KUHAP 2026: Menghadang Tiga Wajah Kelam Hukum


Oleh: Rioberto Sidauruk
(Dosen STIH Gunung Jati Tangerang dan Ketua DPP HAPI)

Selama bertahun-tahun, masyarakat Indonesia hidup berdampingan dengan sinisme hukum yang begitu pekat. Kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum sering kali tergerus oleh tiga stigma besar yang seolah menjadi “hukum tak tertulis” di negeri ini.


Pertama, adagium usang “melapor kehilangan kambing, malah kehilangan sapi,” yang menggambarkan betapa mahalnya biaya mencari keadilan sehingga korban justru merugi dua kali lipat.


Kedua, fenomena no viral no justice, di mana atensi kepolisian seolah baru bekerja maksimal setelah sebuah kasus menjadi buah bibir di media sosial.


Ketiga—dan yang paling menyayat rasa keadilan—adalah anggapan bahwa hukum itu “tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Kita terlalu sering disuguhi drama di mana pencuri sandal atau nenek pencuri kakao diseret ke meja hijau tanpa ampun, sementara pelaku kejahatan kerah putih atau korporasi besar bisa melenggang bebas atau mendapat perlakuan istimewa.


Tiga wajah kelam hukum ini bukan sekadar keluhan di warung kopi, melainkan cerminan dari disfungsi sistem hukum acara pidana kita yang sudah berusia lebih dari empat dekade.


Kini, harapan untuk meruntuhkan stigma tersebut muncul melalui KUHAP 2026 yang sudah disepakati pemerintah dan parlemen.
Undang-undang yang baru saja disahkan ini bukan sekadar revisi teknis, melainkan sebuah upaya radikal untuk mengubah paradigma penegakan hukum.


Namun, pertanyaannya adalah: apakah pasal-pasal dalam regulasi anyar ini benar-benar mampu menjadi antitesis dari ketiga penyakit kronis tersebut, ataukah hanya sekadar gincu reformasi yang tetap menyimpan celah ketidakadilan?


Memutus Rantai Pungli
Jawaban atas ketakutan masyarakat mengenai biaya perkara yang mahal sebenarnya telah dijawab dengan cukup tegas dalam KUHAP 2026 ini. Jika selama ini pelapor takut dimintai “uang bensin” atau biaya operasional penyidikan, KUHAP 2026 secara eksplisit menutup celah tersebut.


Merujuk pada Pasal 52 dan Pasal 77 dalam KUHAP 2026, disebutkan bahwa semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan dibebankan kepada negara. Ini adalah klausul pengunci yang vital. Dengan aturan ini, setiap permintaan uang dari oknum aparat kepada pelapor adalah tindakan ilegal yang memiliki konsekuensi sanksi administratif hingga pidana.


Lebih jauh lagi, KUHAP 2026 memberikan proteksi ekonomi kepada korban. Tidak hanya sekadar memenjarakan pelaku, aturan baru ini mewajibkan aparat penegak hukum untuk memfasilitasi restitusi atau ganti rugi dari pelaku kepada korban. Bahkan, penyidik diberi wewenang menyita aset pelaku sebagai jaminan restitusi. Artinya, paradigma hukum kita bergeser dari sekadar penghukuman badan (retributif) menjadi pemulihan kerugian korban.


Jika ini diterapkan dengan benar, adagium “hilang kambing, hilang sapi” bisa perlahan terkubur, berganti menjadi kepastian bahwa negara hadir untuk memulihkan hak warganya tanpa biaya tambahan.


Mengakhiri No Viral No Justice
Terkait fenomena no viral no justice, KUHAP 2026 menawarkan sebuah senjata baru yang sangat progresif bagi masyarakat pencari keadilan. Selama ini, jika laporan polisi didiamkan atau “masuk laci,” masyarakat hanya bisa pasrah atau berteriak di media sosial.


Dalam Pasal 158 huruf e disebutkan bahwa “penundaan terhadap penanganan perkara tanpa alasan yang sah” kini menjadi objek yang bisa dipraperadilankan. Ini adalah terobosan luar biasa.


Masyarakat tidak perlu lagi menunggu viral untuk mendapatkan keadilan. Jika penyidik lamban atau menggantung nasib sebuah kasus, pelapor bisa langsung menggugat kepolisian ke pengadilan negeri melalui mekanisme Praperadilan. Hakim tunggal akan memeriksa apakah penundaan tersebut beralasan atau bentuk kelalaian.


Ditambah lagi, adanya kewajiban bagi penyidik untuk memberikan SPDP kepada jaksa maksimal 7 hari, serta kewajiban merespons laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti dalam 14 hari, menciptakan sistem kontrol yang ketat. Kinerja penyidik kini diawasi oleh jam pasir undang-undang, bukan lagi oleh algoritma trending topic.


Celah Transaksi Hukum
Namun, ketika kita bicara soal stigma “tajam ke bawah, tumpul ke atas,” KUHAP 2026 ibarat pedang bermata dua.
Di satu sisi, ia mencoba menumpulkan ketajaman hukum ke rakyat kecil melalui mekanisme Judicial Pardon atau Pemaafan Hakim. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 19 dan 246, hakim diberi wewenang untuk menyatakan seseorang bersalah namun tidak menjatuhkan pidana apapun.

Pertimbangannya bisa karena ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku (misalnya sangat miskin atau lansia), atau situasi saat tindak pidana terjadi.


Ini adalah solusi konkret untuk kasus-kasus sepele yang mengusik rasa kemanusiaan kita—seperti kasus Nenek Minah yang mencuri kakao.
Dengan pasal ini, hakim tidak lagi dipaksa menjadi “corong undang-undang” yang kaku, melainkan bisa menjadi wakil nurani publik.


Restorative justice, yang kini diformalkan, juga membantu menyelesaikan perkara ringan di luar pengadilan, sehingga penjara tidak lagi penuh oleh orang-orang miskin yang melakukan kesalahan kecil. Namun, di sisi lain, KUHAP 2026 membuka peluang bagi hukum menjadi sangat “tumpul ke atas,” khususnya bagi korporasi.


KUHAP 2026 memperkenalkan konsep Deferred Prosecution Agreement (DPA) yang diatur dalam Pasal 328. Mekanisme ini memungkinkan korporasi yang melakukan tindak pidana untuk menunda atau bahkan membatalkan penuntutan asalkan mereka membayar denda, ganti rugi, dan memperbaiki tata kelola perusahaan.


Secara teori, ini efisien untuk memulihkan kerugian negara dan menjaga stabilitas ekonomi. Namun, tanpa pengawasan yang ketat, DPA bisa menjadi jalan tol bagi korporasi kaya untuk “membeli” kebebasan.


Bayangkan, perusahaan yang merusak lingkungan atau merugikan konsumen secara masif, lalu lolos hanya dengan membayar denda yang bagi mereka mungkin sekadar biaya operasional. Ironinya: rakyat kecil tetap harus melalui proses hukum melelahkan, sementara korporasi bisa bernegosiasi dengan jaksa di ruang tertutup.


Potensi transaksional dalam mekanisme ini sangat tinggi. Jika tidak transparan, istilah “tumpul ke atas” bisa jadi akan terlegitimasi oleh undang-undang itu sendiri.


Harapan yang Perlu Dikawal
KUHAP 2026 adalah sebuah lompatan besar yang patut diapresiasi, namun tetap harus dikawal dengan kritis. Ia menawarkan obat mujarab untuk mematikan pungli dan kelambanan penanganan perkara.


Mekanisme Pemaafan Hakim membawa angin segar humanisme bagi rakyat kecil.
Namun karpet merah yang digelar untuk korporasi melalui mekanisme penundaan penuntutan harus diawasi agar tidak mencederai rasa keadilan publik.


Hukum acara pidana sejatinya adalah “peraturan permainan” dalam menegakkan keadilan. KUHAP 2026 telah menyusun aturan main yang lebih adil dan modern di atas kertas. Tantangan terbesarnya adalah memastikan aturan ini tidak hanya indah dalam draf, tetapi juga garang dalam pelaksanaan.
Jangan sampai KUHAP 2026 hanya memindahkan ketidakadilan dari ruang gelap penyidikan ke ruang negosiasi kaum berduit. Publik harus memastikan bahwa janji “keadilan untuk semua” bukan sekadar slogan, melainkan realitas yang bisa dirasakan tanpa harus viral terlebih dahulu.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama