"Pencak Silat"
Bagian 3 (episode 2)
Editor : W. Masykar
"Kapten Laurent dan Sabiq"
Lamunan Sabiq berputar ke masa lalu, seiring dengan putaran roda sepedanya menuju asrama cite-u sehabis pulang jum’atan. Masa-masa masuk SMA yang karena terpaksa hingga saat kuliah S-1. Roda sepeda seakan sudah tahu dengan sendirinya arah asrama Sabiq.
Sabiq sebenarnya sangat terpaksa masuk SMA setelah lulus SMP, lebih dikarenakan korban pelampiasan dari saran kakak-kakaknya. Mereka semuanya sekolah kejuruan atau bahkan banyak yang hanya lulus SMP kemudian harus bekerja karena tidak ada biaya. Sabiq adalah anak ke 8 dari 8 bersaudara. Pak dan Mbok nya adalah lulusan sekolah rakyat.
Tetapi saat itu juga berkat nilai UN SMP Sabiq yang memang baik, jadi dipaksa masuk SMA, dan Sabiq masuk SMA terbaik di kotanya. Meski sebenarnya dia tidak semangat karena untuk apa ke SMA jika toh nanti tidak bisa kuliah.
"Sabiq, kowe arep neruske sekolah nang endi?”, (Sabiq, kamu akan melanjutkan sekolah ke mana?) tanya Saefudin teman satu kelas Sabiq, yang sudah diterima di STM otomotif di Kediri dan mendapatkan beasiswa.
"Lho bijimu kan luwih apik, kuwi okeh konco-konco dho arep nang SMADA, kowe gak pengin to?”, (lha nilai kamu khan lebih bagus, itu banyak teman-teman yang mau ke SMADA, kamu nggak tertarik?)”, tanya Saefudin.
“rung ruh, engko nang omah takon dhisik nang mas-mas ku”, (Belum tahu lah, nanti saya tanya dulu dengan kakak-kakak di rumah)," jawab Sabiq.
Saat itu Sabiq sedang memasukkan lembar nilai hasil ujian yang baru saja dibagikan ke dalam tas.
Pertanyaan Saefudin dan juga karena diskusi dengan teman-temannya yang ramai akan daftar ke SMADA menghantui pikiran Sabiq. Namun Sabiq tidak berandai-andai dan akan diskusi dengan kakak nya sesampai di rumah nanti. Tidak terasa kayunan sepedanya sudah lebih dari setengah jam, maka tibalah Sabiq di rumah.
“Sabiq, piye nilai ujianmu?” (Sabiq, bagaimana hasil ujiannya?”) tanya kakak nya.
Kakaknya baru saja melihat Sabiq turun dari sepeda nya sepulang dari sekolah.
“Alhamdulillaah apik, rengking 3 sak kelas,” (alhamdulillaah baik, rengking 3 di kelas) jawab Sabiq.
“ben ono siji-sijine nag keluargo dhewe sing lulusan SMA, mosok kabeh dulur 8 sak keluargo, lulusan kejuruan kabeh”, (Biar ada satu-satu nya dalam keluarga kita yang sekolah SMA, masak semua 8 orang di keluarga kita, semuanya mau sekolah di kejuruan),” tegas nya.
Sore itu di keluarga Sabiq terjadi diskusi terkait dengan rencana sekolah Sabiq.
“Lha setelah SMA mau kerja apa? Khan nggak mungkin bisa kuliah,” kata Pak Joyo.
Entah bagaimana asal-muasalnya, yang jelas akhirnya Sabiq melanjutkan ke SMA, yaitu SMADA Nganjuk. SMA terbaik se-kabupaten. Yang diterima sebanyak 8 kelas, per kelas 35 murid, dan kelas diurut dari murid ketrima dengan nilai tinggi sampai dengan nilai yang terendah, Sabiq masuk di kelas I-6, dan di urutan belakang. Jadi sebenarnya Sabiq masuk SMADA dengan nilai yang pas-pasan. Sabiq ingat nasehat Pak Pingi, nggak apa-apa yang penting katutan.
Saat di SMA, Sabiq biasa-biasa saja prestasinya karena memang teman-nya pintar-pintar dan lulusan dari SMP kota yang anak orong mampu, bahkan di kelasnya Sabiq, beberapa temannya adalah anak para pengusaha. Sabiq sebenarnya minder dan agak tersisih.
Di semester 1 SMA, Sabiq terpaksa harus ngurus form keringanan atau bebas SPP karena benar dugaannya dulu. Mau masuk SMA sebenarnya dilarang orangtuanya karena tidak punya biaya. Semua karena dipaksa kakak-kakaknya. Meski biaya sekolah tidak ada. Alhamdulillaah bisa dapat surat keterangan bebas spp dari kantor kecamatan, karena alasan dari keluarga tidak mampu.
“Kali ini, ucapan selamat saya bukan kepada siswa yang rengking 1, tetapi kepada siswa yang rengking 10,” kata Pak Amir, wali kelas I-6, saat akan pembagian raport semester I.
“Karena, nanti setelah lulus SMA dan penerimaan masuk PTN, ada yang namanya program PMDK yaitu penelusuran minat dan kemampuan, yaitu jalur tanpa tes. Kriterianya adalah nilai raport selalu naik sejak semester I,” lanjut Pak Amir.
