Tidak terkecuali Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Timur, Ulul Albab, yang menyatakan tragedi ini bukan sekadar persoalan kriminalitas antar siswa, melainkan cerminan dari lunturnya nilai-nilai kemanusiaan di dunia pendidikan.
Dalam wawancara khusus dengan wartamerdeka.info, Ulul Albab menegaskan bahwa peristiwa ini harus menjadi momentum untuk menata ulang sistem perlindungan anak di sekolah.
Ia menyoroti bahwa sekolah tidak boleh berhenti pada slogan pendidikan karakter, melainkan harus mewujudkan secara konkret dalam kebijakan, pengawasan, dan budaya keseharian di ruang belajar.
“Kematian Angga ini bukan hanya berita duka, tapi tamparan keras bagi kita semua. Sekolah seharusnya menjadi ruang aman dan bahagia bagi anak-anak, bukan tempat yang membuat mereka takut datang setiap pagi,” ujar Ulul Albab dengan nada tegas namun sarat empati.
Menurut Ulul Albab, kasus-kasus kekerasan di sekolah sering kali dianggap sekadar kenakalan remaja. Padahal, di balik perilaku tersebut tersimpan masalah sosial yang lebih dalam, yaitu: lemahnya pendidikan karakter, kurangnya pengawasan, dan menurunnya kepekaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
“Kita sedang menghadapi situasi di mana kekerasan menjadi hal yang dianggap biasa. Di media sosial, di lingkungan, bahkan di ruang kelas, bahasa kekerasan semakin diterima tanpa disadari. Ini berbahaya, karena anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat setiap hari,” jelasnya.
Sebagai akademisi dan penggerak pendidikan Islam humanis, Ulul menilai perlunya reorientasi pendidikan nasional, dari yang semata berfokus pada hasil akademik menuju pendidikan yang membangun empati, kasih sayang, dan rasa tanggung jawab sosial.

Ulul Albab menjelaskan, ICMI Jawa Timur mendorong lahirnya sistem perlindungan anak di sekolah yang lebih konkret dan operasional. Ia menyarankan agar pemerintah daerah memastikan setiap sekolah memiliki satuan tugas pencegahan kekerasan yang aktif, bukan hanya sekadar formalitas administratif.
“Kami ingin agar sekolah memiliki mekanisme pengaduan cepat dan aman. Guru juga perlu dilatih untuk mendeteksi dini tanda-tanda perundungan. Jangan menunggu sampai ada korban baru bertindak,” ujar Ulul Albab.
Selain itu, Ia menekankan, pentingnya komunikasi intensif antara guru dan orang tua, agar setiap perubahan perilaku anak dapat segera diketahui dan direspons. Kolaborasi ini, menurutnya, merupakan benteng utama pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan.
“Orang tua sering baru tahu anaknya jadi korban atau pelaku setelah kejadian. Ini harus diubah. Sekolah dan keluarga harus berjalan beriringan, karena mereka sama-sama rumah bagi anak,” imbuhnya.
Dalam pandangan Ulul Albab, akar dari banyak masalah di sekolah saat ini adalah hilangnya rasa kekeluargaan. Sekolah yang dulu menjadi tempat anak merasa diterima, kini sering berubah menjadi ruang kompetisi yang dingin dan penuh tekanan.
“Pendidikan itu sejatinya proses memanusiakan manusia. Kalau anak merasa tidak aman, tidak diterima, atau bahkan disakiti oleh teman dan gurunya, maka pendidikan kehilangan makna terdalamnya,” kata Ulul Albab dengan nada reflektif.
Ia menilai perlu ada gerakan moral nasional yang menegaskan kembali bahwa pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan pembentukan akhlak dan kemanusiaan. Dalam hal ini, ICMI berkomitmen menjadi bagian dari solusi dengan melibatkan para cendekiawan, guru, dan tokoh masyarakat dalam gerakan pendidikan berkarakter.
Menanggapi proses hukum yang kini berjalan, Ulul Albab meminta agar penegakan hukum terhadap kasus ini dilakukan secara transparan dan menyeluruh. Namun Ulul Albab menekankan, proses hukum bukan sekadar mencari siapa yang salah, tetapi juga menggali fakta dan akar persoalan agar menjadi pembelajaran kolektif bagi bangsa.
“Kita tentu berharap pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya. Tapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana kita bisa belajar dari tragedi ini. Jangan berhenti di vonis, tapi jadikan ini titik balik untuk memperbaiki sistem pendidikan kita,” tegasnya.
Ulul Albab juga meminta media massa agar memosisikan diri secara bijak dalam pemberitaan. Menurutnya, pemberitaan harus mendorong empati dan kesadaran publik, bukan sekadar mengejar sensasi atau memperkeruh suasana.
“Anak-anak kita bukan objek pemberitaan. Mereka adalah generasi masa depan. Media punya tanggung jawab moral untuk mengedukasi masyarakat,” tambahnya.
Di akhir wawancara, Ulul Albab menegaskan kembali harapannya agar tragedi Angga menjadi momentum refleksi nasional. Ia menyerukan agar seluruh pihak (pemerintah, pendidik, dan masyarakat) meneguhkan komitmen bahwa sekolah adalah rumah kedua bagi setiap anak.
“Sekolah harus kembali hangat, ramah, dan penuh cinta. Di sanalah masa depan bangsa disemai. Jika sekolah kehilangan kemanusiaannya, maka kita sedang kehilangan arah sebagai bangsa,” pungkasnya.
Ulul Albab, adalah Ketua ICMI Orwil Jawa Timur dan akademisi di bidang kebijakan publik dan Good Governance. Ia dikenal aktif dalam gerakan intelektual Islam humanis dan advokasi pendidikan berkarakter. Melalui berbagai forum, ia konsisten menyerukan perlunya reformasi sistem pendidikan agar lebih berpihak pada nilai kemanusiaan, keadilan, dan kasih sayang.(*/*)