Fandira dan Denis bersama Syam, reporter wartamerdeka.info |
Malam itu, sebuah gerobak kecil berhenti di tepi jalan di Kabupaten Barru, tepatnya Kampung Lawallu Desa Lawallu Kecamatan Soppeng Riaja. Di atasnya, terikat rapi tumpukan baju, jas hujan, dan dua bendera merah putih berkibar di sisi kiri dan kanan.
Dua sosok lelaki berdiri di sampingnya, lelah namun tetap tersenyum. Di antara mereka terpampang tulisan: “Live Jalan Kaki Manado–Makassar.”
Mereka adalah Fandira (23), pemuda asal Minahasa, dan Denis (39) dari Tomohon, Sulawesi Utara. Keduanya merupakan anggota komunitas pencinta alam. Sejak 2 Maret 2025, mereka memulai perjalanan luar biasa: berjalan kaki dari Manado ke Makassar, menempuh ratusan kilometer lintas provinsi dan kabupaten menantang panas, hujan, dan malam sepi.
Namun perjalanan ini bukan sekadar petualangan atau unjuk ketangguhan. Di balik langkah-langkah panjang mereka, tersimpan tujuan yang jauh lebih dalam dan emosional.
Fandira ingin bertemu kembali dengan ibunya, yang telah terpisah sejak tahun 2010. Empat belas tahun lamanya, tanpa kabar, tanpa pelukan. Dan Barru menjadi saksi titik temu haru itu.
“Alhamdulillah setelah berjalan 92 hari akhirnya saya bisa ketemu Ibu. Rasanya tidak bisa dijelaskan. Saya hanya ingin memeluk beliau, setelah sekian lama hanya lewat doa dan mimpi, akhirnya nyata,” ucap Fandira, matanya berkaca-kaca, suaranya tertahan.
Kepada Wartamerdeka. Info yang menemuinya di Rumah Makan 'Dapo Indo 2' di Lawallu, mereka mengaku momen itu menjadi perhentian paling bermakna dalam perjalanan mereka. Malam itu, di Barru, dua sosok asing menjadi inspirasi baru tentang cinta, perjuangan, dan harapan.
Setelah pertemuan dengan sang ibu, Fandira dan Denis melanjutkan perjalanan mereka ke Makassar, tepatnya ke Center Point of Indonesia (CPI) sebagai destinasi akhir perjalanan darat.
Namun mereka belum akan berhenti. Misi berikutnya adalah mendaki Gunung Latimojong, salah satu puncak tertinggi di Sulawesi Selatan.
“Perjalanan ini bukan soal kuatnya kaki, tapi kokohnya niat. Kami ingin menunjukkan bahwa mimpi bisa dicapai jika kita jalan terus, tidak berhenti, tidak menyerah,” tutur Denis.
Kisah Fandira dan Denis adalah pengingat bahwa di tengah era kecepatan dan kemudahan, masih ada orang-orang yang memilih jalan lambat. Bukan karena tidak mampu, tapi karena setiap langkah mereka punya makna. Tentang kerinduan, tentang janji yang harus ditepati, dan tentang ikatan keluarga yang tak lekang waktu.
Malam itu mereka tak hanya singgah di Barru bertemu ibu yang melahirkannya, tapi mereka singgah di hati orang-orang yang percaya bahwa perjalanan hidup bukan ditentukan oleh seberapa jauh langkah kita, tapi oleh seberapa besar tujuan yang ingin kita capai. (syam m. djafar)