Bayangkan sebuah ruang pengap berukuran 4x6 meter yang dipaksa menampung puluhan manusia, jauh melampaui kapasitas yang seharusnya.
Di sudut lain, bayangkan seorang korban pencurian yang harus bolak-balik kantor polisi, menghabiskan waktu dan biaya, hanya untuk melihat pelakunya dihukum penjara beberapa bulan, sementara barang miliknya yang hilang tak pernah kembali.
Atau bayangkan tumpukan berkas perkara yang menggunung di meja aparat penegak hukum, terombang-ambing dalam birokrasi "bolak-balik berkas" yang melelahkan tanpa kepastian kapan akan disidangkan.
Potret buram ini adalah realitas sehari-hari dalam penegakan hukum pidana kita selama puluhan tahun. Kita terbiasa melihat sistem yang bekerja seperti mesin pabrik: menangkap, menahan, dan memenjarakan.
Di bawah rezim Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), orientasi penegakan hukum sering kali terjebak pada pembalasan dendam negara terhadap pelaku kejahatan.
Kemenangan dirayakan ketika vonis penjara diketok, seolah-olah penderitaan korban otomatis terhapus seiring tertutupnya pintu sel.
Padahal, kenyataannya sering kali nihil; korban tetap merugi, dan negara justru terbebani biaya besar untuk memberi makan narapidana di lembaga pemasyarakatan yang kelebihan muatan. Lebih spesifik lagi, kita sering menyaksikan bagaimana posisi tawar warga negara begitu lemah di hadapan penyidik.
Kewenangan penahanan yang didasarkan pada penilaian subjektif—seperti kekhawatiran melarikan diri—kerap menjadi celah penyalahgunaan wewenang.
Ruang interogasi menjadi wilayah yang menakutkan di mana advokat hanya bisa duduk diam "melihat dan mendengar", tanpa daya untuk memprotes intimidasi.
Privasi warga pun rentan dilanggar; penyadapan dan penggeledahan dapat dilakukan dengan mekanisme kontrol yang minim. Dalam situasi seperti ini, hukum acara pidana yang seharusnya menjadi pelindung hak asasi manusia, justru terasa seperti alat kekuasaan yang menekan.
Dari serangkaian masalah konkret dan keresahan yang menumpuk inilah, urgensi untuk merombak total aturan main hukum pidana kita menjadi tak terbantahkan.
Jawaban atas kebuntuan-kebuntuan spesifik tersebut kini terangkum dalam Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang ditargetkan berlaku pada 2026.
Menggugat Arogansi AparatUntuk menjawab masalah kesewenang-wenangan dalam proses penyidikan, RUU KUHAP menghadirkan mekanisme kontrol yang ketat melalui judicial scrutiny atau hakim pemeriksa. Jika sebelumnya penyidik memiliki kuasa yang nyaris absolut, kini setiap upaya paksa harus melewati filter pengadilan.
Izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan kini wajib mendapatkan persetujuan hakim. Bahkan dalam kondisi mendesak sekalipun, izin penyadapan harus dimintakan maksimal 1x24 jam setelah tindakan.
Jika hakim menolak, maka seluruh hasil sadapan harus dimusnahkan dan tidak sah demi hukum. Ini adalah jawaban konkret untuk melindungi privasi warga dari intipan negara yang tanpa dasar.
Perubahan signifikan juga terjadi pada posisi advokat. RUU ini menjawab keluhan lama para pengacara yang merasa dianaktirikan dalam proses penyidikan.
Hubungan antara penegak hukum dan advokat kini diletakkan dalam posisi setara (adversarial). Advokat tidak lagi sekadar penonton; mereka memiliki hak untuk mengajukan keberatan yang wajib dicatat dalam berita acara jika penyidik mengajukan pertanyaan menjerat atau melakukan intimidasi.
Hak untuk mendapatkan salinan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pun dijamin cair maksimal satu hari setelah pemeriksaan. Dengan cara ini, ruang gelap penyiksaan dapat diterangi oleh transparansi dan akuntabilitas.
Selain itu, respons terhadap zaman digital yang selama ini membingungkan aparat dijawab dengan modernisasi hukum pembuktian.
Bukti elektronik kini diakui secara tegas sebagai alat bukti sah yang mandiri, bukan sekadar perluasan dari petunjuk.
Namun, RUU ini juga memasang pagar api melalui prinsip exclusionary rules. Bukti apa pun yang diperoleh dengan cara melanggar hukum—seperti penyadapan ilegal atau penggeledahan tanpa surat izin—haram hukumnya digunakan di pengadilan.
Fajar Keadilan BaruUntuk mengurai benang kusut penumpukan perkara dan nasib korban yang terabaikan, RUU ini menawarkan solusi pragmatis berupa keadilan restoratif (restorative justice) dan jalur khusus (plea bargaining).
Jika pelaku baru pertama kali melakukan kejahatan ringan dan terjadi kesepakatan damai, negara tidak perlu memaksakan pemenjaraan.
Penuntutan dapat dihentikan demi pemulihan keadaan. Begitu pula dengan mekanisme pengakuan bersalah di awal sidang yang memungkinkan terdakwa mendapat keringanan hukuman maksimal dua pertiga dari ancaman pidana. Logika ini membalikkan kebiasaan lama yang boros waktu dan biaya, menjadi sistem yang efisien dan fokus pada penyelesaian masalah riil.
Puncak dari keberpihakan terhadap korban terjawab melalui skema Dana Abadi Korban (Victim Trust Fund). Selama ini, putusan ganti rugi sering kali hanya menjadi macan kertas karena pelaku miskin harta. RUU KUHAP mengatasi kebuntuan ini dengan menghadirkan negara sebagai penjamin.
Jika pelaku tak mampu membayar, negara menalangi ganti rugi tersebut melalui dana abadi yang bersumber dari APBN dan pendapatan negara bukan pajak. Ini adalah bukti bahwa hukum tidak lagi hanya tajam menghukum pelaku, tetapi juga lembut merangkul dan memulihkan korban.
Dengan melihat seluruh perbaikan spesifik tersebut—mulai dari perlindungan hak tersangka, penguatan kontrol yudisial, efisiensi penanganan perkara, hingga jaminan ganti rugi korban—kita dapat menarik sebuah kesimpulan besar.
KUHAP 2026 bukan sekadar revisi teknis, melainkan sebuah pergeseran peradaban hukum yang fundamental. Kita sedang bergerak meninggalkan paradigma retributive yang kaku dan penuh nuansa pembalasan, menuju paradigma restorative yang memanusiakan.
Dari puing-puing kegagalan sistem lama, RUU ini membangun fondasi baru di mana keadilan tidak lagi diukur dari seberapa lama seseorang dipenjara, melainkan seberapa baik keseimbangan sosial dan hak korban dipulihkan.
Pengesahan RUU ini adalah momentum untuk menutup buku sejarah kelam penegakan hukum kita dan membuka lembaran baru yang lebih bermartabat.(**)
