Batik Khas Barru: Nuansa Kuning yang Menyulam Janji dan Harapan

Catatan Syamsu Marlin

Suatu malam saat acara penting di Makassar, sehelai kain berwarna kuning keemasan menyita perhatian para undangan. Di antara deretan busana formal, batik yang dikenakan Bupati Barru, Andi Ina Kartika Sari, S.H., M.Si. itu tampak hidup, menyapa setiap mata yang memandang, seakan menyampaikan pesan lembut yang tak diucap dengan kata.

(Foto:Humas Kab. Barru, Sulsel)

Tak lama berselang, dalam sebuah forum resmi di Kantor Bappelitbangda Barru, Wakil Bupati, Dr. Ir. Abustan A. Bintang, M.Si.,  juga mengenakan batik dengan corak yang sama dan sempat menyita perhatian.

Bukan sekadar seragam baru, batik ini adalah identitas, cerita, dan do’a yang dijahit dalam diam.

(Foto:Humas Kab. Barru, Sulsel)

Batik ini nantinya akan menjadi batik resmi dikenakan oleh seluruh ASN Kabupaten Barru setiap hari Kamis. Tapi sejatinya, ia tidak hanya sebagai pakaian. Ia adalah simbol pengabdian yang bermakna, puisi yang melekat di tubuh, dan cinta yang dijalin dalam setiap helai benang.

Dalam suatu perbincangan santai, Bupati Barru Andi Ina Kartika Sari menguraikan,  batik khas Barru itu motik utamanya 'Corak Labba', adalah  corak khas yang hanya ditemukan di tanah Barru, sebuah bahasa visual yang menggambarkan;

Keluasan pikiran – agar setiap pengambilan keputusan lahir dari kebijaksanaan, bukan kepentingan.

Keseimbangan hidup – agar birokrasi tak kehilangan sisi kemanusiaannya.

Kedamaian hati – karena melayani rakyat tak bisa dilakukan dengan hati yang sempit.

Batik ini seakan membisikkan pada setiap ASN: “Bekerjalah bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tapi rawatlah setiap warga seperti engkau merawat keluargamu.”

Warna kuning yang dominan juga bukan tanpa alasan. Ia melambangkan semangat, kehangatan, kebahagiaan, dan kemuliaan. Ia seperti mentari pagi di ufuk timur yang menghangatkan dan membangkitkan semangat setiap insan.

Batik Barru ini tak hanya indah, tapi juga berbicara melalui warna.

Selain warna Kuning  yang mengandung filosofi  kegembiraan dalam melayani, juga perpaduan warna seperti; Putih,  lambang kesucian jiwa dalam menjalankan tugas, agar setiap keputusan lahir dari ketulusan.

Hijau, lambang pertumbuhan,  karena pelayanan adalah proses yang terus bertumbuh bersama masyarakat.

Hitam,  ruang refleksi, agar ASN tak pernah lupa bercermin pada nurani.

Perpaduan motif itu tentunya mengandung pesan moral, mengajak kita dan setiap ASN untuk tidak hanya bekerja, tapi juga merenung, bahwa di balik setiap tanda tangan, ada nasib rakyat yang menanti. 

Bahwa di balik setiap kebijakan, harus ada hati yang tenang dan niat yang bersih.

Tersembunyi pula simbol "hati berbunga" , yang mencerminkan ketulusan, dan aksara “Be-Ru”, pengingat akan identitas daerah Barru tercinta. Tak ketinggalan "payung empat" lambang persatuan dan perlindungan bagi semua warga, tanpa kecuali.

Dalam harmoni warna ini, kita melihat Barru yang penuh harapan. Dalam perpaduan motif dan makna, kita menemukan pelayanan publik yang berakar pada cinta.

Saat batik ini nantinya dikenakan tiap hari Kamis dan hari-hari tertentu, yang dikenakan tentunya bukan hanya kain, tapi sesengguhnya adalah janji untuk menjaga martabat rakyat, untuk bekerja dengan empati, dan untuk menjadikan setiap kantor sebagai ruang pengabdian, bukan sekadar ruang administrasi.

“Ini bukan hanya soal penampilan. Ini tentang mengenakan nilai-nilai kita, setiap hari. Tentang membawa Barru bukan hanya di dada, tapi juga di hati", ujar Bupati dengan tatapan optimis. 

Dan nantinya, saat langit Kamis mulai terang, Barru akan tampak berbeda. ASN-nya melangkah dengan warna ceria, membawa filosofi di pundak, dan menyapa rakyat dengan senyum dari jiwa yang damai.

Sehingga Batik ini bukan sekadar warisan tapi ia adalah cinta yang dikenakan. Salamakki Tapada Salama. (*)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama