Oleh: Kamaruddin Hasan
Siapa hari ini yang masih membayangkan guru hanya bertugas mengajar? Jika masih, mungkin Anda tersesat di abad yang salah. Dunia sudah berubah menjadi panggung serba cepat, dan guru tak lagi sekadar tenaga pendidik, melainkan ekspekter: manusia yang berdiri di garis depan, menanggung ekspektasi sosial yang terus melonjak.
Guru ekspekter adalah sosok yang dituntut menguasai berbagai peran. Mengajar saja tidak cukup. Mereka harus membimbing, memahami kondisi psikologis siswa, menjadi pendorong inovasi sekolah, mengelola suasana belajar, dan dalam banyak situasi dianggap pemegang kunci pembenahan moral bangsa.
Dulu tugas guru adalah membuat siswa memahami pelajaran. Sekarang, guru harus memastikan murid berpengetahuan kaya, literat, berkarakter, kompeten, kreatif, berkemampuan kritis, sekaligus memiliki visi hidup yang sejalan dengan cita-cita kebangsaan.
Ekspektasi terhadap guru masa kini sangat besar. Guru harus melek digital dalam situasi anggaran yang kadang masih berjalan analog. Guru harus kreatif, sementara revisi kurikulum bisa datang tanpa diduga. Guru dituntut fokus pada peserta didik, sementara administrasi menuntut perhatian yang tidak kalah banyak. Guru didorong berpikir strategis, padahal sebagian kebijakan sekolah masih berjalan dengan pola lama.
Dalam situasi ini, papan tulis bukan lagi sekadar media mengajar. Ia adalah simbol arena pertarungan gagasan pendidikan. Semua pihak memiliki pandangan, usul, dan harapan, dan semuanya diarahkan kepada guru sebagai pusat perbaikan sistem.
Guru masa kini dituntut menguasai metode pembelajaran terbaru, mahir menggunakan teknologi, memahami budaya digital, dan membaca karakter siswa yang beragam. Mereka harus tahu kapan peserta didik bosan, kapan terbebani, dan kapan hanya kehilangan fokus karena jaringan internet yang tidak stabil.
Tugas seorang guru juga meluas ke ranah lain. Mereka harus menjadi motivator saat murid kehilangan semangat, menjadi konselor ketika siswa tertekan, menjadi petugas humas ketika sekolah disorot, dan menjadi inovator saat sekolah berharap program baru dengan anggaran minim. Menariknya, sebagian besar guru tetap menjalaninya dengan senyum, walau senyumnya kadang seperti sinyal WiFi: terdeteksi, namun melemah.
Namun satu hal harus diingat. Guru tetap manusia. Mereka bukan mesin, bukan algoritma, bukan perangkat yang terus dapat diperbarui tanpa batas beban. Guru adalah orang-orang yang memilih profesinya karena percaya bahwa perubahan besar dimulai dari ruang kelas kecil.
Jika suatu hari Anda melihat seorang guru kelelahan, tahan diri untuk menilai terlalu cepat. Bisa jadi ia baru menyelesaikan rapat daring, membimbing dua kelas sekaligus, menjadi konselor mendadak, menuntaskan laporan evaluasi, mendukung murid dalam lomba, dan masih harus mengoreksi tumpukan tugas yang tinggi.
Guru ekspekter hidup dalam zaman yang penuh tuntutan. Namun di tangan merekalah masa depan bangsa sedang dirajut, kata demi kata, ide demi ide. Jika suatu hari bangsa ini menjadi lebih maju, jangan lupa menoleh sejenak. Di balik itu ada guru yang bahkan di saat lelah masih percaya bahwa satu pikiran anak yang tercerahkan jauh lebih berharga dibanding seribu kritik yang hadir tanpa ikut bekerja.
Selamat Hari Guru Tahun 2025.
(Penulis Guru Besar UNM dan Ketua Dewan Pendidikan Barru)
