Wisanggeni (3)


Semar Mbangun "Umat" Khayangan
"Semar Badranaya gelisah melihat para pemimpin yang hanya mementingkan diri sendiri dan orang orang dekatnya, dia mengutus Petruk untuk bertandang ke Amerta menemui punggawa Amerta" 

Oleh : W. Masykar
"Semar Mbangun Umat" tepatnya "Semar Mbangun Khayangan" adalah wujud dari kegelisahan Semar sebagai simbol "wong" biasa  yang melihat para pemimpinnya tidak lagi memperhatikan rakyatnya. 

Pemimpin yang hanya berkutat dan berinteraksi dengan orang orang selevel atau diatasnya. Realitas dilapangan nyaris tidak tahu sama sekali. Semar alias  Ki Lurah Badranaya cemas dan tidak bisa menyembunyikan fakta seperti ini akan berlangsung terus. 

Semar Mbangun Khayangan sejatinya bukan khayangan dalam konteks fisik, tapi membangun mental, karakter dan kepedulian pemimpin atas umat atau rakyatnya.

Antasena dan Wisanggeni memiliki peranan yang sangat strategis dalam lakon ini. Meski Wisanggeni tidak dalam wujud fisik, namun secara filosofis peranan Wisanggeni sangat kuat.
Antasena, yang berkarakter polos dan lugu, meski tidak mengenal tata karma alias unggah ungguh bahkan adalah sebagai anak Bima yang paling sakti, hampir selevel dengan Wisanggeni, sayang dua sosok ini belum pernah terlibat duel.

Meski ketika Wisanggeni obrak abrik para dewa di khayangan, antareja, dkk bisa dikalahkan semua sehingga Antasena kaget, ini siapa kok memiliki kesaktian yang luar biasa. Terjadi komunikasi akhirnya baru saling menyadari bahwa kedua nya masih sepupu.

Sementara, Wisanggeni sosok cerdik, penuh akal, dan memiliki banyak kesaktian. 
Wisanggeni memiliki kekuatan yang tak tertandingi, selain mampu menyerap ilmu kedigdayaan orang lain, termasuk anti serangan apapun, tenun santet apalagi atau dalam bentuk senjata lainnya.


Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan, Antasena dan Wisanggeni merupakan tokoh protagonis bersama dengan Ki Semar Badranaya, Raden Sadewa, Sang Hyang Padawenang, dan Bathara Kaneka Putra alias Resi Narada, dewa yang bertugas sebagai ketua dewan pertimbangan kebijakan dan pujangga para dewa. 

Suatu hari, Semar mengungkapkan bahwa menjadi pemimpin harus tegas dan bijak, tidak boleh berpihak pada siapapun meskipun itu keluarga, kolega dekat atau teman yang sejak awal masuk menjadi pegawai negeri sipil sudah merasa akrab.

Pemimpin sudah lupa akan janji janji nya dalam mensejahterakan rakyat nya sehingga suatu hari Semar mengutus Petruk untuk berkunjung ke Amerta. (Bersambung)

1 Komentar

  1. Alhamdulillah.. sangat menginspirasi, membangun pondasi berfikir Keutamaan dalam mengemban Amanah.
    Menuju masyarakat yg harmonis & sejahtera..👍

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama