JAKARTA (wartamerdeka.info) - Setelah membuat laporan ke Bareskrim Mabes Polri, Wakil Ketua MPR RI Prof. Dr. Ir. H. Fadel Muhammad kembali melaporkan AA La Nyalla Mattalitti, Ketua DPD RI, Badan Kehormatan DPD RI.
"Kami mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (BK DPD RI), hari ini, terhadap saudara AA Lanyalla Mattalitti (Ketua DPD RI) atas pelanggaran terhadap UU MD3, Tata Tertib DPD RI dan Kode Etik DPD RI," ujar Fadel Muhammad kepada wartawan, Kamis (25 Agustus 2022).
Menurut Fadel, tindakan pencopotan dirinya dari Wakil Ketua MPR RI melalui mekanisme "Mosi Tidak Percaya" oleh Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti adalah tindakan yang melanggar UU MD3, Tata Tertib DPD dan Kode Etik DPD
"Selaku Ketua Ketua DPD Ri La Nyalla telah melanggar UU MD3, Tata Tertib DPD dan Kode Etik DPD berupa tindakan manipulasi acara Sidang Paripurna Ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 DPD RI tanggal 18 Agustus 2022 yang mengakibatkan adanya keputusan Sidang Paripurna untuk pemberhentian/penggantian diri saya sebagai Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dari unsur DPD RI periode 2019-2024 dan pemilihan calon Pimpinan MPR RI dari unsur DPD RI," tandas Fadel.
Dalam surat pengaduannya, Fadel menyebut bahwa Teradu (La Nyalla Mattaliti) sebagai Pimpinan DPD telah memanipulasi agenda sidang yang telah dibuat Panitia Musyawarah dengan membuat Surat Pimpinan DPD Nomor: PM.00/2651/DPDRI/VIII/2022, tanggal 16 Agustus 2022, perihal Perubahan Agenda Sidang Paripurna ke-2 DPD RI.
"Teradu sebagai Pimpinan Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 telah memanipulasi agenda sidang dengan menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD yakni agenda pengambilan keputusan menarik dukungan terhadap saudara Fadel Muhammad sebagai pimpinan MPR dari unsur DPD RI," tambah Fadel.
Selain itu kata Fadel lagi, Teradu (La Nyalla Mattaliti) sebagai Pimpinan Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 telah memanipulasi agenda sidang dengan menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD yakni agenda pemilihan untuk mengisi kekosongan jabatan pimpinan MPR dari unsur DPD RI.
Berikut ini adalah isi selengkapnya surat pengaduan Fadel Muhammad kepada Badan Kehormatan DPD RI:
Kepada Yth.
Badan Kehormatan DPD RI (BK DPD RI)
Jl. Gatot Subroto Nomor 6, RT. 1/RW. 3, Senayan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, DKI Jakarta
Dengan hormat,
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama: Prof. Dr. Ir. H. Fadel Muhammad
Alamat: Jl. Taman Patra XI/8, RT 005/004, Kuningan Timur, Setia Budi, Jakarta Selatan.
Tempat dan Tanggal Lahir : Ternate, 20 Mei 1952
Pekerjaan: Wiraswasta
Kewarganegaraan: Warga Negara Indonesia (WNI).
Asal Daerah: Gorontalo
Memilih domisili hukum pada alamat Jl. Taman Patra XI/8, RT 005/004, Kuningan Timur, Setia Budi, Jakarta Selatan.
Selanjutnya disebut sebagai Pengadu (Bukti P1) -------------------------------------------
Dengan ini mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (BK DPD RI) atas pelanggaran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana diubah terakhir melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU MD3) (Bukti P2), Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib (selanjutnya disebut Tata Tertib DPD) (Bukti P3), dan Peraturan DPD Nomor 2 Tahun 2018 tentang Kode Etik DPD RI (selanjutnya disebut Kode Etik DPD) (Bukti P4) yang diduga dilakukan oleh Anggota DPD RI sekaligus Ketua DPD RI dengan identitas sebagai berikut:
Nama: AA Lanyalla Mahmud Mattalitti
Nomor Anggota: B-58
Jabatan: Ketua DPD RI
Masa Jabatan: 2 Oktober 2019 - sekarang
Asal Daerah: Provinsi Jawa Timur
Pengadu merupakan Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD), warga negara Indonesia yang hak konstitusionalnya dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).
Pengadu sebagai Anggota DPD merasa dirugikan karena telah terjadi pelanggaran kode etik sebagaimana ketentuan Pasal 240 ayat (5) Tata Tertib DPD.
Berdasarkan data dan fakta yang dikumpulkan, maka Pengadu patut menduga Teradu telah melanggar UU MD3, Tata Tertib DPD dan Kode Etik DPD berupa tindakan manipulasi acara Sidang Paripurna Ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 DPD RI tanggal 18 Agustus 2022 yang mengakibatkan adanya keputusan Sidang Paripurna untuk pemberhentian/penggantian Pengadu sebagai Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dari unsur DPD RI periode 2019-2024 dan pemilihan calon Pimpinan MPR RI dari unsur DPD RI.
Bahwa sebelum Pengaduan ini dibuat, dengan penuh iktikad baik Pengadu telah menyampaikan penawaran untuk menyelesaikan persoalan ini dengan cara musyawarah atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penawaran dari Pengadu tidak mendapatkan respon yang baik dan Teradu.
Oleh karena itu, Pengadu mengajukan Pengaduan kepada BK DPD RI atas pelanggaran tersebut dengan uraian dan alasan sebagaimana tertuang dalam Pengaduan ini. Sebelum Pengadu menguraikan alasan-alasan Pengaduan terlebih dahulu Pengadu menguraikan kewenangan BK DPD RI dan kedudukan hukum Pengadu.
I. KEWENANGAN BK DPD RI
1. Berdasarkan ketentuan Pasal 270 ayat (1) UU MD3, Badan Kehormatan dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 270 ayat (2) UU MD3, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan Badan Kehormatan diatur dalam peraturan DPD tentang Tata Tertib;
2. Bahwa tugas dan kewenangan BK DPD RI menurut Tata Tertib DPD adalah:
1) Tugas BK DPD:
Pasal 100 Tata Tertib DPD, BK mempunyai tugas:
a. melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap
Anggota karena:
1. tidak melaksanakan kewajiban; dan/atau
5. melanggar pakta integritas
Wewenang BK DPD:
Pasal 101 Tata Tertib DPD, BK berwenang:
a. memanggil Anggota yang bersangkutan untuk memberikan penjelasan dan pembelaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan; dan
b. memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain.Pasal 102 ayat (2) Tata Tertib DPD,
(2) Mekanisme pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Kehormatan dilaksanakan berdasarkan peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.
3. Bahwa Pasal 1 angka Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Badan Kehormatan (selanjutnya disebut Tata Beracara BK)menyatakan bahwa Pengaduan adalah laporan Pengadu kepada BK DPD RI yang dibuat secara tertulis dan disertai bukti awal yang cukup mengenai tindakan dan/atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh Anggota sebagai pelanggaran Tata Tertib DPD dan Kode Etik DPD;
4. Bahwa Pasal 1 angka 13 Tata Beracara menyatakan bahwa Teradu adalah Anggota termasuk Pimpinan DPD RI dan Pimpinan Alat Kelengkapan DPD RI yang diduga melakukan pelanggaran Tata Tertib DPD dan Kode Etik DPD. Pengaduan ini ditujukan kepada Teradu;
5. Bahwa salah satu materi muatan pengaduan yang ditujukan kepada Pimpinan DPD RI menurut Pasal 9 huruf “e” Tata Beracara DPD adalah melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik.
Pasal 9:
Tindakan dan/atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh Anggota sebagai pelanggaran Tata Tertib dan Kode Etik, yang merupakan Pengaduan, berupa:
e. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik.
6. Bahwa karena Pimpinan DPD RI juga merupakan atau sekaligus anggota maka ketentuan Pasal 8 Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Beracara BK DPD RI juga melekat dan mengikat bagi pimpinan. Oleh karena itu, Teradu juga diduga telah melanggar Pasal 8 huruf “f”:
Pasal 8 huruf “f”:
Tindakan dan/atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh Anggota sebagai pelanggaran Tata Tertib dan Kode Etik, yang merupakan perkara pengaduan, berupa:
f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam UU MD3 dan Tata Tertib.
7. Bahwa oleh karena objek pengaduan a quo merupakan pelanggaran terhadap UU MD3, Tata Tertib DPD, dan Kode Etik DPD berupa tindakan manipulasi acara Sidang Paripurna Ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 DPD RI tanggal 18 Agustus 2022 yang mengakibatkan adanya keputusan Sidang Paripurna untuk pemberhentian/penggantian Pengadu sebagai Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dari unsur DPD RI periode 2019-2024 dan pemilihan calon Pimpinan MPR RI dari unsur DPD RI, sehingga BK DPD RI berhak dan berwenang untuk memeriksa dan mengadili Pengaduan a quo.
II. KEDUDUKAN HUKUM PENGADU
1. Bahwa Pengadu menurut Pasal 1 angka 12 Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Beracara BK DPD RI adalah pihak yang mengajukanpengaduan;
2. Bahwa Pasal 240 ayat (5) Tata Tertib DPD menyatakan bahwa “Dalam hal terjadi pelanggaran kode etik yang merugikan Anggota, Anggota yang dirugikan dapat mengadukannya kepada Badan Kehormatan”;
3. Bahwa Pengadu merupakan perseorangan yang dibuktikan dengan fotokopi identitas Pengadu yang terlampir sebagai salah satu alat bukti a quo. Hal ini sesuai dengan perintah Pasal 11 ayat (4) Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Beracara BK DPD RI agar setiap Pengadu Perseorangan melampirkan identitas diri pada pengaduan yang diajukan;
4. Bahwa Pengadu juga telah menguraikan identitas diri Pengadu pada halaman awal pengaduan a quo sebagaimana ketentuan Pasal 11 ayat (3) jo ayat (6) Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Beracara BK DPD RI;
5. Bahwa Pengadu juga merupakan Pimpinan MPR dari unsur DPD Periode 2019-2024 (Bukti P5);
6. Bahwa berdasarkan uraian diatas, Pengadu berhak dan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengaduan a quo.
III. URAIAN PELANGGARAN DAN ALASAN PENGADUAN
1. Bahwa Teradu telah melakukan tindakan manipulasi acara Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 tanggal 18 Agustus 2022 dengan menambahkan acara sidang tanpa melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam Tata Tertib DPD sehingga melanggar Pasal 5 huruf a, huruf b, huruf h, dan huruf l Kode Etik DPD.
Bahwa Teradu telah membuat manipulasi acara Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 dengan Surat Pimpinan DPD Nomor: PM.00/2651/DPDRI/VIII/2022, tanggal 16 Agustus 2022, perihal Perubahan Agenda Sidang Paripurna ke-2 DPD RI (Bukti P6) sebagai surat untuk menyusuli Surat Nomor PM.00/2597/DPDRI/VIII/2022 tanggal 11 Agustus 2022 perihal Undangan Sidang Paripurna ke-2 DPD RI (Bukti P7) yang menyebutkan bahwa sesuai kesepakatan Rapat Panmus ke-12 DPD RI Masa Sidang V Tahun Sidang 2021-2022 bahwa agenda penyampaian Laporan Pelaksanaan Tugas Badan Kehormatan Masa Sidang V Tahun Sidang 2021- 2022 diagendakan dalam Sidang Paripurna ke-2 DPD RI.
Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat penambahan agenda Sidang Paripurna ke-2 menjadi:
1. Laporan Pelaksanaan Tugas Badan Kehormatan:
Pengesahan atas Evaluasi dan Penyempurnaan Peraturan DPD RI tentang Kode Etik DPD RI
2. Penetapan Keanggotaan Alat Kelengkapan (Kecuali Panmus).
Bahwa selanjutnya fakta persidangan yang terjadi dalam Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 tanggal 18 Agustus 2022, Teradu yang menjadi Pimpinan Sidang pada sambutan pembukaan awal persidangan menyampaikan sebagaimana yang Pengadu dengar dan lihat bahwa “berdasarkan hasil rapat Pimpinan pengganti Panmus hari ini diputuskan menambah satu agenda yakni tindak lanjut penyampaian mosi tidak percaya yang telah disampaikan di Sidang Paripurna sebelumnya”.
Kemudian dalam perjalanan sidang, Teradu yang menjadi Pimpinan Sidang menyampaikan lagi bahwa “berdasarkan hasil rapat pimpinan pengganti panitia musyawarah DPD RI tanggal 18 Agustus 2022 pukul 13.30 WIB di sepakati bahwa pimpinan DPD RI membawa persoalan mosi tidak percaya ini dalam sidang paripurna DPD RI ke-2 hari ini untuk diambil keputusan menarik dukungan terhadap saudara Fadel Muhammad sebagai pimpinan MPR dari unsur DPD RI” sehingga agenda Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 bertambah lagi. Tidak cukup sampai disitu, dalam perjalanan sidang Teradu yang menjadi Pimpinan Sidang menyampaikan lagi bahwa “Rapat pimpinan musyawarah juga menyepakati perlu dilakukan pemilihan untuk mengisi kekosongan jabatan pimpinan MPR dari unsur DPD RI yang telah disepakati ditarik dukungannya”.
Bahwa dengan demikian fakta persidangan Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 yang terjadi terdapat manipulasi acara/agenda sidang berupa:
a. Teradu sebagai Pimpinan DPD memanipulasi agenda sidang yang telah dibuat Panitia Musyawarah dengan membuat Surat Pimpinan DPD Nomor: PM.00/2651/DPDRI/VIII/2022, tanggal 16 Agustus 2022, perihal Perubahan Agenda Sidang Paripurna ke-2 DPD RI;
b. Teradu sebagai Pimpinan Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 telah memanipulasi agenda sidang dengan menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD yakni agenda pengambilan keputusan menarik dukungan terhadap saudara Fadel Muhammad sebagai pimpinan MPR dari unsur DPD RI; dan
c. Teradu sebagai Pimpinan Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 telah memanipulasi agenda sidang dengan menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD yakni agenda pemilihan untuk mengisi kekosongan jabatan pimpinan MPR dari unsur DPD RI.
Bahwa atas manipulasi yang dilakukan Teradu sebagaimana tersebut di atas, Pengadu berpendapat bahwa Teradu telah melakukan pelanggaran Pasal 5 huruf a, huruf b, huruf h, dan huruf l Kode Etik DPD Kode Etik DPD dengan alasan sebagai berikut:
a. Terkait Teradu sebagai Pimpinan DPD memanipulasi agenda sidang yang telah dibuat Panitia Musyawarah dengan membuat Surat Pimpinan DPD Nomor: PM.00/2651/DPDRI/VIII/2022, tanggal 16 Agustus 2022, perihal Perubahan Agenda Sidang Paripurna ke-2 DPD RI.
Bahwa Pasal 5 huruf a, huruf b Kode Etik DPD berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Setiap Anggota wajib mematuhi etika dan perilaku sebagai berikut:
a. menaati sumpah/janji sebagai Anggota;
b. menaati peraturan tata tertib;
Bahwa pelanggaran Kode Etik yang dilakukan Teradu adalah dalam bentuk ketidaktaatan terhadap sumpah/janji sebagai Anggota DPD sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (3) Peraturan Tata Tertib DPD yakni memenuhi kewajiban sebagai Anggota Dewan Perwakilan Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil adilnya. Salah satu kewajiban Anggota DPD sebagaimana ditentukan Pasal 13 Tata Tertib DPD adalah menaati tata tertib dan kode etik.
Bahwa Surat Pimpinan DPD Nomor: PM.00/2651/DPDRI/VIII/2022 tentang Perubahan Agenda Sidang Paripurna ke-2 DPD RI a quo bertentangan dengan Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (1) huruf a Tata Tertib DPD karena Pimpinan DPD tidak mempunyai wewenang membuat acara sidang. Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (1) huruf a Tata Tertib DPD menentukan bahwasannya yang mempunyai wewenang merancang dan menetapkan jadwal acara persidangan adalah Panitia Musyawarah. Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (1) huruf a Tata Tertib DPD berbunyi:
Pasal 73
(1) Panitia Musyawarah bertugas menetapkan jadwal acara persidangan.
Pasal 74
(1) Selain tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 Panitia Musyawarah mempunyai tugas:
a. merancang dan menetapkan jadwal acara serta kegiatan DPD, termasuk sidang dan rapat, untuk 1 (satu) tahun sidang, 1 (satu) masa persidangan, dan sebagian dari suatu masa sidang;
Jadi berdasarkan pada ketentuan tersebut, Panitia Musyawarah yang mempunyai wewenang untuk menetapkan jadwal acara atau agenda persidangan, bukan Pimpinan DPD. Dengan demikian apabila dengan alasan telah dilakukan Rapat Pimpinan pengganti Panmus kemudian pimpinan mengubah agenda sidang sebagaimana Surat Pimpinan DPD RI No PM.00/ 2651 /DPDRI/VIII/2022 tentang Perubahan Agenda Sidang Paripurna ke-2 DPD RI adalah melanggar Tata Tertib DPD. Dalam Tatib DPD juga tidak dikenal adanya Rapat Pimpinan pengganti Panmus sehingga Rapat Pimpinan Pengganti Panmus adalah forum yang illegal yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan wewenang dan tugas DPD secara internal.
b. Terkait Teradu sebagai Pimpinan Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 telah memanipulasi agenda sidang dengan menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD dan agenda pemilihan untuk mengisi kekosongan jabatan pimpinan MPR dari unsur DPD RI
Bahwa Pasal 5 huruf h dan huruf l Kode Etik DPD berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Setiap Anggota wajib mematuhi etika dan perilaku sebagai berikut:
h. bersikap jujur;
l. tidak menyalahgunakan kewenangan dan/atau bertindak sewenang-wenang;
Bahwa tindakan Teradu menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD yakni menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD dan agenda pemilihan untuk mengisi kekosongan jabatan pimpinan MPR dari unsur DPD RImenunjukkan bahwa Teradu telah bersikap tidak jujur sehingga melanggar Pasal 5 huruf h Kode Etik DPD.
Sebagai Ketua DPD seharusnya Teradu mengedepankan kejujuran dalam bertindak sehingga tidak ada muslihat dengan tidak menambah agenda sidang dari yang seharusnya. Ketidakjujuran tersebut akan menciderai rasa saling menghormati dan penghargaan fungsi sesama anggota dan alat kelengkapan DPD. Hal ini sebagaimana diperintahkan Pasal 24 ayat (1) Tata Tertib DPD bahwa sesama Anggota harus saling menghormati dan menghargai fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing sesuai dengan penugasan pada alat kelengkapan DPD.
Bahwa tindakan Teradu menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD tersebut juga melanggar ketentuan pasal 5 huruf l Kode Etik DPD karena telah menyalahgunakan kewenangan dan bertindak sewenang-wenang. Pertama, tindakan Teradu sebagai Pimpinan Sidang merupakan penyalahgunaan wewenang karena kewenangan Pimpinan Sidang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 267 ayat (2) Tata Tertib DPD adalah sebagai berikut:
(2) Ketua sidang atau rapat hanya berbicara selaku pimpinan sidang atau rapat untuk menjelaskan masalah yang menjadi pembicaraan, menunjukkan duduk persoalan yang sebenarnya, mengembalikan pembicaraan kepada pokok persoalan dan menyimpulkan pembicaraan Anggota sidang atau rapat.
Jadi sebagai pimpinan sidang, Teradu seharusnya hanya menjelaskan masalah yang menjadi pembicaraan, menunjukkan duduk persoalan yang sebenarnya, mengembalikan pembicaraan kepada pokok persoalan dan menyimpulkan pembicaraan Anggota sidang atau rapat. Teradu dilarang berpendapat dengan mengatasnamakan hasil Rapat Pimpinan pengganti Panitia Musyawarah yang sebenarnya illegal, melakukan penambahan agenda sidang dan menggiring peserta sidang mengambil keputusan. Hal ini jelas merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan sebagai Pimpinan Sidang sekaligus Ketua DPD.
Kedua, tindakan Teradu sebagai Pimpinan Sidang merupakan tindakan yang sewenang-wenang karena dengan adanya tindakan penyalahgunaan wewenang tersebut mengakibatkan adanya keputusan penggantian Prof. Dr. Ir. H. Fadel Muhammad sebagai wakil ketua MPR periode 2019-2024. Keputusan Sidang Paripurna DPD yang mengganti Prof. Dr. Ir. H. Fadel Muhammad telah merampas hak menduduki jabatan sebagai bentuk hak berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Hal ini tidak memenuhi asas pelindungan terhadap hak asasi manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Di dalam Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib tidak ada pasal yang mengatur prosedur penggantian wakil pimpinan MPR dari DPD. Penggantian wakil pimpinan MPR dari unsur DPD tanpa ada prosedur merupakan tindakan yang sewenang-wenang. Peraturan
DPD Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib hanya mengatur:
- Pemilihan calon pimpinan MPR dari unsur DPD (Pasal 135);
- syarat calon pimpinan MPR dari unsur DPD (Pasal 136);
- Tata cara Pemilihan calon pimpinan MPR dari unsur DPD (Pasal 137); dan
- Penyampaian laporan kinerja pimpinan MPR dari unsur DPD (Pasal 138).
Adanya mosi tidak percaya yang kemudian berubah menjadi penarikan dukungan sebagai wakil ketua MPR dari unsur DPD adalah tidak ada prosedurnya. Satu satunya prosedur adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (4) Peraturan MPR Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tatib MPR (Bukti P8) yakni penggantian Pimpinan MPR ditetapkan dengan keputusan Pimpinan MPR dan dilaporkan dalam Sidang Paripurna MPR berikutnya atau diberitahukan secara tertulis kepada anggota.
Terkait adanya ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e Peraturan MPR No. 1 Tahun 2019 tentang Tatib MPR yang mengatur Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya dan salah satu sebabnya adalah diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD, saat ini dalam Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib juga tidak ada ketentuan yang mengatur prosedur pengusulan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD.
Dalam hal ini tentunya yang penting diatur seharusnya adalah alasan dan mekanisme pengusulan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD.
Pengusulan penggantian oleh Kelompok DPD seharusnya ada alasannya untuk memenuhi asas pelindungan terhadap hak asasi manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 huruf b UndangUndang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Tidak hanya cukup adanya usulan penggantian oleh Kelompok DPD.
Dalam kehidupan bernegara Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, usul penggantian oleh Kelompok DPD harus dilandasi dengan alasan yang kuat dalam hal ini dalam bentuk sanksi akibat suatu kesalahan atau akibat kondisi yang diluar kemampuan yakni meninggal dunia atau sakit permanen.
Sanksi bagi anggota DPD diberikan hanya ketika anggota melanggar sumpah/janji jabatan, melanggar pakta integritas, melanggar kewajiban, dan melanggar larangan. Seandainya digunakan alasan adanya sanksi ini, konsekwensi hukumnya hanya berupa teguran lisan, teguran tertulis, diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan dan/atau diberhentikan sebagai Anggota DPD. Tidak ada konsekwensi yang diatur dalam Peraturan DPD tentang Tata Tertib yang berupa penggantian atau pemberhentian sebagai Wakil Ketua MPR dari DPD.
Pimpinan MPR bukan merupakan alat kelengkapan DPD sehingga bila ada sanksi pun memang tidak bisa mengganti Wakil Ketua MPR dari DPD.
Fakta bahwa penggantian Prof. Dr. Ir. H. Fadel Muhammad dilaksanakan tanpa ada peristiwa hukum yang mendahului melainkan hanya disebabkan oleh adanya Mosi Tidak Percaya oleh sejumlah anggota DPD RI. Kendati DPD RI adalah lembaga politik yang dalam sepak terjangnya menggunakan pendekatan politis, namun karena DPD RI juga memiliki Peraturan Tata Tertib, maka seharusnya DPD RI tidak melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Tata Tertib yang telah mereka sepakati. Penggantian seseorang dari suatu Jabatan, seharusnya dilandasi oleh adanya peristiwa tertentu yang mendahului, misalnya pelanggaran terhadap kode etik dan/atau hukum yang berlaku.
Sehubungan dengan hal ini alas sebab terkait pelanggaran kode etik dan/atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Prof. Dr. Ir. H. Fadel Muhammad sama sekali tidak ada. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya keputusan dari Badan Kehormatan DPD RI tentang adanya pelanggaran Kode Etik. Padahal dalam Pasal 298 ayat (3) Peraturan tata Tertib DPD ditegaskan bahwa BK berwenang untuk menangani dugaan pelanggaran kode etik.
Bahwa Pencalonan, pemilihan, dan pengangkatan Pengadu sebagai Pimpinan MPR dari unsur DPD periode 2019-2024 telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan khususnya ketentuan Pasal 15 UU MD3 dan ketentuan Pasal 19 Peraturan MPR
Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib oleh sebab itulah tidak ada alasan hukum bagi Teradu memimpin Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 tanggal 18 Agustus 2022 untuk melakukan pemberhentian/penggantian Pengadu sebagai Piimpinan MPR dari unsur DPD periode 2019-2024 tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Terkait dengan hal inilah, maka Teradu melanggar sumpah/janji sebagai Anggota/Ketua/wakil ketua DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 UU MD3.
Oleh karena itu proses pemberhentian/penggantian Pengadu sebagai Pimpinan MPR dari unsur DPD Periode 2019-2024 yang didasarkan pada mosi tidak percaya yang tidak dikenal dalam Tata Tertib DPD telah menggambarkan bahwa Teradu tidak mengutamakan musyawarah untuk mufakat dan telah bertindak sewenang-wenang serta memaksakan kehendak melalui Sidang Paripurna. Hal ini menunjukkan bahwa Teradu diduga telah melanggar ketentuan Pasal 5 huruf g dan huruf l Kode Etik DPD yang menyatakan:
Pasal 5
Setiap Anggota wajib mematuhi etika dan perilaku sebagai berikut:
a. menaati sumpah/janji sebagai Anggota;
b. menaati peraturan tata tertib;
c. menunaikan tugas dan kewajiban dengan penuh rasa tanggungjawab;
d. menjunjung tinggi nilai kesopanan dan kesusilaan;
e. mampu mengendalikan diri dalam setiap ucapan, sikap dan perilaku guna menjaga perasaan orang lain;
f. bersikap rasional dalam mengemukakan pendapat;
g. mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan setiap masalah;
h. bersikap jujur;
i. memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap kondisi dan aspirasi masyarakat dan daerah;
j. memiliki sikap empati dan simpati terhadap situasi masyarakat dan daerah;
k. bersikap adil dan bijaksana dalam memperjuangkan amanat rakyat;
l. tidak menyalahgunakan kewenangan dan/atau bertindak sewenang-wenang;
m. tidak menggunakan kewibawaan DPD untuk kepentingan di luar tugas dan wewenang;
n. bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme, dan gratifikasi;
o. bebas hubungan tidak patut dengan eksekutif dan legislatif serta kelompok lain yang dapat berpotensi mengancam harkat, martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPD;
p. bersikap terbuka dalam merespon aspirasi masyarakat tanpa mendiskreditkan seseorang dan/atau sekelompok orang;
menghormati hak-hak Anggota lain, masyarakat dan/ atau lembaga lain baik di pusat maupun daerah dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya;
r. membantu semua pihak dan berusaha mengatasi hambatan dan rintangan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang tanpa berharap imbalan;
s. melaksanakan tanggungjawab secara sungguh-sungguh sesuai dengan tugas dan wewenangnya dan bekerjasama dengan Anggota lainnya untuk kepentingan masyarakat sebagai wujud pengabdian kepada bangsa dan negara;
t. mendahulukan kepentingan daerah dan masyarakat daerah daripada kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok politik tertentu;
u. menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa untuk menghindari sektarianisme dan primodialisme serta isu suku, agama dan ras dalam pelaksanaan tugas dan wewenang;
v. menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat masyarakat; dan
w. bebas dari penyalahgunaan Narkoba sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bahwa ditinjau dari aspek prosedur Mosi Tidak Percaya yang disampaikan tidak memiliki landasan aturan hukum tertulis yang wajib ditaati sesuai sumpah jabatan seluruh pimpinan dan anggota DPD. Mosi Tidak Percaya juga tidak dikenal apalagi basis hukum dalam struktur hukum negara kita mulai dari UUD NRI 1945, undang-undang, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Bahwa dalam proses penandatangan mosi tidak percaya telah terjadi muslihat yang berisi kebohongan. Hal ini sebagaimana dinyatakan Dr. Abdul Kholik, S.H., M.Si. (Anggota DPD Provinsi Jawa Tengah) dan Dr. Muhammad J Wartabone, SH, M.Hi (Anggota DPD Provinsi Sulawesi Tengah) dalam forum Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 DPD tanggal 18 Agustus 2022.
Dalam pernyataannya disampaikan bahwa pemberian tanda tangan adalah untuk peningkatan kinerja DPD, namun faktanya yang terjadi tanda tangan mosi digunakan untuk menarik dukungan yang berujung keputusan penggantian Pengadu sebagai Pimpinan MPR dari unsur DPD Periode 2019-2024.