Makassar (wartamerdeka.info) - Wakil Bupati Barru, Dr. Ir. Abustan A. Bintang, M.Si., menegaskan bahwa diskresi kebijakan adalah alat esensial untuk melahirkan inovasi dan melawan stagnasi birokrasi, namun harus didasari oleh keberanian visioner dan administrasi yang terukur.
Penegasan ini disampaikan Dr. Abustan saat menjadi narasumber dalam Bedah Buku berjudul "Diskresi Inovasi Pemerintah Daerah" yang ditulis Dr. Deasy Mauliana, S.H., M.H., di Aula Kampus Politeknik STIA LAN Makassar, Rabu (3/12/2025).
Dalam pemaparannya, Wabup Abustan langsung mengulas substansi judul buku. Ia menyampaikan bahwa secara konsep, tidak dikenal istilah “diskresi inovasi”, melainkan diskresi kebijakan yang bisa melahirkan inovasi.
Ia menjelaskan bahwa meskipun inovasi dan diskresi sama-sama mensyaratkan keberanian mengambil risiko, pemimpin idealnya harus visioner.
Abustan lale mengutip filosofi Bugis tentang kepemimpinan,"Akko elokko mapparentah, mullepa magetteng, mullepa malempu, kemudian engkato pa awaranian (Jika ingin memerintah harus memiliki sikap tegas, kejujuran dan keberanian).
"Tanpa keberanian, aku yakin pemerintahan tidak bisa survive," kata Dr. Abustan.
Ia mencontohkan sosok Ali Sadikin (Gub DKI) di Jakarta dan Pak Patompo (Wakikota Makassar) di Makassar sebagai pemimpin yang berani mengambil risiko demi kemajuan. Namun, ia menyayangkan bahwa banyak kepala daerah saat ini kurang berani mengambil risiko, bukan semata karena takut kriminalisasi, tetapi karena keterbatasan pemahaman dan pengetahuan tentang apa yang harus dikerjakan.
Wakil Bupati Barru, menegaskan bahwa diskresi dibutuhkan saat tidak ada landasan hukum yang mengaturnya. Namun, kunci agar diskresi tidak berujung kriminalisasi adalah administrasi yang kuat.
"Saya baca tadi dalam buku ada mengatakan jangan anda pemimpin itu hanya sebatas administrasi saja. Diskresi yang baik harus teradministrasi," katanya.
"Kalau ada kebijakan tidak teradministrasi, itulah yang dikriminalisasi. Itu konyol", sambungnya.
Ia lalu membagikan pengalaman kasus pembangunan Sekolah Rakyat di Barru sebagai praktik diskresi yang teradministrasi dengan melibatkan seluruh Forkopimda (Polres, Kejaksaan, Pengadilan, Dandim, Sekda, dan Ketua DPRD) dalam rapat sebelum mengambil keputusan.
Kebijakan ini katanya, memungkinkan akuisisi lahan seluas 7,2 hektare dari 11 masyarakat tanpa pembayaran awal, serta penerbitan sertifikat tanpa Akte Jual Beli berkat Legal Opinion dari Kejaksaan.
"Dan Alhamdulillah, Minggu lalu pembangunan Sekolah Rakyat sudah dimulai", ungkapnya.
Wabup Abustan juga memberikan banyak contoh diskresi dari pengalaman panjangnya selama 32 tahun sebagai birokrat:
Saat menjadi camat: melakukan restrukturisasi kelompok tani tanpa menunggu dinas teknis karena banyak kelompok fiktif.
Saat menjadi Sekda: menggandeng PT Semen Tonasa sebagai wajib pungut untuk meningkatkan pendapatan daerah. Kebijakan itu sempat dipermasalahkan karena tidak ada regulasi yang mengatur, namun tetap ia jalankan karena memiliki notulen dan dokumentasi keputusan.
Ia juga mencontohkan diskresi bermasalah, seperti kebijakan Nadiem Makarim terkait pengadaan Chromebook dan kasus Direktur ASDP, yang menunjukkan bahwa kepentingan yang dilawan seringkali menjadi penyebab kriminalisasi, meskipun kebijakan itu berorientasi pada perbaikan.
Secara khusus, Dr. Abustan menyampaikan kritik konstruktif terhadap struktur buku yang dibedah. "Saya mencoba melihat bab per bab, saya mohon izin ibu, saya tidak baca intinya. Bab per babnya itu masih perlu diperbaiki. Bab 12 sama Bab 13 judulnya sama," ungkapnya.
Ia menyarankan agar buku tersebut seharusnya menjelaskan terlebih dahulu secara rinci apa itu inovasi dan apa itu diskresi secara terpisah, serta menambahkan contoh-contoh diskresi dari pemerintah daerah sebagai pembanding, termasuk studi kasus mengenai tiga level risiko diskresi (high, medium, low).
Diakhir paparannya. Ia memberikan apresiasi tinggi kepada Dr. Deasy Mauliana atas keberaniannya menyusun buku yang ia anggap dapat menjadi "bahan bacaan" untuk mendobrak aparat sipil negara (ASN) yang banyak berpikir incrementalism tidak berani keluar dari zona nyaman.
"Buku ini memang belum sempurna, tetapi minimal membuka pandangan dan mata kita, terutama di birokrat," pungkasnya. (Syamsu)

