Nelayan/Pelaku Usaha
"Ide Kepala Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Jawa Timur (seperti yang pernah diunggah di (wartamerdeka.info) dengan membangun lebih banyak cold storage untuk mengatasi anjloknya harga ikan, bukankah langkah yang tepat. Ini justru akan memicu permasalahan baru, misalnya dengan membangun lebih banyak gudang cold storage, siapa yang akan membeli?"
Kondisi ekonomi global yang tidak cukup stabil pada 2023, dinilai memiliki andil cukup siginifikan atas turunnya demand produk seafood dari banyak negara, khususnya pasar utama Amerika Serikat. Kondisi ini, mau tidak mau berdampak pada anjloknya harga ikan di banyak wilayah.
Meskipun, angka ekspor komoditas perikanan Indonesia periode September 2023 tercatat senilai USD 4,1 miliar atau setara Rp 64,1 triliun, jika dibandingkan dengan 2022 yakni sebesar USD 6,2 miliar.
Namun, disisi lain, pertumbuhan ekonomi yang melambat, belum lagi inflasi dan tingkat suku bunga juga menjadi faktor utama membuat konsumen beralih untuk mencari seafood dengan harga yang murah dan membuat persaingan harga yang ketat bagi para pelaku bisnis. Kondisi seperti ini, jelas memicu lemahnya permintaan pasar.
Ide yang di gagas kepala Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Jawa Timur (seperti yang pernah diunggah di (wartamerdeka.info) dengan membangun lebih banyak cold storage untuk mengatasi anjloknya harga ikan, bukankah langkah yang tepat. Ini justru akan memicu permasalahan baru, misalnya dengan membangun lebih banyak gudang cold storage, siapa yang akan membeli?
Sementara, gudang penyimpanan semuanya sudah penuh. Atau disisi lain misalnya, kita mengacu di wilayah kawasan pantura Lamongan (kawasan Perikanan Brondong) dari jumlah pabrik yang ada baru bisa dipasok sekitar 60 persen dari total kapasitas yang dimiliki. Sehingga kalau misalnya, di tambah gudang cold storage lagi, sementara pembeli (buyer) tidak mampu atau tidak mau membeli, mau diapakan gudang cold storage? Ini jelas mau tidak mau akan menambah problem juga.
Oleh karena itu, penurunan harga yang tidak wajar ini, bukan semata karena produksi melimpah, sekali lagi kalau mengacu pada ketersediaan gudang penyimpanan di kawasan pesisir Lamongan baru terisi sekitar 60 persen, itu artinya masih ada sekitar 40 persen gudang penyimpanan yang bisa digunakan. Cuma masalahnya, bukan di sisi over produksi yang terjadi penurunan harga untuk jenis ikan demersial kecil, seperti kuniran, kurisi dan sejenisnya itu, akan tetapi lebih karena pasar ekspor lagi melemah.
Sementara produk kita kalah bersaing harga dari negara kompetitor, bahkan pabrik frozen food sudah mulai import produk olahan (surimi) untuk bahan bakunya, meskipun kwalitasnya tidak lebih baik tapi harganya lebih murah. Meskipun, tentu saja harus ada kajian secara komprehensif.
Problem yang dirasakan mayoritas nelayan di wilayah Perikanan Brondong dan sekitarnya adalah nelayan cantrang. Untuk ikan jenis pelagis, fluktuasi harga cenderung terjadi karena serapan pasar lokal besar, sejak lama
kebutuhan pasar lokal (jawa) harus di pasok dari wilayah lain bahkan import dari Cina.
Kedua, bagaimana menekan ongkos produksi baik dari Nelayan atau Kelompok Pengusaha/Pedagang (UPI) dengan mempermudah ketersediaan logistik Nelayan, penambahan Pabrik Es balok. Apalagi, kebutuhan Es untuk nelayan di kawasan Perikanan Brondong masih di pasok dari daerah lain, yang pasti akan berpengaruh tentu di harga pembelian.
Ketiga, di bangun teknologi tepat guna untuk nelayan, misalnya pabrik pengolahan ikan alternatif ( fishmill) sehingga bisa meningkatkan harga jual. Oleh karena itu, sebenarnya banyak yang dapat di lakukan, dengan kajian yang mendalam, melibatkan stakeholder agar di dapat rumusan masalah yang tepat sehingga di dapat solusi yang tepat pula.(*)