Luka di Layar dan di Sekolah “Ketika Penjaga Nilai Sedang Dilemahkan”


Oleh: Kamaruddin Hasan

Di tengah derasnya arus informasi dan kebebasan berekspresi, dua peristiwa yang mencuat pekan ini seakan menjadi cermin retak wajah pendidikan dan budaya bangsa kita.

Pertama, dugaan pelecehan terhadap pesantren Lirboyo dalam tayangan salah satu program stasiun televisi yang menuai kecaman publik. 

Kedua, kasus guru di Cimarga, Lebak, Banten, yang menampar siswa karena kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Dua kasus yang tampak berbeda bidang satu di ruang media, satu di ruang kelas namun sesungguhnya berkelindan dalam satu persoalan besar: krisis nilai dan karakter bangsa.

Pesantren dan Martabat Budaya Religius

Pesantren adalah benteng moral bangsa. Lirboyo, sebagai salah satu pesantren tertua dan paling berpengaruh di Indonesia, bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi “lumbung peradaban nilai, etika, dan kearifan lokal Islami”. Saat media menampilkan representasi yang dianggap melecehkan simbol pesantren atau santri, sesungguhnya yang tercoreng bukan hanya nama lembaga itu, tetapi juga martabat nilai-nilai religius yang telah menjadi akar identitas bangsa Indonesia.

Kebebasan media memang dijamin oleh demokrasi. Namun kebebasan tanpa tanggung jawab hanya akan melahirkan kebisingan moral. Dunia penyiaran mestinya menjadi sarana edukasi publik, bukan sekadar ruang sensasi. Etika jurnalistik dan sensitivitas budaya adalah wujud penghormatan terhadap keragaman nilai bangsa. Karena di negeri ini, kebebasan berekspresi tidak pernah boleh menginjak harga diri keyakinan.

Guru dan Dilema Ketegasan

Kasus kedua datang dari ruang kelas yang seharusnya menjadi taman pembentukan karakter. Seorang guru menampar siswanya yang merokok di lingkungan sekolah, dan kejadian itu segera viral. Reaksi publik terbelah: sebagian mengutuk kekerasan fisik, sebagian lain membela guru yang dianggap sedang menegakkan disiplin.

Masalah ini lebih kompleks dari sekadar “guru menampar murid”. Ia menggambarkan kebingungan nilai di ruang pendidikan kita. Guru yang mestinya menjadi teladan moral kini terjepit di antara tuntutan idealisme dan tekanan sosial. Ia dituntut menegakkan disiplin, tetapi tidak boleh keras; ia harus mendidik dengan kasih, tapi juga diharapkan tegas.

Padahal, pendidikan karakter tidak akan tumbuh dalam ruang yang hanya mengenal hitam dan putih. Guru perlu diberdayakan, bukan diadili secara moral setiap kali ia berusaha menjaga nilai. Namun, tetap harus diingat: kekerasan bukan solusi pendidikan. 

Krisis yang Sama: Hilangnya Rasa Hormat

Jika ditelisik lebih dalam, kedua kasus ini sejatinya bersumber dari akar yang sama: hilangnya rasa hormat. Media kehilangan hormat pada nilai religius dan kultural; siswa kehilangan hormat pada aturan dan figur guru. Di sinilah pendidikan karakter menemukan urgensi sejatinya.

Bangsa ini tumbuh di atas nilai-nilai unggah-ungguh, tepo seliro, sopan santun, sipakatau. Nilai -nilai itu bukan sekadar etika sosial, melainkan fondasi peradaban. Ketika nilai-nilai tersebut terkikis oleh budaya instan, viralitas, dan egoisme digital, maka yang tersisa hanyalah generasi yang pintar berargumen tetapi miskin rasa hormat.

Mengembalikan Pendidikan Sebagai Gerakan Nilai

Pendidikan, baik formal maupun informal, mestinya menjadi gerakan kebudayaan  bukan sekadar transmisi ilmu, tetapi transformasi moral dan kemanusiaan. Media, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat harus kembali satu visi: membangun generasi yang berkarakter, bukan hanya berpengetahuan.

Media perlu belajar dari pesantren tentang etika komunikasi dan sensitivitas budaya. Sebaliknya, lembaga pendidikan perlu belajar dari dinamika media untuk memperbarui pendekatan tanpa kehilangan substansi nilai. Keduanya harus saling mengingatkan bahwa pendidikan sejati lahir dari keteladanan, bukan dari sekadar aturan.

Saatnya Introspeksi Kolektif

Dua kasus pekan ini hanyalah gejala dari penyakit yang lebih dalam  yaitu runtuhnya kepekaan moral di tengah masyarakat yang serba reaktif. Kita terlalu cepat marah, tapi jarang bercermin. Kita menuntut etika dari orang lain, tapi lupa menegakkannya dalam diri sendiri.

Sudah saatnya bangsa ini melakukan refleksi kolektif: apakah pendidikan kita masih berjiwa, atau hanya berwujud sistem? Apakah media kita masih mencerdaskan, atau hanya menghibur tanpa makna?

Karakter bangsa bukan dibangun di studio televisi atau di ruang sidang, melainkan di ruang-ruang kecil kehidupan  di kelas, di rumah, di layar, dan di hati kita masing-masing.

(Penulis: Guru besar Ilmu Pendidikan dan Keguruan Universitas Negeri Makassar, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Barru)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Otomotif