanggung jawab moral tinggi untuk mencerdaskan mahasiswa-mahasiswa di kampusnya apalagi mencerdaskan masyarakat di luar kampusnya, melainkan diisi oleh akademisi-akademisi mantan pejabat yang merasa harus berbalas budi pada bapak Mangkrak, Bapak Taliban, Bapak Cendana dll. yang dahulu pernah membuatnya jadi pejabat terhormat, populer dan kaya raya. Olehnya sekarang mereka tak lagi menjadi oposisi dan pemikir sejati yang berdiri dengan gagah mempertanggung jawabkan segala argumentasi perlawanannya pada pemerintah, melainkan asal bicara nyinyir pada pemerintah hingga terdengar ke telinga si Bapak Mangkrak, Bapak Taliban dan Bapak Cendana disana. 


Beberapa minggu lalu saya terlibat debat kecil dengan seorang profesor, mantan pejabat dan tersohor, katanya:"Kanapa istana harus menumpas oposisi? Saya tidak suka !". Saya kemudian menjawab pada beliau dengan pertanyaan balik:"Apa buktinya pemerintah menumpas oposisi, Prof.? Lalu benarkah mereka oposisi? Mereka bukan kelompok oposisi melainkan kelompok provokator yang ingin berbuat makar pada pemerintahan Jokowi yang sah ! Saya sangat kecewa seorang profesor tersohor menilai sesuatu hanya dari rasa suka dan tidak suka, tetapi tidak dari proses kajian rasional dan ilmiah berbasis data dan fakta. Hemmm...betapa mirip lagunya dengan Bapak Mangkrak disana, "Tuhan tidak suka !"...(SHE).


Jakarta, 5 September 2021.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama