Jaksa Saling Bongkar Borok



Penulis: Aris Kuncoro

JAKARTA-Pencopotan Rusdi Taher, SH sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta, pada pekan lalu, memicu kontroversi baru. Sebab, Rusdi Taher rupanya tak mau menyerah begitu saja. Dia sempat melempar pernyataan yang menguak ‘’bobroknya’’ penegakan hukum di kalangan kejaksaan.

Ia menjelaskan, dirinya kerap mendapat intervensi dan 'dipaksa' melakukan hal-hal yang di luar tugas dan kewenangannya yang tak jarang berlawanan dengan hati nuraninya yang berbuntut cemoohan dari publik.

Ia mencontohkan, dalam kasus korupsi KPUD DKI Jakarta atas terdakwa Ketua KPUD M Taufik dia telah mengajukan rentut lima tahun penjara, namun oleh Bidang Pidsus di Kejaksaan Agung rencana tuntutan (rentut) itu berubah menjati satu tahun delapan bulan setelah dirinya menolak permohonan salah seorang pengacara yang menyampaikan permohonan salah seorang menteri agar Kajati menurunkan rentut atas Taufik.

"Belum ada sejarahnya rentut dari Kajati turun di Pidsus Kejagung. Apa seorang JAM Pidsus menyetujui permintaan menteri karena tertekan?" kata dia lagi.

Lebih lanjut ia menambahkan, dalam kasus pengelolaan kawasan Kemayoran dengan calon tersangka pengusaha Hartati Murdaya, dia dihubungi oleh JAM Pidsus (Hendarman Supandji) yang menyatakan kasus itu akan ditarik ke Kejagung.

"Saya tolak, saya tidak mau. Saya bilang apa alasannya kasus itu mau ditarik ke Pidsus Kejagung?" kata dia.

Rusdi mengatakan, dia tidak bisa mengungkapkan alasan penolakannya karena dikhawatirkan dapat menciptakan instabilitas politik di Indonesia.

"Sering kali saya menjalankan keputusan atasan, tapi publik melihat itu perbuatan Kajati DKI Rusdi Taher," kata dia.

Gayung pun bersambut. Pernyataan Rusdi ini langsung disambar para politisi yang selama ini memang sangat kritis terhadap pemerintah. Amien Rais, misalnya, menyatakan, bahwsa pangakuan Rusdi Taher tentang intervensi pejabat negara terhadap penanganan kasus-kasus korupsi, membuktikan pemberantasan korupsi di Indonesia masih tebang pilih.

"Apa yang diungkap Pak Rusdi itu memperlihatkan secara jelas bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini masih tebang pilih," kata mantan Ketua MPR Amien Rais dalam konferensi pers di Gedung Nusaantara III, Senayan, Jakarta, Selasa.

Menurut Amien, pengakuan Rusdi Taher tersebut merupakan pintu kecil sebagai jalan masuk untuk mengusut kasus-kasus besar yang penyelesaian hukumnya tidak jelas karena ada intervensi pejabat negara (selengkapnya baca halaman 22).

Kalangan anggota Komisi III DPR pun tak mau ketinggalan. ''Soal pencopotan dan pengakuan Rusdi mengenai intervensi Kejaksaan Agung, akan kita minta penjelasan langsung dari Jaksa Agung,'' kata anggota Komisi III DPR dari F-PAN Arbab Paproeka di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta.

Menurutnya, pergantian pejabat di lingkungan kejaksaan merupakan wewenang Jaksa Agung. Namun, keputusan itu perlu dijelaskan secara terbuka dan obyektif agar tidak menimbulkan prasangka yang memojokkan pihak tertentu.

''Kalau Rusdi dinilai tidak cakap memegang jabatan itu maka wewenang Jaksa Agung untuk menggantikannya. Tapi kita berhak meminta penjelasan soal itu,'' kata anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Tenggara (Sultra) itu.

Namun, anggota Komisi III dari fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Patrialis Akbar, menyatakan Rusdi Taher harus menunjukkan bukti sesuai dengan pernyataannya bahwa dirinya sering diintervensi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

"Itu kan baru informasi, harus dibuktikan dulu apa yang dikatakan oleh Rusdi Taher itu," kata Patrialis ketika ditemui di sela-sela rapat konsultasi antara Komisi III dan Mahkamah Konsitusi (MK) di Gedung MK, Jakarta.

Sedangkan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menolak untuk dikonfrontir dengan mantan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Rusdi Taher dalam dugaan kasus rekayasa rencana tuntutan (rentut).

"Masak atasan dikonfrontir dengan anak buah," ujarnya kepada wartawan di Kantor Presiden Jakarta, Kamis (7/9).

Hal itu disampaikannya menanggapi desakan sejumlah pihak agar dirinya dikonfrontir dengan Rusdi untuk menjelaskan dugaan adanya intervensi kejaksaan agung dalam sejumlah tuntutan kasus diantaranya kejanggalan dalam penurunan masa tahanan Ketua KPUD DKI Jakarta M Taufik.

Mengenai pencopotan Rusdi Taher sebagai Kajati DKI Jakarta, oleh Tim dari Kejaksaan Agung dijelaskan, karena yang bersangkutan terbukti bersalah mengajukan tuntutan terlalu rendah dalam perkara kasus sabu-sabu.

Pengumuman pencopotan Rusdi Taher itu disampaikan secara terbuka dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung Jakarta, Jumat (1/9). Pencopotan ini cukup menggemparkan intern kejaksaan karena inilah kasus pertama seorang Kepala Kejaksaan Tinggi terdongkel gara-gara kasus sabu-sabu.

Selain Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, hadir pula dalam jumpa pers itu sejumlah petinggi Kejaksaan Agung seperti Wakil Jaksa Agung Basrief Arief, Jampidsus Hendarman Supanji, Jamintel Muchtar Arifin, Plt Jampidum Abdul Hakim Ritongga dan Plt Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Togar Hutabarat.

Menurut Basrief Arief, dari hasil pengusutan, Rusdi Taher diketahui membuat surat rencana tuntutan (rentut) ganda untuk bandar sabu-sabu, Haryono Agus Tjahyono. Versi pertama, tuntutan selama enam tahun dan kedua tuntutan selama 15 tahun. Tuntutan ganda ini dibuat dalam waktu satu hari (bersamaan) sehingga menimbulkan kecurigaan.

Tuntutan itu dinilai aneh dan terlalu rendah karena Haryono tergolong bandar besar. Mestinya ia dituntut maksimal dan seberat-beratnya. Dalam kasus itu, Haryono terbukti memiliki 20 kilogram sabu-sabu.

Plt Jamwas Togar Hutabarat menegaskan, Rusdi Taher tidak melaksanakan petunjuk pimpinan dalam melaksanakan pengendalian perkara penting yang menarik perhatian masyarakat.

"Yang bersangkutan tidak profesional dan tidak sungguh-sungguh dalam penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana umum. Ia tidak menaati peraturan dan perundang-undangan yang berlaku," tegasnya.

Sesuai persetujuan Jaksa Agung, lanjut Togar, Rusdi Taher dikenakan hukuman disiplin berat berupa pembebasan dari jabatan struktural.

Togar menguraikan, perbuatan tercela yang dilakukan Rusdi adalah membuat surat rencana tuntutan terhadap bandar sabu Haryono sebanyak dua buah atau ganda. Awalnya, karena kasus yang ditangani ini adalah kasus narkoba kelas kakap, ia menyampaikan rentut kepada Jampidum Kejagung yang isinya akan menuntut Haryono selama enam tahun penjara.

Namun karena Jampidum mempertanyakan rendahnya Rentut tersebut, Rusdi langsung menggantinya dengan tuntutan selama 15 tahun penjara. Namun dalam kenyataannya, bandar sabu tersebut hanya dituntut tiga tahun penjara. Dan kemudian divonis dengan hukuman tiga tahun penjara juga.

"Tuntutan rendah seperti itu merupakan penyimpangan terhadap perkara narkotika. Seharusnya dituntut berat," jelas Togar.

Rusdi Taher sendiri, menurut Togar, sudah menerima surat pemberitahuan atas pencopotan dari jabatannya. Sesuai UU Nomor 16 Tahun 2004, Rusdi Taher sudah tidak melakukan pembelaan diri lagi.

Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh Rusdi Taher hanyalah mengirimkan surat keberatan kepada Jaksa Agung. "Keberatan tersebut harus diterima oleh Jaksa Agung paling lambat 14 hari terhitung dari tanggal 31 Agustus lalu," ujar Wakil Jaksa Agung Basrief Arief.

Dijelaskan Basrief, dengan pencopotan jabatan struktural tersebut, Rusdi Taher kini hanya berstatus jaksa fungsional. Dia tidak memiliki jabatan apapun.

Selain Rusdi, dua jaksa anak buah Rusdi Taher yakni Aspidum Kejati DKI Nurrahmat dan Kepala Kejari DKI Jakarta Barat Dimas Mukadis, juga akan dikenakan sanksi berat akibat melakukan perbuatan tercela seperti Rusdi Taher. Sebenarnya, pengumuman sanksi untuk kedua anak buah Rusdi Taher ini juga akan disampaikan bersamaan.

"Kami belum mendapat laporan, apakah pemberitahuan sanksi kepada dua jaksa tersebut sampai atau belum. karena itu, kami belum bisa sampaikan," lanjut Togar.

Bahwa Rusdi Taher bersalah dalam kasus sabu-sabu itu, banyak kalangan mengamini. Tapi, soal ’’nyanyian’’ Rusdi tentang adanya intervensi dari atasan bekaitan dengan sejumlah kasus hukum yang ditangani kejaksaan tinggi, sehingga menyebabkan sejumlah kasus korupsi ’’hanya’’ dituntut relatif rendah, patut juga mendapat perhatian.

Keterangan Foto: Rusdi Taher (berseragam Jaksa) dan Abdul Rahman Saleh (berdasi)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama