Kejaksaan Membuat Sejarah Baru: Tuntut Pidana Mati Terdakwa Kasus Korupsi PT ASABRI Heru Hidayat

Terdakwa Dinilai Terbukti Korupsi Rp 12,6 T Lebih Dan Karakteristiknya Sangat Jahat

Terdakwa Heru Hidayat 

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Belum sebulan didiskusikan Kejaksaan Agung RI tentang tuntutan pidana mati terhadap koruptor di negeri ini, Senin kemarin, 06 Desember 2021 sekira pukul 16:30 – 22:36 WIB, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, menuntut terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati.

Tuntutan JPU terhadap Heru Hidayat tersebut menurut Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan di Kejagung, Senin (6/12/2021), dibacakan dalam sidang Pengadilan Tipikor Jakarta. pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas IA Khusus. 

Seperti diberitakan, Heru Hidayat diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta, terkait dugaan korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi oleh PT ASABRI (Persero).

Peran terdakwa Heru Hidayat dalam perbuatan korupsi menurut JPU, terkait pada beberapa perusahaan periode tahun 2012 s/d 2019.

Pada awal persidangan, JPU menyatakan Pemberatan Pidana atas perbuatan terdakwa Haru Hidayat dengan pertimbangan sebagai berikut:

Bahwa perbuatan Terdakwa Heru dalam perkara ini telah berakibat pada kerugian keuangan negara sangat besar seluruhnya sebesar Rp22.788.566.482.083,00 (dua puluh dua triliun tujuh ratus delapan puluh delapan miliar lima ratus enam puluh enam juta empat ratus delapan puluh dua ribu delapan puluh tiga rupiah), dimana atribusi dari kerugian keuangan negara tersebut dinikmati terdakwa Heru Hidayati sebesar Rp.12.643.400.946.226 (dua belas triliun enam ratus empat puluh tiga miliar empat ratus juta sembilan ratus empat puluh enam ribu dua ratus dua puluh enam rupiah). 

Nilai kerugian keuangan negara dan atribusi yang dinikmati oleh terdakwa Heru Hidayati sangat jauh diluar nalar kemanusiaan dan sangat menciderai rasa keadilan masyarakat.

Sebelumnya, Terdakwa Heru Hidayati juga telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan nilai kerugian keuangan negara yang juga sangat fantastis yaitu telah merugikan keuangan sebesar Rp.16.807.283.375.000,00 (enam belas triliun delapan ratus tujuh miliar dua ratus delapan puluh tiga juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) dengan atribusi yang dinikmati oleh Terdakwa Heru Hidayati seluruhnya sebesar Rp.10.728.783.375.000.,00 (sepuluh triliun tujuh ratus dua puluh delapan miliar tujuh ratus delapan puluh tiga juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).

Bahwa skema kejahatan yang telah dilakukan oleh terdakwa baik dalam perkara a quo maupun dalam perkara korupsi sebelumnya pada PT Asuransi Jiwasraya, sangat sempurna sebagai kejahatan yang complicated dan sophisticated, karena dilakukan dalam periode waktu sangat panjang dan berulang-ulang, melibatkan banyak skema termasuk kejahatan sindikasi yang menggunakan instrument pasar modal dan asuransi, menggunakan banyak pihak sebagai nominee dan mengendalikan sejumlah instrumen di dalam system pasar modal, menimbulkan korban baik secara langsung dan tidak langsung yang sangat banyak dan bersifat meluas. 

Secara langsung akibat perbuatan terdakwa telah menyebabkan begitu banyak korban anggota TNI, Polri dan ASN/PNS di Kemenhan yang menjadi peserta di PT ASABRI. Hal ini ini juga termasuk dalam perkara korupsi pada PT ASABRI termasuk pula korban-korban yang meluas terhadap ratusan ribu nasabah pemegang polis pada PT Asuransi Jiwasraya yang tentu juga berdampak sangat besar dan serius bagi keluarganya.

Perbuatan terdakwa telah mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat dan telah menghancurkan wibawa negara karena telah menerobos sistem regulasi dan sistem pengawasan di Pasar Modal dan Asuransi dengan sindikat kejahatan yang sangat luar biasa berani, tak pandang bulu, serta tanpa rasa takut yang hadir dalam dirinya dalam memperkaya diri secara melawan hukum.

Terdakwa Heru Hidayat tidak memiliki sedikitpun empati dengan beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperolehnya secara sukarela serta tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah, bahkan sebaliknya dengan sengaja berlindung pada suatu perisai yang sangat keliru dan tidak bermartabat bahwa transaksi di pasar modal adalah perbuatan perdata yang lazim dan lumrah. 

Terdakwa Heru Hidayat dalam persidangan tidak menunjukkan rasa bersalah apalagi suatu penyesalan sedikitpun atas perbuatan yang telah dilakukannya, telah jelas mengusik nilai-nilai kemanusiaan kita dan rasa keadilan sebagai bangsa yang sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Mengacu pada pengertian umum sebagaimana misalnya dalam KBBI, yang mengartikan “pengulangan” sebagai proses, cara, perbuatan mengulang”. Jika tersebut, maka terdapat 2 (dua) konstruksi perbuatan terdakwa yang relevan dimaknai sebagai pengulangan yaitu:

a) Heru Hidayat telah melakukan 2 (dua) perbuatan korupsi yaitu dalam perkara Korupsi PT AJS dan perkara Korupsi PT Asabri, dimana keduanya bisa dipandang sebagai suatu niat dan objek yang berbeda, meskipun periode peristiwanya bersamaan (PT AJS sejak 2008 s.d. 2018 dan PT ASABRI sejak tahun 2012 s.d. 2019)

b) Dalam perkara korupsi pada PT ASABRI dilakukan oleh terdakwa Heru Hidayat sejak periode sejak tahun 2012 s.d. 2019 yang berdasarkan karakterisktik perbuatannya dilakukan secara berulang dan terus menerus yaitu pembelian dan penjualan saham yang mengakibatkan kerugian bagi PT ASABRI.

Selanjutnya terkait dengan Dakwaan Tidak menyebut Pasal 2 ayat (2), menurut penuntut umum frase “Keadaan tertentu” sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) adalah pemberatan pidana dan bukan sebagai unsur perbuatan, hal ini dicantumkan secara tegas dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, yaitu :

“Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi…”

Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 20 tahun 2001 juga dinyatakan bahwa:

“Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan Pemberatan Pidana.”

Dengan demikian, tidak dicantumkannya Pasal 2 ayat (2) seharusnya tidaklah menjadi soal terhadap dapat diterapkannya pidana mati karena hanya sebagai alasan pemberatan pidana, karena cukup terpenuhinya keadaan-keadaan tertentu yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (2), maka penjatuhan pidana mati dapat diterapkan. Keadaan tertentu sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (2) berdasarkan karakteristiknya yang bersifat sangat jahat, maka terhadap fakta-fakta hukum yang berlaku bagi terdakwa Heru Hidayat sangat tepat dan memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana mati.

Maka dengan alasan pertimbangan dimaksud, Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan terhadap Terdakwa Heru Hidayat dengan amar putusan sebagai berikut:

Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan kedua primair Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Menghukum Terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati;

Membayar uang pengganti sebesar Rp 12.643.400.946.226 (dua belas triliun enam ratus empat puluh tiga miliar empat ratus juta sembilan ratus empat puluh enam ribu dua ratus dua puluh enam rupiah) dengan ketentuan jka Terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. (dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama