Tanpa judul


Tak Sesuai Konstitusi, Pencopotan Fadel Muhammad Dari Wakil Ketua MPR Oleh DPD Cacat Hukum

Catatan: Aris Kuncoro

(Wartawan Senior/Pengamat Politik)

Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Kamis (18/8/2022) lalu yang memutuskan mengganti Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari unsur DPD Fadel Muhammad, patut mendapat sorotan khusus.

Hal ini sangat mengejutkan. Karena sejauh ini tidak pernah terdengar ribut-ribut ataupun keluhan di kalangan anggota DPD terkait kinerja Fadel Muhammad selaku Wakil Ketua MPR yang mewakili unsur DPD. 

Menurut Ketua DPD La Nylla Mattalitti, pencopotan itu karena adanya mosi tidak percaya terkait keinginan mayoritas anggota DPD untuk menarik Fadel dari jabatan wakil ketua MPR.

"Dalam Sidang Paripurna ke-13 DPD RI Masa Sidang V Tahun Sidang 2021-2022, diputuskan bahwa mosi tidak percaya akan diteruskan ke Badan Kehormatan dan kelompok DPD RI," kata La Nyalla.

Sejauh ini tidak disebutkan dengan jelas apa alasannya, sehingga DPD harus melakukan pemakzulan terhadap Fadel Muhammad selaku Wakil Ketua MPR periode 2019-2024. 

Bahkan dari pihak-pihak yang berupaya melengserkan Fadel Myhammad dari jabatan Wakil Ketua MPR juga tidak pernah terdengar tudingan bahwa Fadel telah melakukan pelanggaran hukum atau pun aturan di internal DPD.

Terkesan para anggota DPD terlalu memaksakan untuk mencopot Fadel dari jabatan Wakil Ketua MPR, tanpa alasan yang jelas. Dan tindakan ini bisa disebut pelanggaran konstitusi.

Tak heran jika Fadel langsung menolak keputusan DPD tersebut. 

Fadel menyebut pencopotan dirinya sebagai Wakil Ketua MPR adalah tindakan melanggar konstitusi. 

Fadel juga menyatakan akan melakukan sejumlah perlawanan dengan jalur hukum atas pemecatan tersebut. 

Fadel menegaskan, bahwa dirinya  telah bekerja dan menjalankan tugas sesuai amanat peraturan perundang-undangan, termasuk menjalankan Pasal 138 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tentang Tata Tertib (Tatib), yang mengamanatkan dirinya untuk menyampaikan laporan kinerja di hadapan sidang paripurna DPD. 

Mekanisme mosi tidak percaya, tegas Fadel,  tidak ada dalam aturan perundang-undangan, tidak sesuai dengan tata tertib, maupun aturan lain yang ada di DPD dan MPR. 

Jadi, segala bentuk usulan atau yang diistilahkan 'pengambilalihan mandat' oleh sejumlah anggota DPD adalah inkonstitusional.

Fadel seperti diketahui, masa baktinya menjadi Wakil Ketua MPR RI dalam satu periode 2019-2024. Sehingga pencopotannya dengan proses pengambilan suara tidak sesuai dengan kaidah hukum dan aturan perundang-undangan. 

Fadel juga menyebut pencopotan dirinya itu,  masuk dalam kategori perbuatan yang tidak melaksanakan sumpah atau janji jabatan yang telah diucapkan, serta kewajiban sebagai anggota DPD untuk menaati Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dan aturan perundang-undangan yang berlaku. 

Fadel pun akan melaporkan para anggota yang menandatangani pemakzulan kepada Badan Kehormatan (BK) DPD, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), serta gugatan pengadilan secara perdata dan pidana.

Fadel juga menyiapkan perlawanan dengan kuasa hukumnya untuk melawan para pimpinan dan anggota DPD yang menurutnya sewenang-wenang dalam melakukan pemberhentian dirinya di posisi Wakil Ketua MPR RI.

Fadel menegaskan, dirinya tidak ingin membiarkan terjadinya kesewenang-wenangan di negara ini, terlebih di lembaga tinggi negara. 

Makanya, dia akan menempuh seluruh upaya hukum, untuk melawan ketidakpatuhan terhadap hukum dan seluruh aturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Wakil Ketua DPD Mahyudin, alasan secara umum pencopotan Fadel Muhammad itu yaitu karena adanya masalah komunikasi antara pihak Fadel dengan lembaga DPD itu sendiri. 

Ia mengatakan bahwa Fadel Muhammad tidak pernah melaporkan hasil penugasan selama tiga tahun sebagai Wakil Ketua MPR dari unsur DPD. 

Padahal, tambah Mahyudin, Wakil Ketua MPR dari DPD itu punya kewajiban berdasarkan tata tertib harus menyampaikan laporan kinerja setiap tahunnya di sidang DPD. Mungkin itu salah satunya.

Pernyataan itu dibantah keras Fadel Muhammad. Karena faktanya Fadel telah menyampaikan laporan kinerja ke DPD.

Laporan kinerja yang disampaikan Fadel Muhammad ini sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dalam hal ini Pasal 138 ayat (1) Peraturan DPD No 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib. 

Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas pelaksanaan tugas Fadel Muhammad selaku wakil ketua MPR selama satu tahun sidang;

Telaah Hukum 

Dalam kasus ysng mebimpa Fadel Muhammad ini, terdapat beberapa hal yang harus digarisbawahi. 

A. Fakta Hukum Fadel Muhammad selaku pimpinan MPR,

1. Pencalonan, pemilihan, dan pengangkatan Fadel Muhammad sebagai wakil ketua MPR periode 2019-2024 telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan khususnya ketentuan Pasal 15 UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3 dan ketentuan Pasal 19 Perturan MPR No 1 tentang Tata Tertib;

2. Secara administrasi hukum, keputusan Fadel Muhammad selaku wakil ketua MPR periode 2019-2024 juga telah dituangkan dalam Surat Keputusan MPR Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

B. Insiden Hukum rencana penggantian Fadel Muhammad selaku Wakil Ketua MPR periode 2019-2022,

1. Usulan penggantian Fadel Muhammad selaku wakil ketua MPR dilakukan oleh mosi tidak percaya 91 (sembilan puluh satu) anggota DPD dalam sidang paripurna DPD. 

Sidang paripurna pada tgl 15 Agustus tersebut sebenarnya merupakan agenda konstitusional salah satunya untuk mendengarkan laporan kinerja Fadel Muhammad selaku wakil ketua MPR untuk tahun sidang 2021-2022. 

Konstitusionalitas pelaksanaan laporan kinerja ini sesuai dengan amanat aturan Pasal 138 ayat (1) Peraturan DPD No 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib (baru berlaku tahun ini). 

Selanjutnya aturan Pasal 138 ayat (2) Peraturan DPD tentang Tatib itu mengamanatkan bahwa laporan kinerja ditindaklanjuti oleh Kelompok DPD di MPR. Jika melihat fakta hukum tersebut dapat disimpulkam bahwa:

a. Mosi tidak percaya yang disampaikan tidak memiliki landasan aturan hukum tertulis yang wajib ditaati sesuai sumpah jabatan seluruh pimpinan dan anggota DPD. 

Secara konstitusional, mosi tidak percaya juga tidak dikenal apalagi diakui dalam struktur hukum negara kita mulai dari UUD NRI 1945, undang-undang, dan peraturan perundang-undangan lainnya;

b. Laporan kinerja yang disampaikan Fadel Muhammad sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dalam hal ini Pasal 138 ayat (1) Peraturan DPD No 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas pelaksanaan tugas Fadel Muhammad selaku wakil ketua MPR selama satu tahun sidang;

c. Tidak ada aturan hukum lain yang mengatur tentang tindaklanjut dari penyampaian laporan kinerja Fadel Muhammad selaku wakil ketua MPR selain laporan ditindaklanjuti oleh Kelompok DPD di MPR (Pasal 138 ayat (2) Peraturan Tatib DPD).

2. Mosi tidak percaya terhadap Fadel Muhammad yang jelas-jelas melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia itu kemudian disampaikan kepada Badan Kehormatan DPD untuk ditindaklanjuti.

Terhadap hal ini fakta hukum yang harus ditaati adalah:

a. Sesuai aturan Pasal 99 Peraturan Tata Tertib DPD dinyatakan bahwa pimpinan Badan Kehormatan memiliki masa jabatan untuk satu tahun sidang. 

Berdasarkan hal tersebut, setelah tanggal15 Agustus dimana tahun sidang 2021-2022 telah ditutup dengan pidato ketua DPD dalam sidang paripurna, maka semua pimpinan dan anggota alat kelengkapan DPD termasuk pimpinan dan anggota Badan Kehormatan sudah tidak lagi menjabat sampai dengan ditentukan keanggotaan baru dalam sidang paripurna DPD dan dilakukan pemilihan pimpinan Badan Kehormatan yang baru. 

Untuk itu segala kegiatan alat kelengkapan DPD terhitung setelah pidato penutupan tahun sidang 2021-2022 pada tanggal 15 Agustus adalah tindakan yang inkonstitusional karena tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku;

b. Pasal 298 ayat (3) Peraturan Tata Tertib DPD menegaskan bahwa Badan Kehormatan berwenang untuk menangani dugaan pelanggaran kode etik.

Selain itu, dalam Pasal 100 Peraturan Tatib DPD ditegaskan tugas Badan Kehormatan adalah melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena:

a) Tidak melaksanakan kewajiban;

b) Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a;

c) Tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf d;

d) Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf e;

e) Melanggar pakta integritas; dan/atau

f) Melanggar ketentuan larangan Anggota;

Kemudian Pasal 240 Peraturan Tatib DPD makin memberikan penegasan bahwa pengaduan disampaikan oleh masyarakat tentang perilaku anggota DPD.

c. Berikutnya fakta hukum terkait pemberhentian anggota DPD, pakta integritas, kewajiban, larangan, dan sanksi.

a) Pasal 25 Peraturan Tatib DPD mengatur tentang pemberhentiana ntarwaktu, yang utama disini adalah terkait dengan ketentuan “diberhentikan”. Dalam hal ini ketentuan tersebut telah memberikan kepastian hukum bahwa, anggota diberhentikan antarwaktu apabila:

- Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;

- Melanggar sumpah/janji jabatan dan Kode Etik;

- Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

- Tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat Alat Kelengkapan yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;

-  tidak memenuhi syarat sebagai calon Anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum; atau

- Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Peraturan DPD ini.

b) Pasal 11 Peraturan Tatib DPD mengatur Pakta Integritas yang mengatakan bahwa pakta integritas yang harus dijalankan oleh anggota adalah:

- Bersedia dan bersungguh-sungguh menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang DPD;

- Bersedia ditugaskan DPD sesuai dengan fungsi, tugas, dan wewenang DPD;

- Tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme;

- Bersedia melaporkan harta kekayaan secara jujur dan benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;

- Tidak menerima dan/atau memberi imbalan atau hadiah dari pihak lain, secara melawan hukum terkait tugas dan kewajibannya termasuk Pimpinan Alat Kelengkapan; dan

- Menaati sanksi atas pelanggaran karena tidak memenuhi kewajiban sebagai Anggota sebagaimana diatur dalam Peraturan DPD tentang Tata Tertib dan/atau Kode Etik.

c) Pasal 13 mengatur tentang kewajiban anggota DPD yaitu:

- Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;

- Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;

- Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

- Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, golongan, dan daerah;

- Menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara; daerah.

- Menaati tata tertib dan kode etik;

- Mematuhi dan/atau menaati keputusan lembaga;

- Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;

- Menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat;

- Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada masyarakat di daerah yang diwakilinya; dan

- Menyebarluaskan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

d) Pasal 298 tentang larangan bagi anggota DPD adalah, tidak boleh rangkap jabatan, dilarang melakukan pekerjaan lain, dilarang melakukan KKN dan menerima gratifikasi;

e) Terakhir Pasal 299 ayat (1) mengatur tegas tentang sanksi bagi anggota yang tidak melaksanakan kewajiban berupa sanksi teguran lisan, teguran tertulis, diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan dan/atau diberhentikan sebagai Anggota DPD.

Selanjutnya ayat (2) mengatur tentang sanksi pemberhentian bagi anggota yang terbukti melanggar ketentuan larangan anggota DPD.

Ayat (3) mengatur tentang sanksi pemberhentian sebagai angggota bagi anggota yang terbukti melakukan KKN berdasarkan keputusan pengadilan.

d. Dari uraian huruf a sampai dengan huruf c diatas dapat ditegaskan bahwa:

a) Mosi tidak percaya tidak dikenal dalam kententuan hukum dan peraturan perundang-undangan utamanya yang mengatur tentang pelaksanaan tugas MPR, dan DPD;

b) Pimpinan dan keanggotaan alat kelengkapan DPD terhitung sejak penutupan tahun sidang 2021-2022 pada tanggal 15 Agustus 2022 telah berakhir masa jabatannya. 

Sebelum diadakan penetapan keanggotaan dan pemilihan pimpinan untuk tahun sidang 2022-2023, segala bentuk pelaksanaan tugas alat kelengkapan termasuk Badan Kehormatan tidak sesuai atau bahkan melanggar peraturan perundang-undangan;

c) Badan Kehormatan hanya memiliki kewenangan untuk menangani dugaan pelanggaran kode etik, melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota yang disampaikan oleh masyarakat (bukan anggota dan/atau pimpinan DPD);

d) Sanksi bagi anggota DPD diberikan hanya ketika anggota melanggar sumpah/janji jabatan, melanggar pakta integritas, melanggar kewajiban, dan melanggar larangan;

e) Sanksi yang diberikan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut hanya berupa teguran lisan, teguran tertulis, diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan dan/atau diberhentikan sebagai Anggota DPD.

C. Konklusi

1. Kedudukan Fadel Muhammad selaku Wakil Ketua MPR periode 2019-2024 adalah sah menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. Pelaksanaan tugas Fadel Muhammad selaku Wakil Ketua MPR periode 2019- 2024 telah dijalankan sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan. 

Bahkan terhadap amanat Pasal 138 ayat (1) Peraturan DPD tentang Tatib (baru berlaku tahun 2022) yang mengamanatkan untuk menyampaikan laporan kinerja saja sudah dijalankan oleh Fadel Muhammad di hadapan sidang paripurna DPD;

3. Penggantian Fadel Muhammad selaku Wakil Ketua MPR Periode 2019-2024 dapat dilakukan sesuai amanat ketentuan peraturan tata tertib MPR; dan

4. Untuk itu, segala bentuk usulan atau diistilahkan “pengambilalihan mandat” yang dilakukan oleh anggota DPD terhadap jabatan Fadel Muhammad adalah inkonstitusional selama tidak dilakukan sesuai dengan kaidah hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Hal tersebut malah dapat dimasukkan dalam kategori perbuatan yang tidak melaksanakan sumpah/janji jabatan yang telah diucapkan, dan kewajiban sebagai anggota DPD untuk menaati Pancasila, UUD NRI 1945, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.







Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama