Novel Perdana Qosdus Sabil
Biasa dipanggil Gus Bill
Penulis dapat dihubungi melalui email: qosdussabil@gmail.com
FB. Qosdus Sabil
Ig. qosdus.s
Hujan deras baru saja reda. Udara panas berganti dengan kesejukan. Mungkin karena hawa udara yang lebih sejuk membuatku terlelap cukup lama siang ini.
"Assalamu'alaikum,
maaf Pak, kami dari sentra ikan fresh mart, kami diarahkan bu Badra untuk mengirimkan telur ikan dan ikan patin sebesar 2 kg ke alamat bapak. Mohon diterima ya. Terima kasih", bunyi isi pesan tersebut.
"Baik Pak. Terimakasih", jawabku singkat.
Segera aku kontak Badra, mengabarkan bahwa telur ikan pesanannya sedang dikirimkan ke alamat rumahku. Tidak lupa aku ucapkan terima kasih karena telah mengirimiku telur ikan segar, kesukaan istri dan anak-anakku. Dan tentu saja, juga menjadi salah satu kegemaranku sejak dulu.
Jika, aku sering dikira anak sulung. Maka sebaliknya, Badra sering dikira anak bungsu.
Orang banyak mengira aku sebagai anak sulung. Padahal aku adalah anak kedua. Mungkin karena mereka menganggapku yang paling mirip dengan Abahku. Padahal masih ada kakakku yang juga tidak kalah miripnya dengan Abahku.
Bisa jadi itu karena mereka umumnya jarang berjumpa, atau bahkan tidak pernah bertemu dengan kakakku. Ya, itu betul. Sejak SMA, kakakku sudah pergi merantau ke kota Jember. Ia masuk MAPK, Madrasah Aliyah Program Khusus, Program unggulan Menteri Agama Munawir Sadzali dalam menyiapkan bibit kader-kader intelektual muslim di Indonesia.
Setelah lulus dari MAPK, ia melanjutkan kuliahnya di Universitas Al-Azhar Mesir, dari S1 hingga S3. Karena studinya Itu, kakakku bahkan nyaris tidak pernah pulang ke rumah. Sekalinya pulang hanya untuk menikah. Ia menikah dengan seorang gadis Indonesia yang juga merupakan mahasiswa di Al-Azhar.
Yang membuatku terkejut, kakakku ternyata menikah dengan sesama orang Lamongan. Istri kakakku ini juga sama-sama kuliah S1 hingga S3-nya di Universitas Al-Azhar.
Sementara, aku merasa bahwa kalau sudah kuliah di Mesir, ya setidaknya adalah hal wajar jika kemudian bertemu dengan jodoh gadis dari Mesir, Palestina, Lebanon atau mungkin Turki. Lha ini sudah dengan sesama orang Indonesia, Lamongan pula.
Tetapi, apa mau dikata. Namanya juga jodoh. Siapa yang tahu. Semua sudah diatur oleh-Nya. Seperti halnya dengan hidup dan mati. Juga terkait rezeki. Semuanya sudah ditentukan kadar dan takarannya, sejak ruh mulai ditiupkan ke dalam jasad kita.
Jadi, orang pasti akan terkejut begitu tahu ternyata aku tidak pandai berbahasa Arab.
Namun, walaupun begitu aku cukup mewarisi jejaring persahabatan Abahku. Banyak kolega Abahku yang masih berkorespondensi denganku. Gairah untuk berdakwah melalui politik aku warisi juga dari Abahku. Nilai-nilai kepemimpinan dan berbagai aktivitas di organisasi kemasyarakatan aku pelajari dari Abahku. Ini yang mungkin banyak kesamaannya dengan Badra, adikku nomor tujuh yang dikira bungsu itu.
Sementara, kiprah kakakku di bidang organisasi kemasyarakatan tidak seaktif diriku. Termasuk kiprahnya di dunia politik. Kakakku bahkan cenderung pasif dalam urusan politik.
Kakakku ini orang yang sangat rajin belajar. Sementara aku sebaliknya, belajar secukupnya saja. Kadang aku merasa lebih cerdas dari kakakku, karena baru membaca sebentar saja aku sudah mengerti dan memahami tentang sesuatu. Namun, sering pula cepat melupakannya.
Kedua putranya lahir di kota Kairo Mesir. Kini, putranya yang pertama melanjutkan kuliahnya di Universitas Al-Azhar mengikuti jejak kedua orang tuanya.
Sedangkan, putra keduanya sekalipun juga bisa diterima di Al-Azhar, tapi dia memilih melanjutkan kuliahnya ke sebuah kampus tertua di Maroko. Sungguh, dua putra yang sama pintarnya, mewarisi kepintaran kedua orang tuanya.
Kali ini, walaupun Badra sedang mendampingi suaminya melanjutkan studi doktoralnya di Queensland Australia, ia tidak lupa untuk tetap dapat menyenangkan hatiku. Karena ia tahu, kakaknya ini gemar sekali makan ikan. Termasuk telur ikan yang jarang tersedia di tukang jualan ikan keliling di komplek tempat kami tinggal
Harus aku akui, bahwa dalam setiap lawatanku ke berbagai pelosok negeri, kuliner kegemaranku ya pasti berbahan baku ikan.
Sering saat menyelesaikan pekerjaan di berbagai pulau, oleh-oleh yang kubawa pulang juga ikan. Benar-benar ikan segar yang baru "setengah" atau "sekali" mati. Tidak seperti ikan di Jakarta yang sudah "sepuluh kali" mati.
Rasa gurih dan manisnya ikan begitu berbeda. Tidak ada lagi kuliner ikan paling nikmat, selain ikan bakar dan "pallumara" ikan khas Sulawesi. Pallumara itu semacam sup ikan dengan rasa segar asam pedas yang bergabung menjadi sebuah cita rasa otentik kekayaan kuliner nusantara.
Kegemaranku menyantap ikan bakar pernah menjadi perhatian seorang expert perikanan budidaya air payau. Kami saat itu tergabung dalam sebuah proyek pengembangan budidaya perikanan untuk pengentasan kemiskinan. Proyek ini dibiayai oleh Asian Development Bank (ADB) dan dilaksanakan di empat Provinsi di Indonesia.
Kawan saya yang ahli di bidang pembudidayaan ikan air payau ini mengingatkan saya akan bahaya makan makanan yang memasaknya dengan cara membakar. Menurutnya, dampak pembakaran akan menjadi karsinogen yang secara jangka panjang dapat memicu kanker di tubuh kita.
Lima belas tahun kemudian saya baru menyadari. Mungkin karena faktor inilah yang memicu adanya sel-sel kanker dalam tubuh saya. Karena, secara umum pola hidup saya termasuk pola hidup sehat. Saya tidak merokok. Tidak meminum minuman keras. Juga tidak meminum minuman kemasan soft drink dan sejenisnya.
Jadi, satu-satunya yang dapat saya curigai adalah kegemaranku menyantap ikan bakar tersebut. Bisa jadi karbon hasil pembakaran berubah menjadi karsinogen yang memicu munculnya kanker dalam tubuhku.
Terlepas bahwa semua sakit dan penyakit itu juga datangnya dari Allah. Allah menciptakan sakit dan penyakit, dan Allah juga yang memberikan kesembuhan bagi kita.
Menghindari makanan yang digoreng menggunakan minyak goreng dengan maksud agar tidak terkena kolesterol itu sudah betul.
Lebih betul lagi nenekku, seringkali ia memasak ikan dengan cara direbus saja, atau dipindang hingga susut airnya. Kenikmatan rasa ikan dan nilai gizinya masih terjaga.
Si meong-pun hanya terdiam melongo pasrah, karena kepala ikan yang biasanya menjadi bagiannya, kini telah ludes disesap tuannya hingga tinggal tulang belulangnya saja.
Beginilah nasib seekor kucing jika punya tuan gemar makan ikan. Sepotong ikan bagian nya pun ikut serta dimakan sang tuan. Nasib nasib....