Seri 6. Para Pejuang/Penguasa Pesisir tak Tercatat Arus Utama Sejarah Bangsa*

RAJA  LELLA SEDAYU (1596):  
Armada Cornellis de Houtman Terusir,  2–5 Desember 1596 di Pelabuhan Sedayu dan Brondong - (Sumber Primer)

Oleh: Fathur Rahman, S.Pd., M.Pd
- Praktisi Pendidikan SMAN 1 Paciran, Piyantun Sedayu Lawas dan 
- Pemerhati Sejarah Lokal Pesisir Utara Jawa Brang Wetan
A. Latar Sejarah
Namun, sebelum mereka sampai ke sini, dunia perdagangan Asia Tenggara sudah lama mengenal wajah-wajah Eropa lain. Orang Portugis telah berpuluh tahun menjalin hubungan diplomatik dan dagang dengan para penguasa Jawa, termasuk Sedayu. Bahkan, dalam keterangan Lodewijcksz, di pelabuhan ini saat itu sudah ada interpreter dan pedagang Portugis yang cukup berpengaruh—beberapa di antaranya berperan sebagai juru bahasa, sebagian lain sebagai pengamat penuh kecurigaan terhadap kedatangan armada Belanda.

Pada awal Desember 1596, laut di pesisir utara Jawa, tepatnya di sekitar Pelabuhan Sedayu dan Brondong, tampak semarak namun tegang. Empat kapal besar Belanda—Amsterdam, Hollandia, Mauritius, dan Duyfken—berlayar mendekat. Armada ini dikomandani oleh Cornelis de Houtman, pelaut yang membawa ambisi besar: menembus jalur perdagangan rempah yang selama ini dikuasai Portugis.

Kedatangan Armada ini menjadi salah satu catatan penting dalam sejarah interaksi pertama antara Jawa pesisir utara dengan pelaut Belanda. Armada ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman sedang berlayar menyusuri pantai utara Jawa, setelah sebelumnya singgah di Banten, Sunda Kelapa dan Tuban. Pada 2 Desember 1596, mereka mencapai Pelabuhan Sedayu — yang kala itu dikenal dengan sebutan Cidayo, Sidayu, atau Cedayo — pusat pemerintahan Kadipaten Sedayu yang dipimpin oleh Raja Lella.

B. Pertemuan pertama: Sambutan yang Hangat
Pada 2 Desember 1596, di bawah langit musim angin barat, seorang tokoh yang disegani di pesisir utara Jawa muncul di dermaga Sedayu: Raja Lella, penguasa Sedayu. mengenalnya sebagai bagian dari garis keturunan lama penguasa Kadipaten Sedayu yang membentang dari era Pate Amiza Sepuh, Pate Bagus, pate Amiza Muda dan Pate Sudayo.

Secara genealogi, Raja Lella diduga masih merupakan keturunan langsung penguasa-penguasa Sedayu sebelumnya — seperti Pate Amiza (awal abad ke-16) dan Pate Sudayo (1546). Namanya “Lella” kemungkinan berasal dari gelar kehormatan atau nama keluarga bangsawan yang bercampur pengaruh bahasa lokal dan Arab (misalnya dari kata Laila atau Lillah), yang mengindikasikan adanya unsur keturunan Timur Tengah atau Giri.

C. Raja Lella Menunggang Kuda Putih
Dalam laporan Lodewijksz, Raja Lella digambarkan sebagai sosok agung dan berwibawa. Saat pertama kali mendekati kapal Belanda, ia datang menunggang seekor kuda putih, diiringi oleh sekitar dua ratus prajurit bersenjata lengkap.

"Op den anderen dagh quam de Koningh tot Tsidajo op een wit peerdt geryden, met twee hondert soldaten te voet, ende sommighe op paerden, in goude ende saten gekleet."

(Lodewijksz, "Historie van Indien", 1596, terj. bebas)

“Pada hari berikutnya, datanglah Raja dari Cidayo menunggang seekor kuda putih, diiringi dua ratus prajurit berjalan kaki, dan beberapa berkuda, berpakaian sutra dan berlapis emas.”

Sang Raja tampak sebagai figur aristokrat Jawa Pesisir. Ia memakai kain kebesaran, berselendang sutra, dengan mahkota kecil berhiaskan batu permata lokal. Keberaniannya menunggang langsung ke tepi pantai menemui bangsa asing menunjukkan kepercayaan diri, sekaligus harga diri tinggi sebagai pemimpin negeri pesisir.

Ia tampil dengan kharisma yang tak biasa: menunggang kuda putih yang gagah, diiringi para prajurit bersenjata tombak dan panji-panji kerajaan yang berkibar. Lodewijcksz mencatat bagaimana kehadiran Raja Lella memukau awak kapal Belanda—dengan pakaian kebesaran, ikat kepala emas, dan tatapan tajam.

Sebagai tanda persahabatan awal, Raja Lella bahkan menghadiahkan seekor burung kasuari—disebut emme dalam catatan Belanda—kepada salah satu kapten kapal. Burung ini bukan sembarang hadiah; ia simbol hubungan diplomatik dan eksotisme Nusantara yang memikat orang Eropa.
D. 3 Desember 1596, Hadiah Burung Kasuari dan Diplomasi Jawa
Menurut catatan Willem Lodewijksz dan kompilasi Montanus dalam Oud en Nieuw Oost-Indien (1680), Raja Lella menyambut baik kedatangan kapal-kapal Belanda. Sebagai tanda persahabatan, ia memberikan hadiah seekor burung langka yang oleh orang Jawa disebut Eme, yang identik dengan burung kasuari (Casuarius casuarius). Burung ini dihadiahkan langsung kepada Schipper Jan Schellinger, kapten kapal Amsterdam. Deskripsi Lodewijksz sangat rinci: burung tersebut memiliki kepala keras seperti tempurung kura-kura, leher panjang, kaki kokoh, dan mampu menelan makanan besar tanpa cedera.
Burung tersebut dinarasikan, seekor burung besar berbulu indah, yang dalam teks Latin disebut "Emme" (burung kasuari), kepada kapten Belanda sebagai tanda kehormatan. Ini menandakan adat diplomasi khas Jawa yang mengedepankan gestur simbolik, sebelum memasuki pembicaraan yang lebih dalam.
 “Dedit Regulus auem Emme... ad signum pacis & honoris.”
(Willem Lodewijksz, Primus Contactus, 1596)
“Penguasa kecil itu memberikan seekor burung Emme… sebagai tanda perdamaian dan kehormatan.”

Pemberian ini bukan sekadar hadiah eksotis — ia adalah simbol kehormatan, karena burung kasuari kala itu hanya dapat ditemukan di timur Nusantara (Kepulauan Banda, Seram, dan Papua), dan dibudidayakan terbatas di lingkungan bangsawan.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Para pelaut Belanda, yang saat itu belum memahami etiket diplomatik dan budaya lokal, bertindak arogan. Mereka tidak menunjukkan respek terhadap Raja maupun rakyatnya. Akibatnya, Raja Lella menarik kembali utusannya, dan rakyat Sedayu pun segera melakukan pembalasan.

"...maer door de onbeschaamde manieren van sommighe onser volck, ontstont twist ende daerom verlieten wy Cidayo, doch met verlies van twaalf onser maet..."

("...namun karena kelakuan tidak sopan dari sebagian orang kami, timbullah pertikaian, dan kami meninggalkan Cidayo, namun dengan kehilangan dua belas kawan kami...")

E. 4 Desember 1596, Ketegangan yang Meningkat
Namun, suasana hangat itu tidak bertahan lama. Dalam tiga hari berikutnya, kesombongan Cornelis de Houtman mulai meretakkan hubungan. Catatan Lodewijcksz menyiratkan bahwa pihak Belanda berlaku angkuh, meremehkan adat setempat, dan menekan harga dalam perundingan perdagangan. Orang Portugis di pelabuhan, yang tak ingin jalur dagang mereka diganggu, memperkeruh keadaan dengan memberi informasi yang memicu kecurigaan Raja Lella.

Pada 5 Desember 1596, situasi memuncak. Armada Belanda yang sedang berlabuh di perairan Sedayu dan Brondong dikepung oleh gabungan kekuatan Sedayu dan Brondong. Dalam naskah Latin Lodewijcksz tertulis:

> "Lavani Cidayo Brandaon... occiderunt Navarchum, Nanclerum, et decem nautas..."
> (“Orang-orang Cidayo, Brondong,... membunuh nakhoda, perwira kapal, dan sepuluh pelaut...”)

Pertempuran pecah di dek kapal dan di sekitar perahu penghubung. Lodewijcksz menggambarkan bagaimana pasukan lokal dengan berani memanjat lambung kapal, sementara sebagian menyeret awak kapal yang mereka tangkap ke tepi dermaga.

Sayangnya, keramahan tersebut tidak berlangsung lama. Sikap angkuh Cornelis de Houtman, yang merendahkan warga lokal dan menunjukkan arogansi di hadapan bangsawan Sedayu, memicu ketegangan. Menurut catatan Lodewijcksz, orang-orang Sedayu dan sekutunya dari Brondong (Brandaon) dan Surabaya mulai merencanakan tindakan tegas.

Kutipan Latin asli menggambarkan situasinya:
> "...Lavani Cidayo, Brandaon ... cogitabant eum opprimere via periculosa, et 
occidere Navarchum, Nanclerum et decem nautas... fortiter pugnantes, e navibus expulsi sunt..."
> (Willem Lodewijcksz, 1598, Prima pars descriptionis itineris naualis in Indiam orientalem, hlm. 34–35)

Terjemahan:

"Orang-orang Cidayo, Brandaon... berpikir untuk menindasnya dengan cara berbahaya, dan membunuh nakhoda, perwira, serta sepuluh pelaut... yang bertempur dengan gagah berani, namun akhirnya diusir dari kapal."

F. 5 Desember 1596, Pengusiran Berdarah di Perairan Sedayu dan Brondong
Pada 5 Desember 1596, konflik memuncak. Armada Belanda diusir dari Pelabuhan Sedayu–Brondong. Dalam pertempuran tersebut, 12 orang awak kapal Belanda tewas, termasuk seorang nakhoda dan seorang perwira. Air laut di perairan Sedayu dan Brondong digambarkan memerah oleh darah akibat pertempuran jarak dekat di geladak dan perahu-perahu kecil.
Lodewijcksz menulis:
> "...cum mora a dilectis hominibus nostris inter nos... Clafisis anchoras Cidayo portu figens, expulsa est..."
> (...dengan jeda dari orang-orang kami yang dikasihi... Armada yang berlabuh di pelabuhan Cidayo akhirnya diusir.)

Dalam insiden itu, 12 orang awak Belanda tewas—termasuk seorang nakhoda (navarchus), seorang perwira kapal (nanclerus), dan sepuluh pelaut. Air laut di perairan Brondong dikisahkan “memerah”oleh darah para korban. Suara teriakan, dentingan senjata, dan derap kuda dari pesisir bercampur dalam satu kekacauan yang membuat armada Belanda harus segera mengangkat sauh.

Cornelis de Houtman memerintahkan mundur, dan empat kapal itu berlayar ke arah timur menuju Arosbaya, Bangkalan, untuk mencari perlindungan dan perbekalan baru.

G. Jejak Budaya yang Hilang
Bersamaan dengan insiden ini, beredar dugaan bahwa beberapa naskah Jawa kuno, termasuk kropak Jawa dan Het Boek van Bonang (kitab Bonang), berpindah tangan ke pihak Belanda. Jika benar, maka insiden Sedayu 1596 bukan hanya kisah pertempuran, tetapi juga bagian dari hilangnya artefak budaya penting dari tanah Jawa.

Dalam kekacauan ini, beberapa naskah penting Jawa turut diambil oleh awak kapal Belanda. Dua di antaranya adalah Kropak Jawa (naskah lontar beraksara Jawa Kuna) dan Het Boek van Bonang (kitab ajaran Islam pesisiran). Dugaan ini diperkuat oleh kemunculan naskah-naskah tersebut di Belanda beberapa dekade setelah peristiwa Sedayu 1596.

H. Akhir Sebuah Awal
Peristiwa 2–5 Desember 1596 di Pelabuhan Sedayu dan Brondong adalah bab awal interaksi langsung Jawa–Belanda. Sambutan hangat yang berujung pada pengusiran ini mencerminkan betapa diplomasi di pesisir utara Jawa kala itu dipenuhi keseimbangan halus antara keramahtamahan dan kedaulatan.

Raja Lella dengan kuda putihnya, hadiah burung kasuari, dan keberanian memerintahkan pengusiran armada asing, menjadi simbol bahwa pelabuhan-pelabuhan Jawa bukanlah ruang kosong yang siap dikuasai—melainkan wilayah berdaulat yang dijaga dengan nyawa dan kehormatan.

Setelah pengusiran, armada de Houtman berlayar ke arah timur menuju Arosbaya di Bangkalan, Madura. Hubungan antara Sedayu dan Belanda retak sejak awal, dan peristiwa ini menjadi catatan pahit bagi ekspedisi pertama Belanda di Jawa.

Peristiwa 2–5 Desember 1596 bukan hanya kisah bentrokan bersenjata, tetapi juga gambaran pertemuan dua dunia: kerajaan pesisir Jawa yang kaya akan tradisi maritim dan kekuatan Eropa yang baru menapakkan kaki di Asia Tenggara.

I. Citra Raja Lella di Ingatan Sejarah
Kisah ini meninggalkan kesan kuat pada para penulis pelayaran. Raja Lella tidak hanya dikenang sebagai penguasa lokal, namun juga simbol ketegasan, kehormatan, dan identitas Jawa yang tak tunduk begitu saja pada kekuatan asing.
Dalam catatan Lodewijksz dan kartografi Belanda, nama “Tsidajo” (Cidayo/Sedayu) tetap muncul sebagai salah satu bandar penting Jawa Timur. Sementara sosok Raja Lella menunggang kuda putih menjadi simbol lokal yang menggambarkan marwah pemimpin tradisional yang berani, diplomatis, namun tidak ragu bertindak tegas bila kedaulatan rakyatnya dihina. * (Sumber Primer)
Daftar Pustaka
A. Sumber Primer
1. Lodewijcksz, Willem. Prima pars descriptionis itineris naualis in Indiam orientalem... Amsterdam: Ex officina Cornelij Nicolaj, 1598.
2. Lodewijksz, Willem. De Eerste Schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder Cornelis de Houtman, 1595–1597. Amsterdam: Nicolaes Cornelisz Witsen, 1609.
3. Montanus, Arnoldus. Oud en Nieuw Oost-Indien. Amsterdam: Sander Wijbrants en Aert Dircksz. Oossaen, 1680. Hal. 529. Digitalisasi Koninklijke Bibliotheek, 17 April 2019.
4. Zwol, Cornelis Jansz. Journael ofte Beschrijvinghe van de Eerste Schipvaert der Hollandtsche Natie. Amsterdam, 1598.
B. Sumber Sekunder
5. Boxer, C. R. The Dutch Seaborne Empire, 1600–1800. London: Hutchinson, 1965.
6. Ricklefs, M. C. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Stanford: Stanford University Press, 2008.
7. Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya, Vol. 2. Jakarta: Gramedia, 1996.
8. Groneman, Isaäc. Inlandsche Kunst en Kunstnijverheid in Nederlandsch-Indië. Leiden: E. J. Brill, 1893.
9. Kathirithamby-Wells, J. Portuguese Asia in the 16th Century. Singapore: NUS Press, 1990.
10. Jacobs, Els M., In Pursuit of Pepper and Tea: The Story of the Dutch East India Company. Zutphen: Walburg Pers, 1991.
11. Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Jakarta: Gramedia, 1996.
12. Widodo, Johannes. Maritime Southeast Asia: The Interaction of Culture and Environment. Singapore: NUS Press, 2011.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Adv.