Batas Usia Advokat, Solusi Palsu di Tengah Kebutuhan Reformasi Etika


Oleh: Dr. Muhd. Nafan, S.H., M.H. 
(Wakil Ketua Umum DPP Himpunan Advokad/Pengacara Indonesia) 

Wacana pembatasan usia maksimum bagi profesi advokat di tengah kebutuhan Reformasi Etika, yang kini disetujui untuk masuk dalam revisi Undang-Undang Advokat atas usulan Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Eddy Hiariej, telah memicu perdebatan sengit di kalangan praktisi hukum.

Wamenkum berargumen bahwa batasan ini krusial karena kekhawatiran spesifik : sebagai contoh seorang pensiunan pejabat tinggi penegak hukum, seperti mantan Hakim Agung atau Jaksa Agung, akan menjadi advokat dan menciptakan "beban" bagi penyidik muda, bahkan membuat jaksa muda "habis" di pengadilan, hal ini merupakan fenomena Carut marutnya pembenahan Hukum di Negeri tercinta ini.

Bagi advokat Muda sebaiknya tidaklah perlu merasa khawatir yang  berlebihan sehingga, apabila telah mempersiapkan diri secara Skill dan Labour akan Pengetahuan Hukum itu sendiri.

Kekhawatiran terhadap "dominasi" senior memang terdengar seperti upaya menciptakan kesetaraan di arena peradilan. Namun, jika ditelaah lebih mendalam, nalar yang mendasari usulan ini adalah penyederhanaan masalah yang keliru dan cenderung diskriminatif. Mengapa..?

Karena batasan usia hanya menyasar simptom, yaitu suatu bentuk keberadaan sosok senior berpengalaman, alih-alih mengatasi akar masalah yang sesungguhnya, yakni potensi konflik kepentingan dan kualitas penegak hukum yang belum merata. Mengingat kompleksitas sistem peradilan kita, mencari solusi cepat dengan mengebiri hak profesional berdasarkan usia bukanlah langkah yang bijak, melainkan sebuah kemunduran yang serius dan perlu untuk ditinjau ulang.

Oleh karena itu, gagasan ini harus dikoreksi. Alih-alih membatasi usia, fokus reformasi UU Advokat harus dialihkan untuk memperkuat mekanisme etika dan menerapkan regulasi spesifik yang teruji secara global untuk mengatasi konflik kepentingan, tanpa mendiskriminasi usia.

Pengalaman Mutlak Diperlukan

Pada berbagai  negara dengan tradisi hukum yang matang, pengalaman panjang mantan pejabat tinggi di bidang kehakiman atau kejaksaan justru dianggap sebagai harta karun intelektual, bukan ancaman. Pengalaman mereka dalam memahami seluk-beluk pengambilan keputusan di tingkat tertinggi, mulai dari filosofi di balik putusan hingga strategi penyidikan, adalah aset yang tak ternilai.

Ketika advokat kaliber ini tampil di pengadilan, dampaknya bukan hanya sekadar memenangkan perkara, tetapi secara fundamental mendorong kualitas peradilan. Pembelaan yang solid, yang mampu menguak celah prosedural atau kelemahan argumentasi tuntutan, akan memaksa jaksa dan penyidik muda untuk bekerja jauh lebih profesional, komprehensif, dan teliti.  

Mereka menjadi sparring partner intelektual yang sesungguhnya. Jika ada kekhawatiran jaksa muda "habis," solusinya adalah menggembleng dan meningkatkan kurikulum pendidikan serta pelatihan jaksa dan penyidik, bukan bermaksud  memotong kesempatan berkarya para senior, melainkan memfasilitasi para senior untuk menjadi Pengajar atau mentor bagi mereka yang muda, sehingga yang muda menjadi Tangguh seperti yang diharapkan oleh para seniornya.

Pembatasan usia adalah jalan pintas yang dangkal. Profesi intelektual harus diukur berdasarkan kompetensi aktual, bukan usia kronologis. Selama seorang advokat lulus Ujian Profesi Advokat (UPA), mampu menjaga etika, dan memiliki kemampuan fisik serta mental  serta Pengetahuan Hukum yang memadahi —seperti yang diterapkan pada hampir semua profesi profesional—usia seharusnya tidak menjadi penghalang.

Menggunakan usia sebagai tolok ukur untuk menyingkirkan profesional senior hanya menciptakan diskriminasi terselubung yang bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia untuk bekerja dan berkarya.

Solusi Masa Tenang

Kekhawatiran utama Wamenkum mengenai abuse of power atau penggunaan pengaruh koneksi lama adalah hal yang valid. Namun untuk mengatasi potensi konflik kepentingan ini, mekanisme yang dibutuhkan bukanlah larangan usia, melainkan penerapan "masa tunggu" atau cooling-off period. Ini adalah solusi konstruktif yang secara spesifik menargetkan risiko konflik tanpa menghilangkan hak seseorang untuk berprofesi.

Di Amerika Serikat, misalnya, cooling-off period adalah regulasi umum bagi mantan pegawai pemerintah federal, terutama yang bergerak di bidang hukum atau lobi. Aturan ini mewajibkan mantan pejabat untuk tidak menangani, mewakili, atau memberikan konsultasi mengenai kasus atau masalah tertentu yang mereka tangani secara langsung saat masih menjabat, selama kurun waktu tertentu (biasanya satu hingga dua tahun).

Indonesia dapat mengadopsi dan memodifikasi mekanisme ini. Revisi UU Advokat seharusnya memasukkan pasal yang mewajibkan mantan pejabat tinggi penegak hukum—misalnya, Hakim Agung, Jaksa Agung, atau Kepala Kejaksaan Tinggi—untuk menjalani masa tunggu minimal tiga tahun sebelum mereka dapat berpraktik sebagai advokat.  

Selain itu, mereka harus dilarang berpraktik di instansi atau wilayah yang pernah ia pimpin atau tangani selama lima tahun terakhir masa jabatannya. Langkah ini secara efektif memutus rantai konflik kepentingan, menjaga integritas lembaga, dan memastikan bahwa pengaruh jabatan lama tidak disalahgunakan untuk kepentingan klien.

Selain cooling-off period, hal fundamental lain yang perlu diperkuat adalah penegakan Kode Etik Advokat. Dewan Kehormatan organisasi advokat harus lebih proaktif dan tegas dalam menindak advokat, terlepas dari latar belakangnya, yang terbukti menyalahgunakan koneksi atau pengaruh jabatan lama. Etika harus menjadi pagar utama, bukan batasan usia.

Pada akhirnya, usulan batasan usia advokat adalah sebuah kemunduran serius yang hanya akan membuat sistem peradilan kita terlihat takut pada pengalaman. Daripada membuang potensi pengalaman emas para senior, energi revisi UU Advokat seharusnya diarahkan untuk membangun sebuah sistem yang lebih matang, yaitu sistem yang mampu mengelola dan memanfaatkan pengalaman, sambil melindungi integritas institusi melalui regulasi yang cerdas dan spesifik. Fokus pada cooling-off period dan penegakan etika adalah jalan yang lebih konstruktif dan sesuai dengan prinsip hukum modern.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama