Dari Keterangan Saksi Terungkap Lagi Terdakwa Robianto Idup Tak Bayar Kontraktor

Suasana sidang perkara pidana terdakwa Robianto Idup di PN Jaksel.

JAKARTA (wartametdeka.info) - Tiga lagi saksi diperiksa majelis dalam perkara penipuan dan penggelapan atas nama terdakwa Robianto Idup Komisaris PT Dian Bara Genoyang (PT DBG).

Saksi saksi tersebut adalah Purnawan J. Kristiawan, Megi Sumantri dan Berlian.

Saksi Purnawan J Kristiawan adalah
bagian keuangan PT DBG. Dia dicecar habis oleh ketua majelis hakim Florensia Kendengan, SH, MH, karena memberi keterangan berbeda dengan saksi saksi sebelumnya, pada sidang yang berlangsung malam hari di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (23/7/2020).

Hakim ketua Florensia Kendengan SH MH bertanya beberapa kali kepada Purnawan J. Kristiadi mengapa  Robianto Idup Komisaris PT DBG tidak mau membayar tagihan/invoice PT GPE (Graha Prima Energy), padahal yang dihasilkan PT GPE berupa batubara yang telah dijual tercatat puluhan miliar rupiah.

"Saya jadi penasaran, ada hasil penjualan batubara mencapai Rp 71 miliar hasil kerja PT GPE tetapi kok tidak mau bayar tagihan kontraktor itu sebesar Rp 22 miliar saja. Apa alasan Robianto Idup tidak mau bayar pihak yang sudah bekerja dan menghasilkan uang," tanya  Florensia.

"Saya tidak tahu ibu hakim. Urusan bos-boslah itu semua,"  jawab  saksi Purnawan.

Florensia Kendengan dengan anggota majelis hakim Toto Ridarto SH MH dan Arlandi Triyogo SH MH agak penasaran hingga mempertanyakan hal yang sama berulang kali. Sebab sebelumnya Purnawan dalam keterangannya menyebutkan bahwa penambangan yang dilakukan kontraktor PT GPE menghasilkan uang sekitar Rp 71 miliar setelah batubara tersebut dijual PT DBG ke Singapura.

"Penjualan batubara ke Singapura tercatat Rp 71 miliar," ungkap saksi Purnawan seraya melihat catatannya.

"Teruskan keterangannya, uang Rp 71 miliar itu dikemanakan," kata Florensia agaknya penasaran. "Untuk bayar gaji karyawan, pajak, royalty, bayar tagihan untuk perusahaan lain, sisanya tidak tahu dikemanakan Bu hakim saya kan hanya karyawan yang tidak dapat menentukan," jawab Purnawan.

"Jadi, sampai saat ini saudara saksi tidak tahu apa alasan bosmu untuk tidak mau membayar kontraktor PT GPE? Aneh juga ya, orang kaya ini ada duit tapi tak mau bayar. Malah memilih masuk penjara. Duit kan bisa dicari. Kalau saya yang jadi orang kaya, saya bayar semua tagihan itu. Yang penting hidup tenang dan nyaman," ujar Florensia berkomentar setelah mendengar keterangan saksi Purnawan.

Majelis hakim juga mempertanyakan berapa sesungguhnya invoice atau tagihan PT GPE ke PT DBG, apakah hanya Rp 22 miliar sebagaimana disebutkan saksi Purnawan atau sekitar Rp 70 miliar seperti  dikatakan  saksi korban Herman Tandrin dan saksi lainnya di persidangan sebelumnya.

“Saksi korban (Herman Tandrin) menyebutkan kerugiannya Rp 70 miliar, dan hal itu diperkuat saksi lain dalam keterangan sebelumnya. Sementara saudara menyebutkan Rp 22 miliar, jadi mana yang benar?. Coba lihat catatanmu, apakah jumlah Rp 22 miliar itu didukung catatan atau hanya omongan saja,” tanya Florensia.

Saksi Purnawan hanya menyebutkan Rp 22 miliar secara lisan saja. Karena itu, ketika majelis hakim meminta saksi menunjukkan bukti-buktinya berdasarkan  catatannya. Namun Purnawan tidak bisa menunjukkannya dengan dalih tidak dapat melihatnya secara jelas karena  kacamatanya lupa dibawanya. Ketua majelis hakim sempat menawarkan kacamata jaksa atau pengacara bahkan kacamatanya sendiri, namun Purnawan tidak menyatakan kesiapan mempergunakan kacamata tersebut.

Majelis hakim akhirnya tidak meneruskan saksi untuk memperlihatkan bukti catatan yang menunjukkan tagihan PT GPE yang belum dibayar hanya Rp 22 miliar. Majelis berpegang pada keterangan saksi korban dan saksi lainnya bahwa PT GPE dirugikan Rp 70 miliar.

Selanjutnya persidangan dilanjutkan memeriksa lain yang diajukan JPU Marli Sihombing dan  Bobby Mokoginta yaitu saksi Megi Sumantri dan Berlian.

Dalam keterangannya,  saksi Berlian menyebutkan dalam pelaksanaan penambangan batubara di areal konsesi PT DBG, pihaknya (PT GPE) beberapa kali melampaui target produksi. Namun beberapa kali pula hanya mencapai di bawah target. Oleh karena itu, pihaknya sempat meminta direvisi target produksi oleh PT DBG. Alasannya kajian akan kandungan batubara meleset dari yang disebutkan PT DBG. Belum lagi kendala longsor.

Berlian membantah longsor terjadi karena tidak difungsikan pompa di lokasi. “Kemiringan lokasi itu sendiri yang menyebabkan longsor, bukan karena tak ada pompa,” katanya.

Penasihat hukum terdakwa, Dito Sitompul dari kantor advokat Hotma Sitompul, mempertanyakan kepada saksi apakah ada pembayaran pada 2013, yang dijawab saksi ada untuk tagihan sebelumnya.

Adapun tanggapan  terdakwa Robianto Idup atas keterangan tiga saksi, menyatakan banyak keterangan saksi Berlian yang tidak benar. Namun ketika diminta majelis hakim menyebutkan keterangan mana yang tidak benar, Robianto menyatakan akan dimasukkan pada pledoinya nantinya. Sedangkan keterangan dua saksi lainnya diakui dan dibenarkannya.

Seperti diberitakan perkara Robianto Idup berawal dari kerjasama pekerjaan di penambangan batu bara di desa Salim Batu, kec. Tanjung Palas, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.

Robianto Idup (komisaris) bersama Ir. Iman Setiabudi (Direktur Utama)  mewakili PT DBG meminta agar Herman Tandrin selaku Dirut PT Graha Prima Energy (GPE) untuk melakukan penambangan di lokasi milik PT DBG.

Setelah disepakati perjanjian, PT GPE melakukan pekerjaan mulai pembuatan jalan ke lokasi sepanjang 6
kilometer, membuat  pelabuhan untuk tempat pengumpulan batu bara.

Perjanjian awalnya memang PT GPE akan dibayar sesuai perjanjian, setelah batubara ditambang. dan dicek kedua pihak.

Namun faktanya  hasil penambangan pada Juni 2012  sebanyak 49.499 MT, dan hasil pekerjaan November 2012 sebanyak 66.001 MT belum dibayar.

Pihak PT GPE melakukan penagihan dan tidak
ada pembayaran dan untuk itu dihentikan pekerjaan. Alasan menghentikan
pekerjaan karena pihak PT GPE membeli alat alat berat untuk
penambangan dengan cara leasing dari Bank, begitu juga gaji pekerja
serta pembelian bahan bakar solar untuk alat berat harus dinayar.

Namun, atas bujukan dari terdakwa Robianto Idup selaku
Komisaris dan pemilik PT DBG akhirnya kembali dilakukan penambangan. Akan tetapi kembali hasil pekerjaan PT GPE untuk Februari 2012 sebanyak 108.113 MT dan sudah dijual PT DBG tidak dibayar.

Ketika ditagih kepada Robianto Idup alias Bembeng, tetap tidak dibayar dengan alasan dana hasil penjualan tersebut dipergunakan untuk usaha lainnya. Sehingga Robianto Idup dilaporkan saksi Herman Tandrin ke Polda Metro Jaya.

Terdakwa Robianto Idup sempat masuk  DPO dan Red Notice sebelum kemudian menyerahkan diri di Belanda. Kini dia ditahan di Rutan Polda Metro Jaya, cabang Kejaksaan RI. Karenanya setiap persidangan perkara ini dilangsungkan secara daring. (dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama