Gagalnya Otsus Di Papua

Oleh: Jhon Mauridz Suebu

(Wakil Ketua Kaderisasi Advokasi Rakyat Untuk Nusantara - ARUN DPC Kabupaten Jayapura)

OTONOMI Khusus bagi Provinsi Papua adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. 

Pemberian kewenangan tersebut dilakukan agar penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua dapat memenuhi rasa keadilan, mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan menampakkan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya Orang Asli Papua (OAP).

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua ini diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). 

UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. 

Namun dalam implementasinya, sebagian masyarakat Papua menilai otsus ini gagal. Kenapa? Karena tidak sesuai tujuan diberlakukannya otsus.

Menurut saya, kegagalan Otsus ini bukan hanya karena Kebijakan Pemerintah Pusat yang tidak seratus persen mendukung kepada Pemda Papua. 

Saya selaku Orang Asli Papua (OAP) melihat bahwa kegagalan tersebut terutama disebabkan para Pejabat Asli Papua yang tidak mengimplementasikan UU Otsus secara benar dan tepat sasaran. 

Di antaranya terkait penempatan pejabat yang lebih mendengar keinginan pemimpin Parpol pengusung kepala daerah, daripada kepentingan masyarakat.

Sehingga perekonomian OAP tidak ada peningkatan dan tak berdampak mengubah status sosial ke arah yang mandiri dan sejahtera. 

SDM putra putri Papua pun tidak mengalami perubahan walaupun sudah jelas memiliki dana kekhususan. Sebab kenyataannya hanya anak pejabat dan kroni kroni yang bisa menerima bantuan peningkatan SDM ketimbang anak petani atau nelayan.

Para pejabatpun mengetahui bawah di erah otsus ini segala jenis pelayanan  tidak ada prioritas kepada rakyat Papua.

Angka penganguran dan keterlibatan penyakit sosial sangat tinggi menghantui masa depan Papua. Tidak ada wujud nyata dari Pemerintah, walaupun dalam laporan keuangan, seolah-olah ada hasil kegiatan.

Tak hanya itu, angka KDRT terhadap anak di bawah umurpun terus meningkat, tanpa ada upaya nyata mencegah hal ini.

Jadi Kegagalan Otsus, menurut saya bukan hanya tanggung jawab Pemerintah Pusat, tapi Pejabat Pemerintah di Papua pun harus  bertanggungjawab. Pemerintah Daerah tidak bisa hanya menyalahkan Pemerintah Pusat. 

Saat ini saya sedang fokus melakukan penelitian kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Pelaku banyak orang yang sudah berumah tangga. Motifnya dengan iming iming  sejumlah uang. 

Untuk hal ini yang lebih penting ialah Pemda Papua harus tegas dan mempu mengubah cara pandang dan pikiran dengan menyediakan lapangan pekerjaan agar fokus mereka pada lapangan pekerjaan. Agar mereka tidak berulang melakukan perbuatan yang merugikan banyak pihak..

Selain itu, menurut saya para pejabat di Papua terjesan tidak pernah puas dengan hak mereka yang sediakan oleh begara melalui beberaa sumber. Serta keuntungan tambahan lainnya. 

Para keluarga pejabat juga terus mendapatkan jatah dan jabatan. Dan sering nelupakan hak OAP lainnya.Hal ini juga bagian dari gagalnya Otsus.

Jika Otsus jilid 2 mau berdampak positif dan berhasil, para pejabat di Papua harus tinggalkan tabiat lama dan merubah pada tujuan yang lebih baik.

Selain pemerintah daerah harus lenih teransparans dan salurkanlah hak rakyat dengan benar. 

(Penulis adalah  Putra Asli Papua, Aktifis Kemanusiaan, 12 tahun berkiprah bersama LSM YPKM PAPUA, Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat Papua di Wilayah Pegunungan Papua, Fokusnya Pencegahan Penularan HIV/AIDS)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama