“Ilusi Kedaulatan Agraria: Menelanjangi Praktik State-Corporate Crime dalam Sengketa Lahan”


Oleh: Advokat Deni Hermawan, S.H., M.H.
(Ketua DPD HAPI Provinsi Jawa Barat)

Di atas kertas, Indonesia sering menepuk dada sebagai negara agraris yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Namun, di atas tanah, realitas yang terjadi sering kali menampilkan wajah kekuasaan yang brutal dan tidak manusiawi. 

Kita sedang menyaksikan sebuah distorsi besar dalam tata kelola agraria nasional, di mana negara yang secara konstitusional dimandatkan sebagai pelindung hak rakyat, justru kerap bermetamorfosis menjadi fasilitator bagi akumulasi modal korporasi. 

Fenomena penggusuran paksa masyarakat adat dan petani lokal demi kepentingan investasi bukanlah sekadar sengketa lahan biasa yang bersifat kasuistik.

Ini adalah manifestasi dari apa yang dalam kriminologi kritis disebut sebagai state-corporate crime—sebuah kolaborasi jahat, baik secara langsung maupun melalui pembiaran, antara institusi negara dan korporasi yang mengakibatkan kerugian massal bagi publik. 

Mekanismenya bekerja sangat halus namun mematikan: menggunakan "legalitas formal" untuk memberangus "legitimasi sosial". Rakyat yang telah hidup puluhan tahun di sebuah wilayah tiba-tiba diusir paksa hanya karena kalah "sakti" melawan selembar kertas bernama izin konsesi.

Problem mendasar dari sengkarut ini terletak pada benturan asimetris antara dua rezim hak. Di satu sisi, terdapat hak masyarakat yang berbasis pada penguasaan adat dan fisik (de facto). Di sisi lain, terdapat hak administratif yang diberikan negara melalui mekanisme perizinan seperti Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB). 

Ketimpangan ini diperparah oleh birokrasi yang menutup mata terhadap sejarah penguasaan tanah oleh warga, dan lebih memilih melayani prosedur administratif di atas meja.

Mitos Pemilik Mutlak
Akar dari segala kekacauan ini adalah sesat pikir yang akut dalam menafsirkan konsep "Hak Menguasai Negara". Birokrasi pertanahan kita sering kali terjebak pada arogansi feodalistik bahwa negara adalah pemilik absolut tanah di republik ini. 

Dengan logika tersebut, pemerintah merasa berhak menerbitkan izin tambang atau perkebunan di mana saja, seolah-olah tanah tersebut adalah ruang kosong (terra nullius), tanpa mempedulikan eksistensi masyarakat yang telah hidup di sana secara turun-temurun.

Padahal, konstitusi kita tidak pernah memberikan cek kosong semacam itu. Merujuk pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, negara memang memiliki mandat penguasaan atas bumi dan air.

Namun, tafsir atas pasal ini telah diluruskan melalui yurisprudensi. Sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-VIII/2010, negara hanyalah pemegang "kewenangan publik" untuk mengatur, bukan pemilik mutlak dalam ranah perdata layaknya tuan tanah.

Implikasi hukumnya sangat jelas: legitimasi negara bersifat kondisional. Ketika mandat "menguasai" itu justru digunakan untuk memuluskan jalan bagi korporasi sawit atau properti sembari memiskinkan warga lokal, maka pada detik itu negara telah melakukan pengkhianatan konstitusional. 

Negara berubah fungsi dari penjaga kedaulatan rakyat menjadi agen keamanan bagi pemodal. Izin yang diterbitkan di atas penderitaan rakyat, secara moral dan konstitusional, adalah cacat sejak lahir.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama