Semiotika Penjaga Nilai antara Algoritma dan Humanity


(Refleksi Hari Guru 2025)
Oleh: Kamaruddin Hasan

Perkembangan teknologi digital telah mengubah wajah pendidikan secara drastis. Ruang kelas bukan lagi satu-satunya arena belajar; aplikasi, platform daring, dan kecerdasan buatan kini masuk ke ruang belajar, mengatur ritme interaksi, bahkan memengaruhi arah pembelajaran. Namun, di tengah derasnya digitalisasi itu, guru tetap menjadi “penjaga nilai” yang memelihara kemanusiaan dalam proses pendidikan.

Hari Guru tanggal 25 November Tahun 2025 sejatinya menjadi momentum penting untuk menegaskan kembali peran guru bukan hanya sebagai penyampai materi, tetapi sebagai aktor moral dan kultural yang menanamkan nilai. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) menegaskan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Peran guru tidak dapat digantikan algoritma, karena mesin hanya menghitung, sementara manusia mendidik dengan kesadaran, kasih sayang, dan intuisi.

Era kecerdasan buatan menghadirkan efisiensi luar biasa. Kurikulum, asesmen, hingga analisis pemahaman siswa dapat dibantu sistem digital. Namun, seperti diingatkan Neil Selwyn dalam Education and Technology: Key Issues and Debates ( 2011), teknologi tidak pernah netral. Ia membawa logika statistik, kecepatan, dan standardisasi, yang bila tak disikapi bijak dapat mengurangi ruang refleksi kritis siswa dan guru. Inilah pentingnya guru sebagai semiotika atau penanda nilai yang menjaga ruh kemanusiaan dalam pendidikan.

Guru hari ini menghadapi tekanan baru. Beban administrasi semakin kompleks, adaptasi teknologi menjadi tuntutan, sementara tantangan sosial di kalangan siswa meningkat. Tetapi seperti ditulis Biesta dalam The Beautiful Risk of Education ( 2014), mendidik selalu mengandung risiko karena menyentuh manusia, bukan sekadar kompetensi kognitif. Di titik ini, guru adalah garda depan yang menjaga agar pendidikan tidak terjebak menjadi sekadar produksi output berbasis algoritma.

Refleksi  Hari Guru 2025 bukan sekadar seremoni seragam batik dan pidato formal. Ini saatnya menegaskan kembali pentingnya mendukung guru secara nyata, mulai dari kesejahteraan, perlindungan, pengembangan profesional, hingga ruang kreativitas dalam mengajar. Teknologi harus menemani guru, bukan menggantikannya. Algoritma mengoptimalkan, tapi kemanusiaan yang memuliakan.

Selama masih ada guru yang mengajar dengan hati, pendidikan kita tetap memiliki masa depan. Tidak peduli betapa canggihnya mesin, sekolah sejatinya tetap ruang kemanusiaan. Guru adalah penjaga nilai di tengah gelombang digitalisasi. Mereka memastikan bahwa pendidikan bukan sekadar menghitung angka, tetapi menumbuhkan manusia.

(Penulis merupakan Guru Besar Ilmu Pendidikan dan Keguruan Universitas Negeri Makassar).

Josep Minar

Sejak 1978-1988 penulis Kolom SDM Edisi Minggu Harian Merdeka, Jakarta. Pada 1988-2012 Reporter Harian Umum Merdeka Jakarta. Lanjut 2013 Berbisnis Usaha Kreatif, pola Jurnalistik Modern

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama