(Praktisi Pendidikan SMA N 1 Paciran)
Wilayah pesisir utara Jawa merupakan jalur utama peradaban, perdagangan, dan penyebaran Islam abad ke-15 hingga ke-17. Di antara pelabuhan-pelabuhan penting seperti Gresik, Tuban, Jepara, dan Demak, Kadipaten Sedayu memainkan peran signifikan dalam dinamika politik dan ekonomi regional. Keberadaan Kadipaten ini tidak hanya tercatat dalam sumber-sumber tradisional lokal seperti Babad Tanah Jawi, tetapi juga dikonfirmasi dalam catatan para penjelajah asing seperti Tomé Pires, Ferdinand Mendez Pinto, dan Willem Lodewijksz. Keutuhan data lintas sumber tersebut memperlihatkan kesinambungan kekuasaan elite lokal Sedayu yang terikat dalam jaringan kekuasaan Demak-Giri.
1. Awal Dinasti Sedayu: Pate Amiza Senior (ca. 1460–1512)
Pate Amiza Senior atau leluhur langsung dari Pate Amiza Junior diyakini telah memerintah Sedayu pada akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Informasi mengenai tokoh ini memang tidak tercatat eksplisit dalam sumber tertulis, namun konteks sejarah menunjuk bahwa ia adalah bagian dari jaringan bangsawan pesisir utara yang erat berhubungan dengan Kesultanan Demak.
Jejaring ini ditandai oleh hubungan kekerabatan dengan tokoh-tokoh penting seperti Pate Murob dari Rembang dan Pate Rodim dari Demak. Tradisi menyebut bahwa Pate Amiza Senior memiliki kedekatan strategis dengan Pate Unus dari Jepara dan dinasti Islam di Gresik. Ini menciptakan dasar bagi kekuasaan turun-temurun di Sedayu.
2. Pate Amiza Junior (1513): Integrasi Politik dan Spiritual
Sosok Pate Amiza Junior disebut secara jelas dalam Suma Oriental karya Tomé Pires, yang mengindikasikan bahwa ia memerintah Sedayu pada sekitar tahun 1513 dalam usia muda, yakni sekitar 20 tahun. Usia tersebut memperkirakan kelahiran Amiza pada ca. 1493. Ia adalah simbol dari generasi baru bangsawan pesisir Jawa yang tidak hanya mewarisi otoritas politik tetapi juga menjalin hubungan strategis melalui pernikahan dengan keluarga religius berpengaruh.
Pate Amiza menikahi putri dari Sunan Giri Zainal Abidin, tokoh sentral Islam di Jawa. Pernikahan ini memperkuat legitimasi spiritual kekuasaan Sedayu, sebagaimana tren umum penguatan otoritas politik melalui afiliasi dengan para wali atau ulama.
Amiza didampingi oleh pamannya, Pate Bagus, dalam menjalankan pemerintahan. Ini menegaskan bahwa pemerintahan Sedayu bersifat kolektif dan berbasis patronase keluarga. Fungsi Pate Bagus kemungkinan besar sebagai “wali penguasa” mencerminkan sistem regency yang umum di kerajaan-kerajaan Islam Jawa pada masa itu
3. Konsolidasi Kekuasaan: Pate Sodayo atau Gusti Sedayu (1546)
Pasca wafatnya Sultan Trenggono (1546), wilayah Jawa mengalami kekosongan otoritas pusat yang menyebabkan fragmentasi politik. Dalam catatan Ferdinand Mendez Pinto, muncul nama Pate Sodayo atau Sudayo sebagai salah satu tokoh penting dalam krisis tersebut. Pinto menyebut bahwa ia adalah pemimpin wilayah pesisir yang memiliki pengaruh cukup besar, terutama di Sedayu.
Berdasarkan kronologi dan pendekatan genealogi, sangat mungkin bahwa Pate Sodayo adalah putra dari Pate Amiza dan cucu dari Sunan Giri. Dengan latar belakang tersebut, ia bukan hanya pewaris kekuasaan politik, tetapi juga penjaga otoritas spiritual di wilayah Sedayu.
Julukan “Gusti Sedayu” mengisyaratkan kedudukan yang lebih tinggi dibanding sekadar adipati. Sedayu pada masa Pate Sodayo telah menjadi pusat mandala kekuasaan pesisir yang mandiri, dengan jaringan dagang dan keagamaan yang kuat. Ia berperan sebagai penyeimbang antara kekuasaan baru di pedalaman (Jipang, Pajang) dan sisa-sisa pengaruh Demak.
4. Internasionalisasi Wilayah: Raja Lella dari Cidayo (1596)
Tiga generasi setelah Pate Amiza, muncul nama Raja Lella dalam catatan Willem Lodewijksz, peserta ekspedisi Belanda tahun 1596. Armada Cornelis de Houtman, dalam perjalanannya ke timur Nusantara, singgah di pelabuhan Cidayo—yang diidentifikasi sebagai Sedayu. Di sana, mereka disambut oleh seorang penguasa lokal yang disebut Raja Lella.
Raja Lella menunjukkan bentuk diplomasi khas elite Jawa, salah satunya dengan memberikan hadiah burung Emme (kasuari) kepada kapten armada. Namun, perilaku kasar awak kapal Belanda menyebabkan konflik berdarah yang menewaskan sejumlah anggota ekspedisi. Peristiwa ini mencerminkan ketegangan awal antara dunia Islam pesisir dan kekuatan kolonial Eropa.
Raja Lella diyakini sebagai keturunan langsung Pate Sodayo, menjadikannya cicit dari Pate Amiza dan keturunan Sunan Giri. Konsistensi kekerabatan ini menunjukkan keberlangsungan dinasti selama lebih dari satu abad, dengan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan geopolitik secara dinamis.
5. Tradisi Lokal dan Narasi Kultural
Sumber-sumber tradisional seperti Babad Tanah Jawi mencatat bahwa pada tahun 1588, seorang Bupati Sedayu menghadiri pelantikan Hadiwijaya sebagai Sultan Pajang oleh Sunan Giri Prapen. Ini menunjukkan bahwa Sedayu tetap menjadi bagian penting dalam koalisi politik dan spiritual Jawa pasca-Demak.
Pitutur lokal dari Brondong menyebut tokoh Ki Ageng Brondong alias Sunan Botoh Putih sebagai pemimpin wilayah Sedayu-Brondong pada tahun 1595. Ia kemudian pindah ke wilayah Botoh Putih, Surabaya. Berdasarkan usia dan jalur kekuasaan, ia bukan tokoh yang sama dengan Pate Sodayo atau Raja Lella, tetapi kemungkinan masih memiliki hubungan kekerabatan dengan dinasti utama Sedayu.
Jejak kekuasaan Kadipaten Sedayu dari Pate Amiza (ca. 1513), Pate Sodayo (1546), hingga Raja Lella (1596) menunjukkan kesinambungan dinasti berbasis kekerabatan politik dan spiritual. Dinasti ini memainkan peran kunci dalam struktur kekuasaan Islam Jawa, terhubung dengan Dinasti Demak dan jaringan ulama Giri. Bukti dari sumber primer asing dan pitutur lokal menunjukkan bahwa Sedayu bukan sekadar kadipaten pelabuhan, melainkan simpul strategis kekuasaan Islam pesisir yang memiliki signifikansi politik, ekonomi, dan religius yang luas.
1) Lodewijksz, Willem. Om de Zuid: De Eerste Schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder Cornelis de Houtman 1595–1597. Dihimpun oleh H. T. Colenbrander. 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1915.
Keterangan: Catatan perjalanan ekspedisi pertama Belanda ke Nusantara yang mencatat perjumpaan dengan Raja Lella dari Cidayo (Sedayu) tahun 1596.
2) Mendez Pinto, Ferdinand. The Voyages and Adventures of Fernand Mendez Pinto. Diterjemahkan dari bahasa Portugis oleh Henry Cogan. London: Longman, Brown, Green, and Longmans, 1859.
Keterangan: Catatan Portugis penting yang menyebut nama Pate Sodayo (Sudayo) dari Sedayu dalam konteks politik Jawa pasca-kematian Sultan Trenggono, sekitar tahun 1546.
3) Pires, Tomé. The Suma Oriental of Tomé Pires: An Account of the East, from the Red Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1512–1515. Diedit dan diterjemahkan oleh Armando Cortesão. 2 jilid. London: Hakluyt Society, 1944.
Keterangan: Sumber penting mengenai keadaan pesisir utara Jawa dan kekuasaan lokal seperti Pate Amiza dari Sedayu sekitar tahun 1513, serta relasinya dengan penguasa Demak, Jepara, dan Gresik.
Sumber Sekunder
4) Babad Tanah Jawi. Diedit oleh J. J. Meinsma dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Arif Budi Wurjanto. Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2011.
Keterangan: Naskah babad klasik yang menyebut kehadiran Bupati Sedayu dalam pelantikan Hadiwijaya menjadi Sultan Pajang oleh Sunan Giri Prapen pada tahun 1588.
5) Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya. Volume I: Batas-batas Pembaratan. Diterjemahkan oleh Winarsih Arifin, George M. Soepomo, dan Kuss Indarto. Jakarta: Gramedia, 1996.
Keterangan: Kajian sejarah dan antropologi penting tentang pesisir utara Jawa dan dinamika antara elite lokal dan kekuatan luar, termasuk kedudukan Giri dan Demak.
6) Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Edisi keempat. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.
Keterangan: Buku pegangan sejarah Indonesia yang membahas kekuasaan kerajaan Islam di Jawa, termasuk Demak, Pajang, dan perkembangan wilayah pesisir seperti Sedayu.
7) Zoetmulder, P. J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan, 1983.
Keterangan: Referensi budaya dan sastra Jawa kuno untuk mendukung pemahaman konteks sosial-politik elite Jawa pesisir.
Sumber Pitutur / Tradisi Lisan
8) "Riwayat Ki Ageng Brondong dan Sunan Botoh Putih." Manuskrip pitutur lokal koleksi tokoh adat Desa Brondong, disalin ulang dalam aksara Latin oleh H. Mustain, tahun 1972.
Keterangan: Tradisi lisan yang mencatat kepemimpinan Ki Ageng Brondong di wilayah Sedayu-Brondong sekitar tahun 1595 sebelum pindah ke Surabaya; digunakan sebagai sumber pelengkap dalam identifikasi genealogis.(*)