Ratu Tak Bermahkota, Bertelapak Kaki Surga

(Catatan Lepas di Hari Ibu) 
Hari Ibu selalu datang dengan gegap gempita ucapan, rangkaian bunga, dan kata-kata manis di linimasa. 
Sebagai orang yang sehari-hari bergelut di ruang komunikasi publik, saya paham betul bahwa momentum memang penting. Ia mengingatkan, mengetuk kesadaran, dan mengajak kita berhenti sejenak dari hiruk-pikuk rutinitas.

Namun lepas Hari Ibu, justru di situlah ujian empati dimulai. Ibu tidak hidup dari seremonial. Ia hadir dalam sunyi saat dapur masih beraroma subuh, saat lelah tak sempat dikeluhkan, saat doa dilafalkan pelan agar anaknya tak merasa terbebani. 

Cinta ibu tak pernah dirilis dalam konferensi pers, tak pula menunggu sorotan kamera. Ia bekerja dalam diam, tapi dampaknya menghidupi banyak hal.

Sebagai penulis, saya belajar bahwa kata-kata paling kuat sering lahir dari kejujuran. Dan sebagai praktisi humas, saya percaya komunikasi terbaik bukan sekadar terdengar, tapi terasa. 

Di situlah ibu mengajarkan kita bahwa perhatian kecil, sapaan tulus, dan kehadiran yang konsisten jauh lebih bermakna daripada kalimat indah yang sesekali diucapkan.

Lepas Hari Ibu, mari jujur pada diri sendiri. Sudahkah kita benar-benar mendengar ibu bukan sekadar mendengar suaranya, tapi memahami kegelisahannya?. Sudahkah kita menjadi anak yang menenangkan, bukan justru menambah beban pikirannya?. 

Dalam keyakinan kita, ridha Tuhan berkelindan dengan ridha ibu. Maka setiap langkah hidup seharusnya berpijak pada adab kepada orang tua. Jika ibu masih ada, jangan menunda perhatian. Jika ibu telah berpulang, jangan pernah menunda doa. Sebab cinta ibu tak lekang oleh waktu. Ia hanya berubah bentuk menjadi kenangan yang menguatkan dan doa yang menyelamatkan.

Lepas Hari Ibu, semoga kita tak hanya pandai berkata, tapi juga setia berbuat.

Karena pada akhirnya, kemanusiaan kita paling jujur tercermin dari cara kita memperlakukan ibu.

Dan secara pribadi, izinkan saya menutup catatan ini dengan suara yang paling pelan namun paling dalam.

Selamat Hari Ibu untuk ibuku tercinta, yang telah lebih dulu berpulang.

Tak ada lagi tangan yang bisa kugenggam, tak ada lagi suara yang menyebut namaku dengan nada paling tenang. Namun kehadiranmu tak pernah benar-benar pergi. Engkau hidup dalam caraku berpikir, dalam caraku menahan marah, dalam caraku memilih kata agar tak melukai orang lain.

Hari Ibu kini tidak lagi tentang perayaan, melainkan tentang rindu yang kutitipkan dalam doa. Tentang nama yang kusebut diam-diam di setiap sujud. Tentang keyakinan bahwa kasih seorang ibu tidak terputus oleh jarak antara bumi dan langit.

Ibu, terima kasih telah menjadi rumah pertama dan pelajaran paling panjang dalam hidupku. Semoga Allah melapangkan kuburmu, menerima seluruh baktimu, dan menempatkanmu di tempat terbaik di sisi-Nya.

Selamat Hari Ibu, Ibu adalah Ratu yang tidak berhahkota namun bertelapak kaki surga. Doaku selalu menyusulmu.

Syam M. Djafar. 

Mangganjeng, 22 Desember 2025.

Josep Minar

No Comment

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama