
"Jatirejo"
Novel Qosdus Sabil
Babak Keduapuluh tiga
FB. Qosdus Sabil
Ig. qosdus.s
Penulis dapat dihubungi melalui email: qosdussabil@gmail.com
Biasa dipanggil Gus Bill
Santri Pinggiran Muhammadiyah
Editor: W. Masykar
Hamparan padi menguning seindah permadani. Lalu terkembang senyuman Mas Edy Suprapto kepadaku. Itulah jawaban atas sholat istikharahku beberapa hari ini.
Aku jadi bertanya-tanya dalam hati apa hubungannya mimpi hamparan padi menguning dan senyuman Mas Edy? Aku membatin kedua mimpi itu pertanda baik. Tidak usah dibuat ribet. InsyaAllah nanti pasti akan berjumpa maknanya yang sejati.Saat usiaku sudah memasuki usia 25 tahun, banyak tawaran untuk berta'aruf itu disampaikan. Baik yang melalui jalur Abahku, maupun Umikku.
Abahku menasehatkan kepadaku untuk tidak perlu pacaran. Fokus perbaiki kualitas dirimu, lalu jodohmu akan datang menemuimu.
Sore itu, disela meeting di kantor DPP IMM Menteng Raya Jakarta, rasa itu terus tumbuh tidak seperti biasanya.
"Kabar-kabar ya kalau pulang kampung", pesan singkatku untuknya.
Dia yang duduk agak jauh dariku menjawab: "Emang ada apa ya mas?"
"Aku mau silaturahmi ke rumahmu". "Pokoknya kalau kamu pulang ke Bondowoso, kabari saya ya". Alhamdulillah, sms ku langsung dia tanggapi dengan baik.
Irma. Aku mengenalnya sudah cukup lama. Tetapi diantara kami tidak ada hubungan apa-apa. Hingga, usai Darul Arqam Paripurna menjelang Muktamar Palembang.
Dalam diam aku mulai memperhatikannya. Irma terpilih sebagai peserta terbaik bersama Fajar Riza ul Haq. Kini Fajar terpilih sebagai Wakil Menteri Dikdasmenpaud.
Beberapa sahabat mendukung pendekatanku terhadap Irma. Mereka yang membaca ada getaran hatiku berkata; "Sudah... amankan sendiri. Daripada nanti diamankan orang lain..."
Kakek dari pihak Bapak adalah pendatang dari Purworejo Jawa Tengah. Sedangkan dari ibu adalah pendatang dari Pare Kediri.
Semuanya sudah Muhammadiyah sejak kami masih di alam azali.
" Mas Ahmad. Semoga sehat selalu ya. Ini saya lagi pulang ke Bondowoso".
"?Alhamdulillah .. tolong kirim alamat lengkapnya ya. Besok pagi-pagi saya meluncur ke Bondowoso. Suwun"
Akupun lantas berkoordinasi dengan Agus. Agus baru saja menjadi seorang bapak. Anak istrinya masih di rumah mertuanya di Banyuwangi. Tiap libur akhir pekan, Agus balek ke Banyuwangi untuk melepaskan kerinduannya kepada si buah hati.
Kami janjian berangkat habis subuh dari rumah Lamongan. Saat memasuki kota Lamongan, tak lupa aku singgah sejenak untuk membeli beberapa makanan khas oleh-oleh dari Lamongan.
Wingko aseli Lamongan. Bentuknya besar seperti pizza. Aroma kelapa mudanya begitu harum.
Kemudian, otak-otak bandeng, juga bandeng asap sama enaknya. Pudak khas Gresik juga tersedia disini. Termasuk jenang Paciran dari ketan hitam yang menggoda selera.
Setelah dirasa cukup. Akupun membeli beberapa makanan ringan sebagai teman dikala ngantuk menyerbu. Apakah itu? Si jagung marning ndeso dioplos dengan kacang Tuban yang manis menggoda. Plus keripik gadung gurih, biasanya bikinan madura.
Kami melalui jalanan sabtu akhir pekan yang syahdu. Berbekal beberapa kaset Padi, Iwan Fals, Nasyid, Opick hingga Rhoma Irama.
Kami melalui jalanan pantura Jawa yang dibuka sejak zaman Daendless. Setelah memasuki Kota Besuki, sekitar 4 km setelahnya kami belok ke kanan ke arah kota Bondowoso melalui gunung arak-arak yang belokannya lumayan berliku.
Setelah memasuki kota Bondowoso, pas di perempatan alun-alun kota kami belok kanan menuju alamat rumah Irma. Titiknya tidak jauh dari Ponpes Al-Islah Bondowoso yang terkenal itu.
Sesaat setelah parkir. Aku dan Aguspun turun.
"Assalamu'alaikum "...
"Wa alaikum salam... monggo Mas silakan masuk".
"Kok sepi Mbak Irma", tanya Agus.
"Ya emang begini setiap hari. Adikku ada satu juga kuliah di Malang".
"Mas ini Mamaku... dan yang ini Papaku"...
Monggo santai dulu ya. Anggap rumah sendiri"... ujar Mama seraya meninggalkan kami duduk menikmati kesejukan udara kota Bondowoso yang sejuk dan damai.
"Nak Agus... ini nak Ahmad ya"... tanya Papa memperjelas yang mana ini calon menantunya. Jangan sampai salah orang.
"Mas, aku pamit ke belakang dulu ya, bantuin Mama. Kasihan nggak ada yang mbantuin".
"Ok mbak. Santai saja. Sudah saya anggap di rumah sendiri kok.. heheheee "
"Enak Mas. Adem dan hawa udaranya memang sejuk."
Bondowoso, kota yang dikelilingi gunung. Argopura disisi barat dan Gunung Ijen disisi timur. Pantas udaranya sejuk
"Mari nak Ahmad dan nak Agus katuran makan siang dulu ya. Ayo monggo ndak usah sungkan. Itu Papa masih ada pasien. Monggo duluan saja."
"Injih Ma. Nanti dulu barengan biar tambah afdhal. Kita tunggu Papa sebentar".
"Sudah duluan saja makannya. Saya belum lama tadi sarapan kok."
Kata Papa.
"MasyaAllah kok banyak sekali. Sampai tidak muat meja makannya."
"Enak kan Mas masakanku?" Tanya Irma kepada Agus.
"Gimana? Enak nggak?"
"Maksa amat ya suruh kasih nilai" ....
"Masakan Mama semua ini ya. Tak ada yang enak sama sekali. Yang ada uenak sekali dan sangat uenakkk..." Jawab Agus dengan mulut penuh makanan.
"Ini yang bulat gede ini wingko ya? Biasanya kecil-kecil sekali hab langsung makan. Enak manis dan terasa kelapa mudanya". Papa ikut nimbrung sambil makan wingko.
"Sudah Mas Ahmad makannya? Cicipin dulu Mas. Ini sayur asem aku bikin sendiri. Aku ambilin ya?". "Boleh dikit aja dik".
"Heŕrghhh ... seger juga sayur asemnya. Pas dengan sambel terasinya. Alhamdulillah langsung melek." Ujarku memberi pujian bagi sang kekasih hati, calon ibu buat anak-anakku nanti.
Januari 2002 itu aku bertamu. Dijamu hidangan makan siang yang sempurna. Tak bisa aku berkata-kata. Kecuali bahwa terima kasih telah disambut dengan segenap kehangatan. Semoga dalam waktu dekat bisa kembali kesini ....
Usai sholat duhur jama ashar, aku pamit bersama Agus, untuk melanjutkan perjalanan ke Kota Banyuwangi. Kampung Sogo dimana mertua Agus berdiam.
Dari arah Jember langsung lurus ke timur menembus Rogojampi. Sedangkan, asal usul Kakeknya Irma dari pihak Papa belok kanan. Melewati Genteng hingga ke arah pantai Grajagan. Ombaknya tinggi besar. Sekali aku pernah baksos disana usai kawasan tersebut dihantam Tsunami.Mbah Daldiri, kakek dari pihak bapak, adalah generasi tertua yang masih sempat melihat gelombang dahsyat teknologi informasi masuk ke desa. Namun, bagi Mbah Daldiri itu biasa saja.
Kegemarannya mendengarkan radio BBC London atau ABC Australia, membuka ruang wawasannya tentang dunia begitu luas. Ojo gumunan lan ojo kagetan begitu pesannya kepada kami.
Saat mengunjungi rumah anaknya, selalu minta disiapkan cangkul. Beliau akan mencangkuli pekarangan samping rumah untuk ditanami aneka sayur: terong, sawi, cabe, tomat, ubi, dll.
Jika sudah tidak ada lagi yang perlu dicangkuli, beliau akan minta diantarkan pulang.
Aku nasih merasakan guyon maton dengan Mbah Daldiri. Saat Aro kecil digendong oleh beliau.
"Ardi... aku mbiyen iki pernah mrene. Ke rumahnya Luluk Riyanto".
"Itu rumahnya dekat pasar".
"Kalau Mas Edy Suprapto?"
"Rumahnya dekat dari rumah mertuanya Lek Herman. Ayo aku antar kesana". "Mas Edy pernah ngajar kami matematika di SMP Muhammadiyah". Kalau tidak ada dirumah
Biasanya ke sawah bentar.
"Nahh itu Mas Edy?" "Masss... ini ada temanmu!!!:
"Ya Allah... kok sampean Mas. Kapan rawuh? Pun injing wau njih?" Teror Mas Edy dengan berondongan pertanyaan yang tak perlu jawaban lisan. Cukup dengan tatapan mata kehangatan dan senyumanmu.
Subhanallah Subhanallah wal hamdulillah...
Desa Jatirejo. Desa dengan empat Ranting yang sama besarnya. Ranting dengan masjid dan amal usaha pendidikan yang nyata.
Jatirejo. Inilah mimpi itu. Jawaban atas sholat istikharahku. Padi menguning menghampar seperti permadani dan senyum tulus Mas Edy. Ia adalah seorang guru matematika, tetapi ia tak pernah berhitung dengan kebaikan-kebaikan yang ia tanamkan...Hujan baru mereda14.03.(*)