Membangun Kesadaran "Edu Ecology"

Oleh: Kamaruddin Hasan
(Guru Besar Pendidikan dan Keguruan UNM dan Anggota Dewan Pakar KAHMI Sulsel) 

Indonesia kembali diuji oleh serangkaian bencana ekologis yang mengguncang Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. Banjir bandang yang membawa material vulkanik, longsor yang memutus akses antardaerah, serta curah hujan ekstrem yang menguji daya dukung tanah, adalah peringatan keras bahwa keseimbangan ekologi semakin rapuh.

Penelitian Firdaus (2023) dalam kajian kebencanaan Indonesia menegaskan bahwa meningkatnya banjir dan longsor bukan semata-mata fenomena alamiah, tetapi kombinasi kompleks antara curah hujan, degradasi hutan, dan tata ruang yang tidak berpihak pada lingkungan. Dengan kata lain, bencana-bencana yang terjadi adalah refleksi dari praktik pembangunan yang belum selaras dengan daya dukung bumi.

Kita sering memandang bencana sebagai “takdir alam”, padahal banyak di antaranya adalah buah dari pilihan manusia. Fritjof Capra (2002) dalam The Hidden Connections menyebut kerusakan ekologi sebagai konsekuensi peradaban yang melupakan keterhubungan sistemik antara manusia dan alam.

Saat hutan digunduli, sungai disempitkan, dan sampah diabaikan, kita sedang membangun kondisi yang membuat banjir dan longsor tak terhindarkan. Bencana di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh bukan hanya peristiwa, tetapi pesan ekologis yang meminta perubahan cara hidup.

Di sinilah konsep “edu ecology” menjadi sangat relevan. Edu ecology adalah pendekatan pendidikan yang menempatkan kesadaran ekologis sebagai fondasi keutuhan kemanusiaan dan keberlanjutan peradaban.

Konsep ini memiliki kemiripan dengan ecological literacy atau eco-literacy yang diperkenalkan oleh David Orr (1992) dalam Ecological Literacy: Education and the Transition to a Postmodern World. Orr menegaskan bahwa pendidikan masa depan harus menghasilkan warga yang memahami prinsip-prinsip ekologi dan mampu membuat keputusan yang selaras dengan keberlanjutan lingkungan.

Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini sejalan dengan gagasan pendidikan lingkungan hidup dalam Kurikulum Merdeka yang menekankan proyek berbasis masalah nyata (Kemendikbud, 2022).

Sekolah kemudian menjadi ruang strategis untuk menumbuhkan karakter ekologis. Edu ecology bukan sekadar menambah materi pengetahuan, melainkan mengubah sekolah menjadi ekosistem pembelajaran yang hidup. Capra dan Luisi (2014) dalam The Systems View of Life menyebut bahwa proses pendidikan harus meniru prinsip ekosistem: saling terhubung, kolaboratif, dan berorientasi pada keberlanjutan.

Ketika sekolah membangun kebun edukasi, mengembangkan bank sampah, mengelola kompos, memanen air hujan, atau melakukan audit energi, sekolah sejatinya sedang melatih siswa memahami lingkungan secara sistemik dan aplikatif.

Lebih jauh, UNESCO melalui dokumen Education for Sustainable Development (UNESCO, 2017) menekankan bahwa transformasi ekologis hanya mungkin terjadi jika pendidikan mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kepedulian sosial, serta keterampilan aksi lingkungan.

Siswa bukan hanya diajari tentang alam, tetapi diajak mengubah cara hidup. Mereka terlibat dalam proyek yang menghubungkan pengetahuan ilmiah dengan persoalan lokal: menjaga sungai, mengurangi plastik di pasar, menanam pohon di daerah rawan longsor, atau merancang inovasi sederhana berbasis teknologi ramah lingkungan. Di sinilah edu ecology melahirkan generasi muda sebagai pemimpin ekologis masa depan.

Kesadaran ekologis tak cukup hanya hidup di sekolah. Masyarakat perlu menjadi bagian dari gerakan ini melalui penguatan literasi lingkungan. Peter H. Kahn (1999) dalam The Human Relationship with Nature menunjukkan bahwa masyarakat dengan literasi ekologis tinggi cenderung lebih peduli pada pola hidup ramah lingkungan dan terlibat aktif dalam mitigasi bencana.

Literasi lingkungan masyarakat juga dapat diperkuat melalui ruang-ruang sosial seperti pengajian, pertemuan kampung, komunitas pecinta alam, hingga media digital lokal. Ketika masyarakat memahami bahwa menjaga sungai dan hutan adalah amanah moral dan spiritual, bukan sekadar tanggung jawab pemerintah, maka mereka lebih mudah bergerak melakukan aksi nyata.

Upaya merawat lingkungan pada dasarnya adalah ikhtiar antar generasi. Thomas Berry (1999) dalam The Great Work mengatakan bahwa tantangan terbesar umat manusia hari ini adalah mengarahkan kembali energi peradaban menuju keberlanjutan ekologi.

Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang; kita meminjamnya dari anak cucu. Karena itu, setiap sampah yang kita buang sembarangan atau setiap pohon yang kita tebang tanpa kepedulian adalah hutang ekologis yang diwariskan kepada generasi berikutnya. Sebaliknya, setiap pohon yang kita tanam, setiap sungai yang kita pulihkan, dan setiap literasi yang kita bangun adalah hadiah masa depan yang tak ternilai.

Bencana ekologis di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh sejatinya adalah undangan untuk berubah. Edu ecology hadir sebagai tawaran konseptual dan praktis untuk membangun generasi dan masyarakat yang mampu hidup selaras dengan alam.

Jika sekolah, keluarga, dan komunitas bergerak bersama menumbuhkan literasi ekologis, maka kita sedang menyiapkan warisan terindah untuk generasi mendatang: bumi yang lebih sehat, lebih kuat, dan lebih layak dihuni.

(Penulis, Guru Besar Pendidikan dan Keguruan UNM dan Anggota Dewan Pakar KAHMI Sulsel) 

Josep Minar

No Comment

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama