Ketua Litbang DPP Amphuri
Kabar pelantikan Prof. Dr. Arif Satria, S.P., M.Si. sebagai Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) oleh Presiden Prabowo Subianto menjadi kabar baik yang menggetarkan kalangan cendekiawan Indonesia. Bukan hanya karena beliau adalah Ketua Umum ICMI Pusat dan Rektor IPB University, tetapi juga karena sosoknya merepresentasikan wajah baru kepemimpinan riset nasional — seorang intelektual yang berpikir, menulis, dan berbuat nyata untuk kemajuan bangsa.
Selama beberapa tahun terakhir, BRIN sering disebut sebagai macan ompong — besar secara struktur, namun lemah dalam taring implementasi. Lembaga yang seharusnya menjadi pusat penggerak inovasi dan riset strategis bangsa ini kerap terjebak dalam labirin birokrasi dan fragmentasi. Potensi riset yang luar biasa di berbagai kampus dan lembaga penelitian sering kali tidak menemukan jalan sinergi yang konkret menuju kebijakan dan industri.
Di titik inilah kehadiran Prof. Arif Satria terasa seperti angin segar. Dia bukan sekadar akademisi menara gading, tetapi juga pemimpin visioner yang memahami bagaimana riset harus bersentuhan dengan realitas sosial, ekonomi, dan ekologis. Visi ekologisnya yang dikenal luas, pemikiran “ecological governance”-nya yang telah menembus diskursus global, menjadi jaminan bahwa BRIN akan memiliki arah strategis yang lebih berkelanjutan, berkeadaban, dan berkeilmuan.
Langkah Presiden Prabowo menunjuk tokoh ICMI ini juga dapat dibaca sebagai bentuk reformasi kelembagaan riset nasional. Artinya, riset tidak lagi dikelola dengan logika administratif semata, melainkan dengan semangat kepemimpinan intelektual. Inilah momentum yang sudah lama ditunggu: saat di mana riset tidak hanya menjadi laporan proyek, tetapi menjadi napas pembangunan.
Bagi kalangan cendekiawan Muslim, penunjukan ini juga menjadi peneguhan bahwa ICMI kini kembali ke khitahnya sebagai rumah besar para ilmuwan, pemikir, dan periset bangsa. Dengan posisi strategis ini, ICMI di bawah kepemimpinan Prof. Arif diharapkan mampu mengonsolidasikan kembali gerakan intelektual Islam yang modern, rasional, dan berorientasi kemajuan.
Lebih dari itu, penunjukan ini seolah menegaskan bahwa masa depan bangsa akan ditentukan oleh mereka yang berpikir dan meneliti, bukan oleh mereka yang sekadar berbicara. Bahwa menjadi cendekiawan sejati berarti menulis, meneliti, dan berkontribusi pada ilmu pengetahuan. Gelar sarjana bukan lagi tanda akhir perjalanan intelektual, melainkan gerbang awal menjadi periset yang terus haus akan pengetahuan.
Di bawah kepemimpinan baru ini, masyarakat menanti agar BRIN benar-benar menjadi pusat kecemerlangan riset (centre of excellence) — bukan sekadar institusi administratif. BRIN harus membuka ruang kolaborasi yang luas antara peneliti, industri, universitas, dan masyarakat. Ia harus hadir sebagai jembatan antara ilmu dan kebijakan, antara inovasi dan kesejahteraan.
Bangsa Indonesia memiliki begitu banyak talenta. Yang kurang selama ini adalah ekosistem yang menghargai riset sebagai budaya bangsa, bukan sekadar tugas proyek. Harapan besar kini melekat pada Prof. Arif Satria — seorang cendekiawan yang telah membuktikan bahwa ilmu, iman, dan aksi bisa berjalan seiring.
Pelantikan ini bukan hanya kabar personal bagi beliau, tetapi simbol kebangkitan riset Indonesia. Bahwa pada akhirnya, negara ini memilih untuk menaruh harapan kepada kaum ilmuwan — kepada mereka yang menyalakan cahaya pengetahuan di tengah gelapnya pragmatisme.
Selamat bekerja Prof. Arif Satria. Kami, para cendekiawan, para periset, dan insan ICMI di seluruh Indonesia, ikut bersyukur dan berbahagia. Semoga di tangan Anda, BRIN kembali bertaring — bukan untuk menakuti, tetapi untuk menggigit kuat arah masa depan bangsa dengan ilmu pengetahuan dan keimanan.
Dan bagi ICMI sendiri, momentum ini seharusnya menjadi titik balik penting. ICMI ke depan harus menegaskan jati dirinya sebagai kumpulan cendekiawan sejati — bukan sekadar sarjana, melainkan pemikir, penulis, peneliti, dan inovator yang aktif, produktif, dan kontributif dalam membangun peradaban. Sebuah komunitas ilmiah yang mensinergikan tiga pilar utama: Kecendekiawanan, Keislaman, dan Keindonesiaan. Tiga kekuatan inilah yang akan menuntun ICMI untuk tetap relevan, bernilai, dan berperan besar dalam sejarah kemajuan bangsa.(*)

