Fakultas Hukum UKI Gelar Webinar Bertajuk Hukum Apartemen Dalam Praktek di Indonesia

Para nara sumber, panitia dan peserta webinar hukum apartemen


JAKARTA (wartamerdeka.info) - Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI), menggelar webinar bertajuk “Hukum Apartemen Dalam Praktek di Indonesia”, tanggal 10 Augustus 2020 pukul 14.00-16.20 WIB, melalui aplikasi zoom meeting, dari sentral kendali kampus UKI Jakarta. 

Webinar ini diikuti 241 peserta, yang berasal dari berbagai daerah antara lain: Jabodetabek, Surabaya, Bali, Batam, dan beberapa kota lainnya. Dari chatting group diketahui, para peserta terdiri dari: para Dosen, Notaris, Pengacara, Pemilik Rusun maupun Apartemen, Pengusaha, Mahasiswa, Pers, dan mayarakat umum, dan tentunya beberapa pejabat Struktural FH UKI sendiri. 

Acara dikendalikan Host Sola Grathia EM Bakhu, mahasiswa S-2 MIH UKI, dan moderator Webinar adalah Diana Napitupulu, SH, MH, MKn, M.Sc, yang juga Kepala Departemen Hukum dan Masyarakat di FH UKI. Webinar menghadirkan 3 (tiga) nara sumber yaitu: Dr. Winanto Wiryomartani, SH., M.Hum, Senior Notaris; Dr. Edison Jingga, S.H., M.H dari Jingga Institute; dan Pahala Sutrisno Tampubolon, SH., MKn, Notaris.

Usai menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, Hulman Panjaitan, SH., MH (Dekan Fakultas Hukum UKI) selaku tuan rumah, dalam sambutannya mengatakan bahwa webinar tentang apartemen ini sangat penting, mengingat masih banyaknya persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat.

“Banyak orang yang masih bertanya, apakah apartemen itu sama degan rumah susun, dan bagaimana persoalan yang ada di dalamnya. Tidak jarang kita temukan persoalan dalam hal kepemilikan, soal alas hak kepemilikan, hak atas satuan rumah susun, hak atas bangunannya atau tanahnya. Keterlibatan Notaris sangat kental dalam proses kepemilikan, sehingga kami berharap, para nara sumber yang berkompeten ini, dapat memberi pencerahan dan berbagi ilmu dan pengalamannya kepada para peserta dan seluruh masyarakat,” ungkap Hulman menyambut para peserta webinar dan nara sumber. 

Setelah itu, moderator Diana Napitupulu memberikan sekilas pengantar mengenai apartemen dan dinamikanya, serta memperkenalkan ketiga nara sumber. Selain itu, menjelaskan tata cara bertanya para peserta. 

Mengawali paparannya, nara sumber pertama, Dr. Winanto Wiryomartani, SH., M.Hum mengatakan, berdasarkan data pemerintah kebutuhan rumah susun maupun apartemen di Indonesia, masih sangat tinggi karena masih banyak yang belum memiliki tempat tinggal, apalagi yang bisa dekat dengan tempat pekerjaan masing-masing.

 “Untuk itu, Pemerintah membuat Undang-undang No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, yang mengatur mengenai rumah susun (rusun) di Indonesia. Di dalam UU tersebut ada diatur empat jenis rusun yaitu: Rusun MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah); Rusun khusus (untuk kebutuhan khusus); Rusun untuk pejabat Negara; dan rusun Komersial,” jelasnya.

Dikatakan Winanto, dalam pasal 45 ayat (4) diatur rusun komersil yang dapat dijual atau disewakan. Ada kewajiban membentuk Himpunan PPPSRS (Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun), yang adalah badan hukum yang beranggotakan pemilik atau penghuni satuan rumah susun (sarusun).

Sedangkan biaya pembentukan PPPSRS itu dibebankan kepada pelaku Pembangunan, dan konsumen juga harus mendapatkan perlindungan.

“Tapi kenyataan di lapangan, yang membentuk PPPSRS adalah pelaku pembangunan dan mengatur AD/ART, sehingga mereka juga yang menguasai dalam pelaksanaannya. Padahal, seharusnya pemilik dan penghuni yang membuat, tapi pembiayaannya adalah pelaku pembangunan,” tandasnya.

Selain itu, Winanto juga mengingatkan agar konsumen selalu hati-hati jika membeli rusun, apalagi jika perjanjiannya dibawah tangan. Sebab menurutnya, banyak pengembang yang nakal, yang hanya membuat pameran di hotel-hotel dengan brosur yang bagis-bagus, tapi pada kenyataannya, tanah yang akan dibangun belum sepenuhnya milik pengembang.

“Bagi para konsumen, jika ingin membeli harus hati-hati, jika perjanjian dibawah tangan. Beda jika ditandatangani di depan Notaris. Banyak kejadian dimana konsumen sudah melunasi, tapi sertifikatnya tidak bisa diserahkan kepada konsumen, karena masih bermasalah hukum,” bebernya.

Ditegaskan, konsumen harus mengetahui secara tepat, apakah sertifikatnya sudah diurus oleh pengembang atau belum.

“Jagan sampai nanti konsumen sudah melunasinya, tapi kemudian surat-suratnya tidak beres, karena statusnya tersangkut hukum,” tegasnya.

Sementara nara sumber kedua, Dr. Edison Jingga, S.H., M.H menjelaskan mengenai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 11/PRT/M/2019 Tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah. Permen tersebut menjelaskan soal Pemasaran dan Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual  Beli (PPJB).

Dikatakan Edison, status dan profil developer harus jelas dan sangat penting diketahui konsumen. Supaya ada kepastian bagi konsumen untuk melakukan transaksi pembelian.

“Developer wajib menjelaskan secara terbuka mengenai sertifikat induk, kapan pembangunan dimulai, kapan serah terima, dan lain-lain. Bila tidak dijelaskan, maka calon pembeli berhak membatalkan pembelian. Jika cedera janji, maka developer harus bersedia mengembalikan uang calon pembeli, setelah dipotong pajak 10 persen, dalam tempo 30 hari,” jelasnya.

Disisi lain, Edison menjelaskan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia dan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.

Namun dalam perkembangannya, PP dan Permen tersebut tidak begitu menarik. Orang asing tidak begitu tertarik membeli apartemen. Penyebabnya antara lain: ada azas dan tujuan diterbitkannya Permen dan Menteri Agraria adalah memberikan kepastian hukum, tapi tidak terdkung dengan izin tinggal dengan peraturan lain yang berbeda. 

“Tapi di luar negeri, seperti tetangga kita Malaysia , Singapura sudah bisa. Ada izin tinggal yang sesuai. Sedangkan di Indonesia, untuk orang asing dalam mendapatkan izin tinggal, sangat sulit. Karena untuk izin tinggal atau investasi berbeda. Orang asing harus punya KITAS. Jadi, masih menjadi kontroversi antara izin tinggal dan berinvestasi,” bebernya.

Menurut Edison, peraturan izin tinggal bagi orang asing harusnya dapat disesuaikan, dengan melihat kebutuhan berinvestasi. Dengan demikian, akan dapat mendorong  pertumbuhan perekonomian dalam hal investasi asing. 

Adapun nara sumber ketiga, Pahala Sutrisno Tampubolon, SH., M.Kn lebih menyoroti soal UU Tentang Rusun kaitannya dengan PPRS dan PPPSRS. Dia menjelaskan, apa perbedaan rusun dengan kepemilikan diatas HGB, dengan rusun dengan kepemilikan dengan HPL.

“Saya bicara dengan pendekatan. Saya bicara soal Perhimpunan, PPRS dan PPPSRS. Ada perbedaan antara UU, Permen 23/2018, dan 2 Pergub terakhir (Rusun MBR dan Komersial). Dalam UU, pendekatan rusun adalah pendekatan esensi dan nomenklatur. Sedangkan Permen dan Pergub, karena berbeda antara kepemilikan dan penghunian rusun,” jelasnya. 

Dikatakan Pahala, dalam hal esensi dan nomenklatur tersebut, yang harusnya masih berbeda dalam hal kepemilikan, pngelola, dan penghuni, tapi di lapangan menjadi sama. 

“Di Jakarta, dalam kenyataannya kalau kita rapat, itu jadi sama saja. Baik  untuk kepemilikan, pengelolaan, maupun penghunian, yaitu satu quorum, satu suara. Padahal harusnya berbeda,” tandasnya.

Harusnya, hal tersebut masih harus diatur dalam PP. Demikian juga dalam Pergub yang meyangkut dengan keberadaan PPRS dan PPPSRS, yang nantinya ada kaitannya dengan keberadaan kepengurusan, dan pertanggungjawaban pengurus setelah tiga tahun.

Sementara itu, mengenai quorum dalam melakukan rapat dan pengambilan keputusan, untuk tiga klasisfikasi tadi yaitu UU, Permen maupun Pergub, normanya tidak diatur. Itu diatur dalam AD/ART dari PPPSRS masing-masing, padahal dalam pengambilan keputusan di UU itu diatur, tapi dalam Pergub berbeda.

Setelah ketiga nara sumber selesai paparan, Diana Napitupulu kembali mengambil alih dan membacakan beberapa pertanyaan yang sangat banyak. Bahkan pertanyaan banyak yang nampaknya dari para pemilik apartemen.

Rata-rata pertanyaan yang muncul mengenai kepemilikan yang gagal akibat pengembang ingkar janji, baik dalam hal sertifikat, tidak sesuai waktu selesai pembangunan, hingga pembayaran yang sudah lunas, tapi dari developer belum beres. Ada juga dari segi penghuni yang tidak mendapatkan haknya, padahal pembayaran sudah sesuai, demikian juga soal perhimpunan penghuni yang tidak berdaya, karena pihak pengelola tetap membandel.

Dalam hal sengketa, Winanto mengatakan, jika pengembang tidak memenuhi kewajibannya, sedangkan konsumen sudah memenuhi kewajibannya, maka konsumen bisa menuntut haknya. 

“Namun kalau bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Karena jika diajukan ke pengadilan, itu sudah keputusan pengadilan. Namun ada cara lain yaitu, konsumen bisa melaporkan kepada organisasi perhimpunan pengembang, supaya pimpinan organisasi pengembang turun tangan. Karena bisa jadi di blacklist itu pengembangnya,” pungkasnya.

Ada sekitar 40-an lebih pertanyaan yang diajukan para peserta dalam monitor media, yang titik beratnya permasalahan ada di pihak developer. Termasuk pertanyaan mengenai kondotel, maupun adanya pengembang yang sengaja mempailitkan perusahaannya, agar menghindar dari kewajiban pengembalian uang terhadap konsumen. (DANS)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama