Achmad Rubaie, Politisi Ulet dan Piawai

Dr Achmad Rubai

Oleh  : Ainur Rafiq Sophiaan
Pengamat  Sosial Politik di Surabaya


Musyawarah Wilayah V Partai Amanat Nasional (PAN Jatim) akan segera digelar awal Agustus depan. Dipastikan forum tertinggi di tingkat provinsi itu dilakukan secara daring alias virtual. Jadi maklum saja gebyarnya tak semeriah tatap muka. Ramainya justru di jagat maya.  Elite partai  bisa berkumpul  di Surabaya. Namun,  peserta bisa dari sekretariat partai masing-masing. Malah, bisa cukup di rumah. Aneh tapi nyata !

Dan itu sudah mulai dari berbagai pemberitaan media-media daring. Calon yang kerap disebut-sebut paling mungkin menggawangi partai berlogo matahari itu lima tahun ke depan adalah Dr Achmad Rubai. Masyarakat Jatim yang di era Reformasi sempat menyaksikan dan mengikuti hingar bingar peralihan rezim boleh jadi tak  asing dengan nama satu ini. Mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Badko Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saat kuliah S1 di IAIN Sunan Ampel Surabaya (sekarang UINSA).

Saya mengenalnya sejak dia bersama beberapa tokoh Jatim sibuk mempersiapkan berdirinya PAN di Jatim. Dan sudah tentu perwakilan di daerah. Yang saat itu menjadi tanda tanya besar, mengapa untuk sebuah urusan politik yang masih belum jelas  masa depannya rela meninggalkan status Pegawai Negeri Sipil yang zaman itu  terlalu sulit digapai banyak orang. Ketika saya bertanya, jawabnya enteng, “Ini  juga panggilan umat dan bangsa. Tidak boleh setengah hati.”

Rupanya sikap itu sudah diperhitungkan matang. Dan hasilnya juga tidak sia-sia. Dia terpilih menjadi anggota DPRD Jatim dalam dua kali Pemilu 1999 dan 2004. Kemudian dalam Pemilu 2009 melenggang ke Senayan. Pada pemilihan Gubernur Jatim pasca Reformasi 2003  dia  bersama Haruna Sumitro  menggalang dukungan untuk Mayjen (Pur) Imam Utomo hingga  mengungguli saingannnya Brigjen (Pur) Abdul Kahfi dengan skor 63-34. Abstain 1, rusak 2. Klop 100 suara. Perang bintang yang amat seru di tengah euforia kebebasan politik.

Konflik dan Konsensus

Dengan keluasan pergaulan dan keluwesan berbicara agaknya menjadi modal dasar pria kelahiran 1958 itu meniti jalur politik yang penuh lika-liku. Kadang terjal dan curam. Tak sedikit yang cukup bertahan semusim. Dan  sudah biasa  panggung yang  akrab dengan konflik dan persaingan. Politisi yang piawai dan ulet. Mungkin sisi lain bisa dinilai pragmatis. Tapi, mana ada politik yang tidak pragmatis ?

Dalam suatu kesempatan Doktor Hukum dari Fakultas Hukum UB Malang ini  mengutip kata-kata  filosof Jerman, Ralf Dahrendorf yang menyatakan,  masyarakat memiliki dua wajah. Yaitu konflik dan konsensus.

"Kita harus bangun bagaimana dalam politik konflik itu bisa arahkan menjadi konsensus. Sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan keadilan hukum bagi semua. Jangan konflik untuk konflik, Itu konsepsi Marxis yang tidak cocok untuk  kita,”  terangnya.

Pernyataan advokat  Hufron & Rubaie Advocates ini menjadi signifikan dan tantangan. Pasalnya, Muswil sebelumnya 2015 berakhir tragis. Ditambah lagi Kongres V di Kendari Februari lalu juga diwarnai keributan hingga beberapa luka. Publik sudah telanjur disuguhi tontonan memprihatinkan. Menguatkan persepsi publik bahwa politik identik  dengan konflik, kontestasi, dan turbulansi (kegaduhan).

“Ke depan PAN sebagai partai yang mengusung moralitas agama harus kembali pada khittahnya. Merangkul semua unsur masyarakat untuk membangun Jatim yang  agamis, adil, maju, dan makmur,” tekadnya.

Dalam lima tahun terakhir tampilan dan kinerja partai  memang memprihatinkan. Malah banyak kader-kader Muhammadiyah di Jatim yang memiliki basis sosial jelas “dipensiundinikan.” Padahal seharusnya didayagunakan untuk memperkuat pemilih tradisional.  Dalam konteks ini Rubaie yakin  dirinya mampu mengkonsolidasikan kembali puing-puing yang berserakan.

“Dengan kerja keras, cerdas, dan tuntas semua masalah bisa diselesaikan,” katanya pendek.  Selamat berjuang !( Sudono Sued, ed)

Surabaya, 24 Juli 2020

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama