Menyoal Dagang Keadilan dalam Catatan Akhir Tahun 2025


Oleh: Dr. Muhd. Nafan, SH, MH.
(Wakil Ketua Umum DPP HAPI) 

Skandal vonis bebas dalam perkara korupsi komoditas strategis mengoyak fondasi etis peradilan Indonesia secara telanjang pada April 2025. 
Tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta berinisial ASB, AM, dan DJU mengubah martabat ruang sidang menjadi komoditas dagangan yang memiliki harga nominal tinggi.

Tim penyidik mengungkap keterlibatan pejabat teras pengadilan berinisial MAN dan panitera berinisial WG sebagai arsitek utama penghubung aliran dana haram tersebut. 

Kasus ini membuktikan bahwa intervensi modal telah merobohkan benteng terakhir keadilan hingga ke akar-akarnya melalui sindikasi yang rapi di dalam gedung pengadilan.

Keberanian oknum hakim menjajakan putusan di tengah sorotan publik nasional menandakan hilangnya rasa takut terhadap sistem pengawasan yang ada saat ini.

Noda hitam serupa mengotori institusi kejaksaan di pengujung tahun yang seharusnya menjadi momentum refleksi integritas. 

Tim gabungan menangkap Kepala Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara berinisial APN bersama dua kepala seksinya dalam sebuah Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Desember 2025. 

Para jaksa tersebut menyalahgunakan kewenangan penuntutan untuk memeras pejabat daerah serta kontraktor proyek pembangunan di wilayah hukum mereka. 

Paradoks penegakan hukum muncul secara vulgar ketika institusi kejaksaan pusat sibuk memburu koruptor kelas kakap, sementara oknum di daerah justru merampok anggaran negara melalui skema pemerasan sistematis. 

Fenomena ini menciptakan kesan bahwa hukum hanya menjadi alat pemukul bagi mereka yang tidak mampu membayar upeti kepada sang penguasa berkas perkara.

Institusi Polri melengkapi potret buram penegakan hukum nasional melalui keterlibatan anggota dalam ekosistem ekonomi gelap sepanjang tahun 2025. 

Oknum polisi dari level perwira menengah hingga bintara membentengi jaringan judi online serta peredaran narkoba demi meraup keuntungan materiil secara instan. 

Data internal menunjukkan bahwa Polri telah memberhentikan ratusan personel secara tidak hormat (PTDH) akibat keterlibatan dalam tindak pidana serius yang mencederai martabat korps Bhayangkara. 

Namun, pemecatan tanpa tindak lanjut proses pidana yang maksimal hanya akan memindahkan residivis terlatih ke sektor sipil yang berisiko menciptakan ancaman keamanan baru. 

Publik melihat kegagalan pembinaan mental ini sebagai ancaman nyata terhadap kontrak sosial antara rakyat dan pemegang mandat keamanan negara.

Gurita Mafia Peradilan
Rangkaian skandal lintas institusi ini membentuk pola kolaborasi gelap yang melibatkan aktor-aktor dari berbagai latar belakang profesi hukum secara terorganisir. 

Advokat berinisial MS dan A merancang skenario perintangan penyidikan (obstruction of justice) secara sistematis untuk menyelamatkan klien mereka dari jeratan hukum pidana. 

Mereka tidak lagi menjalankan peran sebagai pembela hak asasi manusia, melainkan bertindak sebagai operator logistik penyaluran dana suap kepada para penegak hukum di lapangan. 

Fakta memilukan ini menegaskan bahwa reformasi hukum selama ini hanya menyentuh aspek kulit luar birokrasi tanpa memperbaiki sumsum moralitas para pelakunya secara mendasar dan berkelanjutan. 

Strategi digitalisasi melalui sistem e-court terbukti gagal menutup celah korupsi karena para pelaku hanya memindahkan ruang negosiasi haram ke jalur digital yang lebih privat.

Erosi integritas yang bersifat kolektif ini menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum nasional secara sistematis dan masif. 

Ketika pelanggaran hukum terjadi secara repetitif dari level bintara hingga hakim agung, maka istilah "oknum" telah kehilangan relevansinya dalam diskursus hukum kita. 

Kita tidak lagi membicarakan satu atau dua individu yang khilaf, melainkan sedang menghadapi keranjang birokrasi yang memang sudah terkontaminasi oleh budaya transaksional sejak proses rekrutmen. 

Mafia peradilan bekerja layaknya gurita yang memiliki banyak tentakel di berbagai institusi untuk saling mengunci serta melindungi kepentingan ekonomi satu sama lain. 

Tanpa perombakan budaya organisasi yang radikal, upaya penegakan hukum hanya akan menjadi panggung sandiwara yang melelahkan bagi rakyat kecil yang merindukan keadilan substantif.

Narasi "pembersihan internal" yang sering digaungkan pimpinan instansi hukum perlu mendapatkan tinjauan kritis dari perspektif pengawasan publik yang lebih luas. 

Mekanisme pengawasan internal sering kali gagal mendeteksi dini penyimpangan karena adanya sentimen perlindungan korps (esprit de corps) yang disalahartikan secara sempit oleh para pejabatnya. 

Kegagalan deteksi ini menyebabkan skandal besar selalu muncul melalui tangan lembaga eksternal atau operasi senyap, bukan dari hasil evaluasi internal yang mandiri dan jujur. 

Publik menuntut transparansi hasil pemeriksaan etik agar pelaku kejahatan jabatan tidak mendapatkan suaka di balik kerahasiaan prosedur internal organisasi yang tertutup. 

Penguatan lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan menjadi syarat mutlak untuk memutus rantai impunitas yang selama ini terpelihara dengan rapi.

Krisis Moralitas Kolektif
Berangkat dari realitas yang menyesakkan tersebut, negara membutuhkan gagasan baru berupa penerapan sistem integritas kolektif yang berbasis pada transparansi radikal. 

Pemerintah harus segera membentuk mekanisme audit gaya hidup waktu nyata (real-time) yang terintegrasi secara langsung dengan data perbankan serta aset kripto milik seluruh aparat penegak hukum. 

Selama ini, sistem LHKPN hanya menjadi instrumen formalitas administratif yang jarang mendapatkan verifikasi faktual secara mendalam oleh lembaga yang berwenang. 

Negara wajib menerapkan prinsip pembuktian terbalik bagi setiap aparat yang memiliki profil kekayaan tidak wajar (illicit enrichment) demi mengembalikan marwah institusi. 

Integritas tidak boleh lagi diserahkan sepenuhnya pada hati nurani individu, melainkan harus dipaksa secara sistemik oleh struktur pengawasan yang menutup segala celah anomali kekayaan.

Organisasi profesi advokat juga memegang tanggung jawab besar untuk membersihkan barisan anggotanya dari praktik-praktik makelar kasus yang merusak reputasi profesi. 

Para pimpinan organisasi advokat wajib memberlakukan sanksi daftar hitam nasional secara permanen bagi pengacara yang terbukti terlibat dalam tindak pidana korupsi persidangan. 

Hal ini bertujuan agar pelaku tidak bisa berpindah-pindah organisasi profesi hanya untuk menghindari konsekuensi etik dari perbuatan haram yang telah mereka lakukan sebelumnya. 

Kolaborasi antara Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Kompolnas perlu mendapatkan penguatan melalui pemberian wewenang eksekusi yang lebih tajam dan memiliki kekuatan hukum yang memaksa. 

Rekomendasi sanksi dari lembaga pengawas eksternal tidak boleh lagi berakhir menjadi tumpukan dokumen yang berdebu di laci pimpinan instansi penegak hukum terkait.

Rentetan skandal penegak hukum sepanjang tahun 2025 membawa kita pada satu kesimpulan besar bahwa masalah hukum di Indonesia telah menjadi persoalan moralitas kolektif yang akut. 

Menjelang rilis statistik akhir tahun yang biasanya dipenuhi oleh "estetika data" keberhasilan semu, publik harus tetap kritis dalam menagih janji reformasi hukum yang lebih substantif dan jujur.

Kita tidak membutuhkan angka-angka statistik yang dipoles sedemikian rupa hanya untuk menciptakan citra baik di hadapan donor internasional atau publik domestik. 

Kepercayaan rakyat adalah mata uang yang paling berharga dalam sistem hukum, dan saat ini mata uang tersebut sedang mengalami inflasi kepercayaan yang sangat parah. 

Hanya dengan perombakan total yang berani meninggalkan jargon "oknum" serta menerapkan hukuman pidana maksimal bagi pengkhianat sumpah jabatan, kita bisa menyelamatkan benteng keadilan agar tidak terus menjadi pasar bagi para pemburu rente perkara.

Redaktur

No Comment

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama