Lamongan, wartamerdeka.info, - Rumusan sila ke empat dalam Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, mengisyaratkan kuat bahwa sesungguhnya founding fathers kita menghendaki tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini dilakukan melalui system perwakilan atau demokrasi perwakilan, dan bukan demokrasi langsung sebagaimana diterapkan oleh negara-negara Barat.
Prof. Zainuddin Maliki, anggota MPR-DPR RI, menyampaikan hal itu, di depan peserta Sosialisasi 4 pilar kehidupan berbangsa dan bernegara di Lamongan, Jumat (22/03/2024).
Menurut Prof. Zainuddin, banyak penelitian menunjukkan demokrasi langsung, yang dibangun atas dasar kebebasan, kesetaraan dan ke-sederajatan me-niscayakan perlunya kesiapan masyarakat terutama dari sisi pendidikan dan ekonomi. Karena jika dua komponen ini belum siap, pelaksanaan demokrasi langsung akan melahirkan sistem demokrasi prosedural dan bahkan transaksional.
"Ekonomi masyarakat kita masih banyak yang subsisten atau pas-pasan. Di sisi lain diakui Perguruan Tinggi kita semakin banyak mencetak sarjana, tetapi faktanya banyak masyarakat kita yang masih berpendidikan SD dan tidak lulus SD. Bahkan masih ada yang tidak bersekolah," ungkap mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu.
Masyarakat dengan tingkat ekonomi subsisten adalah masyarakat yang kegiatan perekonomian masih sederhana sekali dengan jumlah produksi yang di hasilkan sedikit dan hanya mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
Mengutip Catatan yang pernah dirilis Menko PMK 29 November 2023, Prof. Zainuddin Maliki mengungkapkan karakteristik rumah tangga miskin, di Indonesia sekitar 11,26% dari kepala rumah tangga tidak dapat membaca dan menulis dengan rata-rata lama sekolah hanya 5,9 tahun, yang berarti SD atau tidak lulus SD. Catatan Menko PMK angkanya sekitar 70% kepala rumah tangga berpendidikan rata-rata SD sederajat ke bawah.
Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan profil kemiskinan nasional per Maret 2023 sebesar 25,90 juta orang atau masih sebesar 9,36%. Sebanyak 36,88% lulusan SD, tidak lulus SD dan tidak bersekolah.
"Di tengah masyarakat dengan karakteristik pendidikan dan ekonominya lemah, sulit untuk mewujudkan demokrasi substansial karena masyarakat yang tertinggal pendidikannya mudah dibodohi yang pintar. Masyarakat yang miskin bisa dibeli suaranya oleh yang punya modal," ujar penerima penghargaan MKD Awards DPR RI 2022 itu.
Oleh karena itu, masih kata Prof. Zainuddin Maliki, mudah dimaklumi jika proses demokrasi kita, sampai saat ini baru bisa memperagakan demokrasi prosedural bahkan masih berada di tataran demokrasi transaksional.
"Suara bisa diperoleh lewat pembagian sembako, NPWP dan atau serangan fajar," ujar anggota legislatif asal Dapil Jatim X Gresik Lamongan itu menambahkan.
Para founding fathers kita tahu betul karakteristik masyarakat Indonesia. Masyarakat di negeri ini belum bisa memenuhi syarat pendidikan dan ekonomi. Melihat hiterogenitas dan luasnya wilayah, dibutuhkan waktu untuk bisa menata kehidupan berbangsa dan bernegara menggunakan system demokrasi langsung.
"Menyadari keunikan karakteristik bangsa Indonesia itulah, mengapa para founding fathers kita tidak mau begitu saja mengadopsi model demokrasi langsung seperti yang diterapkan Barat," ungkap anggota FPAN yang juga anggota Badan Legislasi DPR RI itu.
Mereka memastikan pilihannya bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini, lebih tepat dibangun atas dasar prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. (WM*)