Setidaknya ada dua tema tulisan yang mendapat banyak respon terkait keberadaan KUD Minatani, pertama tentang Nepotisme atau relasi keluarga terkait proses rekrutmen karyawan dan kesejahteraan anggota yang menunggu 300 Tahun, untuk bisa setara Korpok. Padahal dalam setahun penerimaan untuk Korpok juga tidak terlalu besar sehingga apa yang diterima Korpok belum bisa dikategorikan sebagai bagian dari wujud kesejahteraan anggota. Nah, apalagi anggota.
Itu salah satu sebabnya, anggota KUD Minatani merasa tidak tertarik dengan keberadaan lembaga koperasi dimana mereka sebagai pemiliknya. Mereka, bahkan menilai selalu minor mengenai Minatani. Bahayanya, rentetan persoalan ini - akan menjadi "Bom" waktu yang bisa meledak kapan saja.
Ketika mengamati persoalan ini, pengelola atau yang dipercaya mengelola lembaga koperasi Minatani bisa belajar dari kasus yang pernah terjadi pada 1998.
Kasus 1998 sesungguhnya bermula dari akumulasi persoalan yang bertumpuk dan kekecewaan anggota yang kian massif, begitu ada momentum tepat, akumulasi kekecewaan dan kekesalan itu akhirnya meledak. Demo besar besaran pun tidak bisa terhindarkan.
Sebagai anggota kita tidak ingin kejadian itu terulang kembali. Biar saja, kasus 1998 menjadi catatan kelam dalam perjalanan sejarah KUD Minatani. Tapi, sebaliknya, tidak bisa kita lantas yakin hal serupa tidak terjadi lagi. Bisa saja itu terjadi, mungkin dalam bentuk dan model lain.
Peristiwa yang pernah terjadi di lembaga KUD Minatani 1998 sesungguhnya adalah rentetan kekecewaan terhadap pengurus (ketua), mulai dari nepotisme, tidak transparan, tidak demokratis dalam pengambilan kebijakan sampai mempersulit anggota dalam pelayanan yang ada - semua terus menjadi endapan sedimen kekecewaan yang kian menumpuk dan bisa menyumbat semua hal.Pemilihan Pengurus bahkan kelihatan demokratis di panggung depan, tapi sesungguhnya sudah di "skenario" di panggung belakang. Dalam pemilihan pengurus - misalnya - diyakini hanya rangkaian seremonial formalitas belaka. Penyelenggara pemilihan "kongkalikong" untuk mendapatkan hasil yang mereka kehendaki. Bak arena "pembantaian" siapa yang tidak dikehendaki menjadi sasaran ramai ramai. Bukan kapasitas, kapabilitas, kompetensi dan profesionalitas yang menjadi ukuran tapi "permainan" di panggung belakang.
Dan last but not least - lembaga yang akhirnya perlu diselamatkan.
Persoalan lain, misalnya makin merajalelanya nepotisme - relasi keluarga dalam penempatan dan rekrutmen karyawan - sekalipun anggota tidak terlalu sering memperbincangkan tapi sesungguhnya sudah dimengerti. Apalagi sangat vulgar nampak di depan mata hampir sepuluh ribu anggota. Yang bahkan sudah tidak lagi jalur teman dekat, keponakan atau saudara sepupu, melainkan anak kandung.
Penempatan anak anak Pengurus yang sekaligus menjadi bahan rasa rasan di internal lembaga sendiri - sesungguhnya adalah Bom waktu yang bisa meledak kapan saja.(W. Masykar)