Dalam amar putusan, MK menyatakan bahwa Pasal 22 ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden RI dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan".
Oleh karena itu, pergantian jaksa agung harus segera dilakukan. "Artinya, (Jaksa Agung) harus berhenti sejak ini. Mau menunggu, seperti misalnya mau menunggu pergantian dua-tiga hari, enggak apa-apa, cuma harus diambil langkah," ungkapnya.
MK mengatakan, selama ini terdapat ketidakpastian hukum sehingga, ke depan, legislative reviewharus segera dilakukan untuk memberi kepastian dengan memilih salah satu dari alternatif yang ada.
Sambil menunggu, MK melakukan penafsiran sebagai syarat konstitusional untuk pemberlakuan Pasal 22 ayat 1 huruf d ini. Ini berarti masa jabatan jaksa agung berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan presiden yang mengangkatnya atau diberhentikan oleh presiden. "Jabatan dan keputusan-keputusan sebelumnya masih sah, tapi kan karena putusan keluarnya, maka mulai tadi sudah tidak sah," tandasnya
Menurut Mahfud, Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-undang Kejaksaan tidak memberikan kepastian hukum dan harus dilakukan legislative review. Namun, sebelum adanya proses tersebut, MK memberikan persyaratan penafsiran di pasal tersebut. "Permohonan pemohon agar dinyatakan konstitusional bersyarat akan konstitusional sepanjang dimaknai masa jabatan jaksa agung berakhir dengan masa jabatan presiden," ungkap Mahfud.
Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan dikatakan bersyarat sepanjang dimaknai bahwa masa jabatan jaksa agung berakhir seperti masa jabatan presiden dalam 1 periode atau bersama kabinet atau diberhentikan presiden.
Menurut MK, harus ada kejelasan mengenai waktu pengangkatan dan pemberhentian bagi seorang jaksa agung.Ada empat alternatif yang diberikan, yakni, pertama, berdasarkan periodesasi kabinet atau presiden. Kedua, periode masa waktu tertentu yang sudah tetap dan ditambah masa jabatan politik. Ketiga, memasuki masa pensiun. Terakhir, diskresi presiden atau pejabat yang mengangkatnya.
Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan dikatakan bersyarat sepanjang dimaknai bahwa masa jabatan jaksa agung berakhir seperti masa jabatan presiden dalam 1 periode atau bersama kabinet atau diberhentikan presiden.
Menurut MK, harus ada kejelasan mengenai waktu pengangkatan dan pemberhentian bagi seorang jaksa agung.
"Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan memang menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena itu, segera membentuk legislative review karena prosedur lama sambil menunggu MK memberikan syarat konstitusional pasal 22 ayat 1 huruf d dan berlaku prospektif ke depan. Salah satu dari empat poin di atas," tandas Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Dalam putusan tersebut, ada dua hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda ataudissenting opinion, yakni Achmad Sodiki dan Harjono.
Dalam putusan tersebut, ada dua hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda ataudissenting opinion, yakni Achmad Sodiki dan Harjono.
Ketua DPP PAN Bara Hasibuan menilai putusan MK yang 'menganulir' Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung menurunkan wibawa pemerintah. Hal ini harus dijadikan pelajaran penting oleh pemerintah.
"Implikasi dari keputusan MK ini, adalah terganggungnya kewibawaan dari pemerintah secara keseluruhan. Termasuk juga proses penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak eksekutif secara keseluruhan," kata Bara.
Bara nenegaskan, ke depan pemerintah harus memastikan semua posisi di pemerintahan harus memenuhi aturan sistem kenegaraan. Dengan demikian tidak ada celah bagi siapa pun untuk menggugat keabsahan posisi-posisi tertentu.
"Yang lebih buruk adalah persepsi masyarakata bahwa pemerintah gagal menjalankan aturan. Kalau pemerintahnya saja gagal menjalankan aturan, bagaimana penerapannya?" kata Bara.
Sedangkan anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi atau MK yang mengabulkan permohonan uji materi UU Kejaksaan Nomor 16/2004 menunjukkan keteledoran pihak Istana dalam pengangkatan Jaksa Agung Hendarman Supandji.
"Implikasi dari keputusan MK ini, adalah terganggungnya kewibawaan dari pemerintah secara keseluruhan. Termasuk juga proses penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak eksekutif secara keseluruhan," kata Bara.
Bara nenegaskan, ke depan pemerintah harus memastikan semua posisi di pemerintahan harus memenuhi aturan sistem kenegaraan. Dengan demikian tidak ada celah bagi siapa pun untuk menggugat keabsahan posisi-posisi tertentu.
"Yang lebih buruk adalah persepsi masyarakata bahwa pemerintah gagal menjalankan aturan. Kalau pemerintahnya saja gagal menjalankan aturan, bagaimana penerapannya?" kata Bara.
Sedangkan anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi atau MK yang mengabulkan permohonan uji materi UU Kejaksaan Nomor 16/2004 menunjukkan keteledoran pihak Istana dalam pengangkatan Jaksa Agung Hendarman Supandji.
"Putusan MK ini merupakan bukti keteledoran fatal dari pihak Istana yang tidak paham akan hukum tata negara," kata Bambang Soesatyo.
Menurut Bambang, putusan MK ini jelas merupakan pukulan telak bagi pihak Istana. "Kalau terjadi seperti ini, kasihan Jaksa Agung Hendarman yang menjadi korban keteledoran tersebut. Presiden harus memberi sanksi kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab hingga terjadi keteledoran," kata Bambang.
Bambang juga meminta semua pihak, termasuk Presiden, untuk menghormati dan menaati putusan MK ini. "Jangan sampai Presiden SBY tidak mengindahkan keputusan yang telah dibuat MK. Karena masa jabatan Jaksa Agung Hendarman telah dinyatakan berakhir, Presiden harus secepat mungkin mengajukan nama jaksa agung yang baru ke DPR," kata Bambang.
Senada dengan itu, anggota Komisi III dari Fraksi PKS, Nasir Jamil juga menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi atau MK soal jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji menjatuhkan kredibilitas Presiden.
"Presiden harus bertanggung jawab karena SBY lalai dalam hal penggantian posisi jaksa agung. Hendarman tidak salah, yang salah itu adalah atasan Hendarman, yakni Presiden," ujarnya.
Nasir lantas meminta pemerintah dalam waktu dua hari ini sudah menetapkan pengganti Hendarman. "Pekan depan, jaksa agung yang baru sudah harus ada yang definitif karena putusan MK itu final dan mengikat. Tidak ada alasan untuk menunda melantik jaksa agung yang baru pada Senin depan," ujar Nasir.
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negera Sudi Silalahi menegaskan, keputusan Mahkamah Konstitusi atau MK terkait dengan jabatan Jaksa Agung yang ditetapkan pada Rabu (22/9/2010) siang tidak berpengaruh pada jabatan Hendarman Supandji.
"Pertama, kami menghormati putusan MK tersebut, di situ menyatakan MK memutuskan jaksa agung itu sah, tidak ada kata-kata ilegal. Kami sudah menerima salinan amar putusannya. Selain itu dalam UU Kejaksaan disebutkan bahwa Presiden-lah yang berhak mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung," ungkap Sudi.
Dengan demikian, kata Sudi, Hendarman tetap merupakan JaksaAgung RI sampai dengan adanya pergantian yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Kata-kata ilegal itu muncul di luar persidangan, bukan perbincangan atau komentar dari Yusril atau siapa pun yang bisa menurunkan Jaksa Agung," papar Sudi.
"Pertama, kami menghormati putusan MK tersebut, di situ menyatakan MK memutuskan jaksa agung itu sah, tidak ada kata-kata ilegal. Kami sudah menerima salinan amar putusannya. Selain itu dalam UU Kejaksaan disebutkan bahwa Presiden-lah yang berhak mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung," ungkap Sudi.
Dengan demikian, kata Sudi, Hendarman tetap merupakan Jaksa