“Jadi bagi yang dapat rengking 10 semester I, kemudian rengking 6 semester II, rengking 4 semester III, rengking 3 semester IV, dan rengking 2 semester V. tentu grafik nya naik, dan ini peluang lebih besar diterima, dari pada yang rengking 1, kemudian turun ke 3, naik lagi ke 2, turun ke 5, naik ke 3 misalnya,” tambah Pak Amir.
“Itulah mengapa, saya akan memberi selamat kepada yang rengking 10, yaitu Sabiq,” kata pak Amir.
Sabiq benar-benar kaget, karena tidak menduga sama sekali karena merasa tidak sungguh-sungguh belajar. Hanya sibuk latihan pencak silat.
“Hore…. hebat Sabiq,” teriak Agus sambil tepuk tangan, teman sebangku Sabiq, teman latihan pencak silat…. Yang diikuti riuhnya tepuk tangan yang lain. Teman-teman yang duduk di deretan belakang… teman-teman yang tidak sungguh-sungguh belajar… Sabiq duduk di bangku nomor 3 dari belakang.
“Sabiq, kamu maju ke depan, selamat ya Sabiq," kata Pak Amir sambil menyerahkan raport dan diterima Sabiq.
"Terima kasih Pak!," kata Sabiq.
Kemudian Pak Amir melanjutkan pembagian raport. Rengking 1 sudah diduga yaitu Rudi, si kutu buku. Dan rengking lainnya adalah siswa perempuan, yang di 10 besar hanya ada 3 siswa laki-laki, satunya adalah Iwan.
Sabiq teringat lagi pesan Pak Pingi, nggak apa-apa yang penting katut.
Saat kenaikan kelas II, yaitu program penjurusan. Sabiq hanya ikut-ikutan gengsi dengan teman-temannya, dengan nilai yang pas-pasan Sabiq memilih jurusan A1, alias fisika, meskipun Sabiq tidak begitu suka fisika. Lagi-lagi, di kelas II berkumpul lah siswa-siswa yang pintar dan lagi-lagi banyak yang karena ikut bimbingan belajar di luar sekolah serta buku-bukunya lengkap.
Di kelas II, Sabiq malah sibuk latihan pencak silat, nilai raport yang pernah diberi semangat oleh Pak Amir untuk naik rengking, ternyata malah turun. Sudah tidak terbayang lagi oleh Sabiq untuk lanjut kuliah karena nilai kurang baik dan juga kesulitan biaya.
Menjelang lulus SMA, Sabiq jadi bingung, saat lebaran Sabiq bertemu Saefuddin, temannya SMP yang dulu langsung masuk STM.
“Bagaimana kabarnya Biq, kamu akan lanjut kuliah atau bagaimana?,” tanya Saefudin.
“Ah…belum tahu Fud, ….nilai saya juga menurun di kelas II dan kelas III, milih A1 ternyata susah,” jawab Sabiq.
“Lha kamu sendiri bagaimana?,” tanya Sabiq
"Alhamdulillaah!, saya akan langsung kerja di perusahaan karoseri bis, tempatku magang semester V lalu," jawab Saefudin.
"Alhamdulillaah, saya turut senang Fud," kata Sabiq.
"Santai saja Biq… jika kamu nanti tidak kuliah, kamu bisa kursus otomotif saja di lembaga kursus atau kalau kamu mau yang gratis daftar ke BLK. Tapi biasanya antri, karena dibiayai pemerintah, jadi yang tertarik ikut banyak sekali," kata Saefudin.
"Wah alhamdulillaah… terima kasih, ide baik sekali itu, kamu koq tahu dari mana ?," tanya Sabiq.
"Lha, kami di STM tiap hari yang dipikir ya kapan mulai kerja cari uang. Jadi kami cari info ke mana-mana," jawab Saefudin.
"Wah, benar-benar beda ya… kami di SMA hanya main-main saja. Apalagi teman-teman ku anak orang mampu semuanya, jadi nyantai-nyantai saja…. Ada yang pinter-pinter, duduknya di depan dan terlalu kutu buku. Kamu tahulah, aku khan tidak terlalu rajin belajar," jawab Sabiq.
"Ah … kamu Biq, iya kamu nggak rajin belajar tapi khan saat diajar guru kamu mendengar sekali saja, bisa faham dan bisa ngerjakan soal," kata Saefudin yang tahu persis bahwa sebenarnya Sabiq adalah anak yang cerdas.
Habis pertemuan dengan Saefudin saat lebaran itu benar-benar menjadi cambuk bagi Sabiq bahwa tidak bisa lagi main-main. Masa depan sudah di depan mata. Saat-saat yang menentukan sudah tiba, harus difikirkan dengan sungguh-sungguh.
Meskipun Sabiq semakin bingung, namun tetap dalam pikirannya akan mencari solusi. Saat itu, teman-temannya SMA sibuk les ikut bimbel untuk persiapan masuk PTN, tetapi Sabiq malah sibuk menyelesaikan latihan pencak silat. Sabiq menyadari bahwa itulah satu-satunya prestasi selama SMA. Ya hanya itu, selesai latihan pencak silat sampai tuntas. Teman dekatnya satu bangku bernama Adji, sama saja, dari keluarga kurang mampu, juga bingung mau kuliah nggak ada biaya, mau kerja ya bingung kerja apa. Kebiasaan mereka berdua ini, puasa Senin- Kamis.(*)