PJK Belum Punya IUP Kelola Tambang Batu Gunung Di Kurra

TANA TORAJA (wartamerdeka.info) - Masih berkisar soal aktivitas penambangan di Toraja, khususnya di Kabupaten Tana Toraja. Ormas Laskar Merah Putih (LMP) Tana Toraja, Yayasan Peduli Tondok Toraya (YAPITO), dan Toraja Transparansi, lewat masing-masing ketuanya, beberapa hari lalu, turun langsung menyisir aktivitas pertambangan batuan berupa pasir dan batu di dua kecamatan, Rantetayo dan Kurra. 

Ketiga pimpinan Ormas dan LSM Toraja, yakni Jansen Saputra Godjang, Drs Rony Rumengan, dan Tommy Tiranda, dengan diikuti sejumlah jurnalis, mulai dari Tapparan Rantetayo menyusuri sungai hingga Kecamatan Kurra. Di sepanjang jalan, ketiganya sempat menyaksikan beberapa titik tempat penampungan pasir, tak jauh dari  bantaran sungai Tapparan. 

Sesekali, Tommy Tiranda yang juga Pimred PMTINEWS mengambil gambar dari kejauhan, sambil mobil Avansa milik Jansen yang ditumpangi terus melintas. Jalan menuju Kurra memang tampak rusak dan tidak nyaman dilewati. Sasaran utama tur monitoring setelah Tapparan, sesuai informasi masyarakat, adalah lokasi penambangan batu gunung di Lembang Limbong Sangpolo.

Jansen-Rony-Tommy sempat melihat lokasi tambang yang lain sesaat sebelum tiba di lahan milik Amos Bone. Letaknya di sebelah kanan tepi jalan poros Kurra. Namun karena data tentang ini kurang dimiliki, ketiganya hanya mengambil gambar. Setelah itu mereka lanjut ke lokasi Amos yang dikelola CV Pare Jaya Karya (PJK) pimpinan Agustinus Isak Indan alias Gusti. PJK bekerjasama dengan PT Kurnia Jaya Karya (KJK) pimpinan Yusuf Rombe.

Bentuk kerjasamanya dalam hal pemanfaatan produk batuan batu gunung untuk proyek-proyek KJK di Toraja. Ini sesuai keterangan dari pemilik lahan, Amos Bone alias Pong Putra, ketika ditemui di rumahnya di lokasi tambang, Lembang Limbong Sangpolo, baru-baru ini. "Saya hanya lahan. Izin juga bukan Pak Rombe, coba buka di medsos, CV Pare Jaya Karya," kata Amos polos. 

Amos lebih jauh merinci peran KJK dan PJK dalam hal ini. Investasi KJK dalam mengelola tambang tersebut, adalah untuk peralatan seperti pengadaan conveyor dan lainnya. "Alatnya Pak Rombe, ada dua alat termasuk conveyor. Penyerahan materialnya Pare Jaya Karya, karena PJK yang kelola dan yang memproduksi. Tempat tampung materialnya di Bua ditangani Pak Jems. Mereka, KJK dan PJK, mitra saya pak," ungkap Amos lagi.

Ditanya BBM solar yang digunakan diambil dari mana, Amos mengatakan, itu bukan urusannya. "BBM dari kantornya di Tagari. Saya tidak ada urusannya kalau soal BBM," ucapnya. Ketika disinggung legalitas penambangan di atas lahan miliknya ia menjawab enteng dengan mengatakan sudah ada. "Sudah sesuai regulasi, tidak ada masalah lagi," timpalnya. 

Namun dari kajian Toraja Transparansi atas dokumen yang dipunyai PJK, yang ada baru WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan), bukan IUP. "Belum ada IUPnya dan ini klir. Coba lihat di surat persetujuan pemberian WIUP yang ditandatangani Dirjen Minerba dengan lembar pengesahan dilampiri daftar koordinat serta peta WIUPnya di situ jelas syarat dan ketentuannya," beber Jansen. 

WIUP, menurut ketentuannya, kata Ketua FKPPI Tana Toraja ini, bukan merupakan surat izin untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan dan dilarang menggunakan WIUP untuk keperluan lain di luar maksud dan tujuan surat persetujuan tersebut. "Jadi jelas tambang yang dikelola CV Pare Jaya Karya ilegal karena belum punya IUP," tegas Jansen yang juga jurnalis senior ini. 

Untuk mendapatkan IUP, tambah Jansen, bersyarat. Pihak pemohon IUP harus melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat setempat. Kemudian harus ada izin lingkungan apakah Amdal atau UKL-UPL. "Jadi tidak mudah pak, proses ini saja susah, tapi harus dilakukan karena memang prosedurnya begitu," jelasnya. Pandangan Jansen ini mendapat sokongan dari Ketua Toraja Transparansi, Tommy Toraja. 

Tommy memang dikenal banyak tahu tentang prosedur dan perizinan mengenai usaha pertambangan. Hal sama dilontarkan Rony Rumengan, Ketua YAPITO yang juga Pengurus Pusat PMTI (Perhimpunan Masyarakat Toraja Indonesia) membidangi Lingkungan Hidup. Bagi Rony, izin lingkungan wajib dimiliki setiap usaha apalagi bidang pertambangan. "Wajib hukumnya punya izin lingkungan seperti Amdal atau UKL-UPL," tandas Rony. 

Dengan belum adanya IUP dimiliki Pare Jaya Karya, maka Jansen meminta pihak berwenang segera turun tangan mengambil langkah hukum yang diperlukan. "Kami minta pihak berwenang segera menghentikan aktivitas pertambangan yang dilakukan perusahaan tersebut. Tidak ada alasan membiarkan perusahaan tersebut beroperasi tanpa IUP," ketus Jansen. Ia juga akan berkoordinasi dengan pihak Ditjen Minerba untuk hal ini. 

Diketahui, dalam Surat Persetujuan Pemberian WIUP bernomor 1068/MB.03/DJB/WIUP/2022 ditandatangani Dirjen Minerba KemenESDM Ridwan Djamuluddin kepada Direktur CV Pare Jaya Karya Agustinus Isak Indan, disebutkan jenis penambangan adalah golongan batuan komoditas batu gunung quarry besar di atas lahan seluas 11,8 hektar. Kode dan nama KBLI adalah batu hias dan batu bangunan. Lokasinya di Desa Limbong Sangpolo, Maroson, dan Desa Rante Kurra. (red)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama