Perbuatan Korupsi Sama dengan Kekafiran

Oleh: Aris Kuncoro

SEJUMLAH  anggota DPR yang berasal dari partai berbau agama kini terjerat kasus korupsi. Di antaranya yang banyak mendapat sorotan tajam adalah Bulyan Royan (Fraksi PBR), serta Al Amin Nasution (Fraksi PPP). Sebagai anggota dewan yang diusung partai yang membawa-bawa nama agama (Islam), jelas tindakan mereka secara langsung maupun tidak langsung telah ikut mencemarkan agama Islam.


Tak hanya mereka berdua. Bahkan sejumlah pejabat lain, yang berasal dari keluarga muslim, kini juga mendekam di penjara gara-gara korupsi. Padahal agama Islam sendiri, sangat melarang dan megharamkan korupsi. Sebab, korupsi adalah perbuatan biadab, yang langsung atau tidak langsung telah menyengsarakan rakyat banyak.

Berbagai kasus itu, tampaknya, membuktikan bahwa beragama secara formalistis saja tidaklah cukup untuk mengubah akhlak yang baik. Buktinya, mereka melakukan tindakan korupsi yang jelas-jelas melanggar norma hukum dan tentu saja norma agama karena merugikan banyak orang.

Korupsi yang merajalela dalam setiap lini kehidupan bangsa ini memang sangat menyedihkan. Para pelakunya seakan-akan tak takut akan akibat yang telah diperbuatnya. Padahal secara jelas, mereka mengakui merupakan bagian dari masyarakat beragama dan bertuhan. Semestinya, mereka takut bahwa apa yang diperbuat itu merupakan sebuah dosa besar. Korupsi adalah perbuatan keji dan mungkar, dan merupakan kejahatan besar.

Pengamalan dalam beragama bangsa ini, terlihat masih bersifat normatif: mengaku beragama dan bertuhan, tetapi segala tindakannya tak dibarengi norma agama dan semangat berketuhanan yang benar.
Di bulan Ramadhan, yang penuh rahmat dan berkah ini, mestinya kita semua, terutama yang mengaku muslim, harus kembali melakukan perenungan secara mendalam. Sudah benarkah konsep beragama kita? Cukupkah kita hanya melakukan ibadah lahiriah tanpa dibarengi perubahan akhlak yang signifikan?

Tampaknya, kita perlu mengubah konsep dan cara pandang kita dalam beragama. Kita selama ini selalu menggambarkan bahwa orang soleh adalah orang yang menjalankan ibadah lahiriah salat, puasa, zakat dan haji. Setiap muslim yang melakukan ibadah lahiriah, seperti, maka sudah cukup dianggap sebagai orang yang soleh. Padahal, ternyata masih banyak, yang melakukan amalan ibadah lahiriah seperti itu ternyata akhlaknya tidak terpuji, bahkan tak segan segan melakukan korupsi.

Orang yang rajin ibadah, mestinya, akhlaknya juga bisa berbanding lurus dengan ritual keagamaan yang telah dijalaninya. Yang bisa dipercaya ketika diberikan amanat. Eh.. yang terjadi,justru ketika diberi amanat untuk menjadi anggota DPR dan pejabat eksekutif, malah berkhianat kepada rakyat pemilihnya dengan tak malu-malu melakukan korupsi.

Tampaknya perlu diingatkan di sini, Shalahuddin al-Jursyi, seorang tokoh HAM dari Tunisia dalam karyanya, Al-Islamiyyun wa Al-Taqaddamiyyun (2000), mengatakan perbuatan korupsi (al-ikhtilash) telah mencederai cara pendistribusian kekayaan negara sehingga bisa menimbulkan kesengsaraan sekaligus kemarahan dari masyarakat (al-ijtimaiyyah).

Lalu, apa yang salah? Orang beribadah jelas tidak salah. Persoalannya, tampaknya, banyak yang menjalankan ibadah hanya sekedar sebagai ritual yang wajib dijalani, tapi, tak pernah mencoba merenungkan hikmah apa yang ada di balik ritual ibadah yang diwajibkan Tuhan? Ibadah salat, misalnya. Hikmah di balik ibadah salat, adalah bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar. Jika, dalam kehidupan sehari-hari kita masih belum bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar --masih berkhianat ketika diberi amanah, masih suka korupsi dan juga membiarkan para koruptor hidup keenakan-- berarti salat kita belum benar.

Kesadaran seperti inilah yang sangat kurang dihayati oleh sebagian besar bangsa ini. Kita masih terjebak perdebatan masalah kilafiyah yang tak ada habis-habisnya. Padahal, banyak persoalan besar yang sedang kita hadapi.
Ketika kita sibuk berdebat soal apakah tahlilan itu merupakan perbuatan bid’ah atau bukan, ketika sibuk berdebat soal doa qunut dalam salat Subuh, ketika sibuk berdebat apakah aliran tertentu yang penafsirannya soal agama berbeda dengan kita itu sesat atau tidak, ternyata diam-diam milyaran rupiah bahkan trilyunan rupiah uang rakyat yang harus ikut kita awasi, digarong habis-habisan oleh para koruptor. Dan celakanya sebagian koruptor ini, ternyata kesehariannya, sering beribadah bareng kita di masjid, sehingga kita jadi bingung, apakah kita akan membela sang koruptor atau tidak?

Kita selama ini memang terkesan lemah dan sangat permisif –mudah memaafkan, saat berhadapan dengan para koruptor ini. Apalagi, jika koruptor ini seagama atau separtai dengan kita. Padahal, mestinya kita harus mengutuk habis para koruptor ini. Gara-gara merekalah, maka bangsa kita saat ini jadi sangat terpuruk. Karena merekalah, maka puluhan juta rakyat kita berada di jurang kemiskinan.

Selama ini, agama yang diajarkan melalui para pendakwah banyak yang hanya menekankan pada aspek normatif. Sekaranglah saatnya kita mulai mengubah paradigma dalam melaksanakan perintah Tuhan, dengan penafsiran yang lebih tajam dalam upaya pemberantasan korupsi yang sepertinya sudah membudaya di negeri ini.

Bahkan, kalau perlu, para ulama atau pemuka agama, berani membuat fatwa bahwa perbuatan korupsi itu sama dengan kekafiran. Istilah kafir selama ini ditujukan bagi mereka yang dianggap menyimpang dari ajaran normatif agama. Padahal Alquran sendiri menyebutkan kafir dalam wujud, misalnya, pendusta atau mendustakan agama (yukadzibu bi al-Din). Siapakah pendusta agama itu? Dalam Alquran (QS 107:1-7), sangat jelas disebut, bahwa pendusta agama itu adalah mereka yang menghardik anak yatim, tak memberi makan pada kaum miskin, enggan menolong dengan kekayaan yang mereka miliki. Ini bisa ditafsirkan pula bahwa pendusta agama adalah mereka yang selama ini sering menyelewengkan kekayaan negara.

Nabi Muhammad SAW, ketika memperkenalkan Islam, tidak pernah mengobarkan perang terhadap individu dan kelompok yang berbeda penafsiran, berbeda iman dan kepercayaan agama. Nabi justru menyatakan perang terhadap mereka yang menindas dan memerkosa hak-hak asasi kemanusiaan, dan merampok uang negara yang kemudian menimbulkan kesengsaraan. Nabi SAW, jelas-jelas berpihak pada kaum tertindas yang terpinggirkan oleh dominasi kekuasaan dan pejabat korup.

Ini bisa dibuktikan dengan bagaimana Nabi Muhammad membebaskan budak-budak dari dominasi perlakuan zalim para konglomerat Quraisy, dan memberi kebebasan kepada para budak sehingga mereka akhirnya turut membantu perjuangan nabi untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, seperti dialami sahabat Nabi, Bilal ibn Rabah.

Aksi perang oleh Nabi tidak ditujukan kepada orang-orang yang berbeda agama dan keyakinan, melainkan kepada mereka yang berbuat zalim terhadap kaum lemah. Mereka yang berbuat zalim kepada yang lemah dan suka korupsi inilah sebenarnya yang pantas disebut kafir dan layak diperangi. Oleh karena itu, sudah semestinya, Islam, melalui para pemeluknya mempelopori gerakan antikorupsi besar-besaran melalui tindakan nyata.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama