Whoosh, Kecepatan yang Membingungkan


"Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa utang proyek Whoosh tidak akan dibayar menggunakan APBN, biar menjadi tanggung jawab Badan Pengelola Investasi Danantara.

Oleh Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur,
Dosen Pendidikan Antikorupsi

Editor : W. Masykar
Ketika Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) resmi - diresmikan waktu itu, sebagian kita merasa bangga: Indonesia akhirnya memiliki kereta cepat pertama di Asia Tenggara. Namun, seiring berjalannya waktu, kebanggaan itu kini dibayangi pertanyaan serius tentang transparansi, akuntabilitas, dan beban utang yang menggelayut di balik proyek ambisius tersebut.

Isu ini kembali mencuat setelah Prof Mahfud MD, mantan Menko Polhukam sekaligus tokoh yang dikenal bersuara lantang tentang integritas, mengungkap dugaan mark-up biaya pembangunan proyek Whoosh. Menurutnya, biaya per kilometer versi Indonesia mencapai 52 juta dolar AS, sementara di Tiongkok hanya sekitar 17–18 juta dolar AS. 

Selisih yang hampir tiga kali lipat tentu memancing tanda tanya besar: di mana letak perbedaan itu? Apakah murni karena kondisi geografis dan biaya lahan di Indonesia, atau ada sesuatu yang tidak beres dalam prosesnya?

KPK merespons dengan ajakan agar masyarakat yang memiliki data atau bukti awal melapor secara resmi. Pernyataan itu sekaligus menjadi sinyal bahwa lembaga antirasuah siap membuka ruang penyelidikan bila tersedia dasar yang kuat. Dalam konteks pendidikan antikorupsi yang saya ajarkan di kampus, inilah esensi dari citizen vigilance, yaitu kewaspadaan warga terhadap penggunaan uang publik, tanpa harus terjebak pada tuduhan prematur atau politisasi isu.

Sebagai akademisi, saya melihat kasus Whoosh ini bukan hanya soal angka, tetapi juga soal tata kelola dan etika kebijakan publik. Kita sedang belajar tentang bagaimana sebuah proyek strategis nasional bisa menjadi cermin transparansi pemerintahan. 

Ketika skema pembiayaan bergeser dari tawaran Jepang (bunga 0,1 persen) ke Tiongkok (bunga 2 hingga 3,4 persen), logika kita tentu berharap ada alasan rasional yang dikomunikasikan secara terbuka. Karena dalam negara demokratis, keputusan sebesar itu bukan hanya soal efisiensi teknis, tetapi juga legitimasi moral.

Pemerintah melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa utang proyek Whoosh tidak akan dibayar menggunakan APBN, biar menjadi tanggung jawab Badan Pengelola Investasi Danantara. Sikap ini patut diapresiasi sebagai upaya menjaga disiplin fiskal agar negara tidak terus menanggung risiko atas keputusan bisnis yang bersifat business to business. Namun, di sisi lain, langkah ini juga menunjukkan bahwa konsekuensi dari keputusan masa lalu kini harus dikelola dengan kehati-hatian luar biasa.Sebagai Ketua ICMI Jawa Timur, saya memandang persoalan ini dari dua sisi: rasionalitas ekonomi dan moralitas kebangsaan. 

Rasionalitas menuntut audit forensik yang jujur dan terbuka, agar kita tahu dengan pasti apakah benar ada pembengkakan yang tidak wajar. 

Sementara moralitas menuntut keteladanan: jika memang ada penyimpangan, maka hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Sebaliknya, jika perbedaan biaya dapat dijelaskan secara objektif (misalnya karena medan, material, atau nilai tukar), maka kita pun berhak tahu dengan transparan.

Yang lebih penting, proyek Whoosh seharusnya menjadi momentum refleksi nasional. Kita perlu belajar bahwa pembangunan infrastruktur tak hanya soal kebanggaan fisik, tetapi juga keadilan sosial dan keberlanjutan fiskal. 

Ketika utang bunga mencapai triliunan rupiah per tahun sementara pendapatan tiket belum menutupi operasional, maka sesungguhnya kita sedang diingatkan pada pentingnya prinsip “value for money” dalam setiap proyek negara.

Dalam pendidikan antikorupsi, saya selalu menekankan kepada mahasiswa bahwa korupsi bukan hanya soal mencuri uang, tetapi juga soal mengaburkan kebenaran, memanipulasi informasi, dan mengorbankan masa depan bangsa demi kepentingan sesaat. Jika dugaan mark-up Whoosh benar terjadi, maka itu bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi sudah merupakan pengkhianatan terhadap amanah publik.

Kita tentu berharap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang baru berjalan setahun ini berani menempuh langkah hukum yang tegas dan transparan. Karena hanya dengan keberanian membuka fakta dan kesalahan masa lalu, bangsa ini bisa melaju cepat, bukan hanya cepat secara fisik seperti Whoosh, tetapi juga cepat secara moral dan intelektual.

Akhirnya, proyek Whoosh harus menjadi pelajaran: kecepatan tidak boleh mengalahkan kehati-hatian, dan kemajuan tidak boleh menyingkirkan integritas. Sebab dalam setiap kilometer pembangunan, yang lebih penting bukanlah berapa cepat kita tiba, tetapi seberapa jujur kita melangkah.(*)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Otomotif