Pramoedya Tetap Dikenang Masyarakat Kabupaten Blora

Pramoedya Ananta Toer

Oleh Dasman Djamaluddin

Seorang wartawan dari Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah,  Sri Purnomowati mengirim undangan kepada saya.

Isi undangan itu dengan jelas mengatakan, "Sastra Blora, Sastra Dunia." Saya setuju dengan tema ini. Di Blora lah pada 6 Februari 1925 seorang Pramoedya Ananta Toer dilahirkan. 

Tepatnya di Jetis, Blora. Ia adalah sastrawan Blora, Indonesia dan Dunia. Ia mulai menulis sejak duduk di Sekolah Rakyat. Sekarang namanya Sekolah Dasar. Ayahnya, Toer, adalah seorang guru dan aktivis Partai Nasional Indonesia (PNI) Cabang Blora.

Itulah nanti salah satu acara yang akan kita saksikan pada tanggal 12-15 September 2018 di Blora. Cerita dari Blora.

Pram memang telah tiada. Tetapi hasil tulisannya dicatat oleh sejarah. Pram juga pernah mengatakan bahwa "siapa saja boleh pintar. Tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam sejarah."

Pram telah tiada. Minggu pagi, 30 April 2006, Pramoedya Ananta Toer, salah seorang pujangga besar Indonesia itu,  menghela nafas terakhirnya pada pukul 08.55 WIB, di usia 81 tahun dan jenazah disemayamkan di kediamannya Jalan Multikarya II No.26, Utan Kayu Jakarta Timur.

Pram sebutan khasnya sehari-hari,  secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia . Pram telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.

Nama aslinya sebagaimana diungkapkan dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul “Cerita Dari Blora,” adalah Pramoedya Ananta Mastoer. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa “Mas” dari nama tersebut dan menggunakan “Toer.”

Mengangkat kembali masalah Pram ke permukaan bukan dikarenakan saya adalah alumnus SMA di Kabupaten Blora, tetapi lebih dikaitkan karena seorang penulis dan peneliti yang menetap di Amsterdam, Joss Wibisono di dalam majalah "Tempo," edisi 7, tanggal 13 Oktober 2013,  mengungkap kembali kenapa para Sastrawan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, di mana Novel Pram berjudul “Tetrologi Buru,” yang dinominasikan meraih Nobel Kesusastraan bisa gagal.

Dalam hal ini Joss Wibisono mengutip Benedict Anderson, Guru Besar Universitas Cornell di New York, Amerika serikat dalam artikelnya “The Unrewarded” (Yang Tak Teranugerahi) di “New Left Review 80, “edisi Maret-April 2013. “Kelemahan panitia Nobel Kesusastraan di Stockholm, Swedia,” ujar Ben Anderson adalah kunci utamanya. ”Terabaikannya Asia Tenggara, jelas merupakan kelemahan dan sekaligus titik buta panitia Nobel,” tegasnya.

Diakui Ben Anderson, para Sastrawan Asia memang pernah meraihnya, semasa Rabindranath Tagore dari India. Tetapi India pada tahun 1913 itu masih jajahan Inggris. Belum sepenuhnya mewakili India. 

Permasalahan penterjemahan juga menjadi kendala utama. Terjemahan Novel Pram, “Tetrologi Buru,” ke dalam bahasa Inggris, roh kesusatraannya hilang begitu saja. Boleh dikatakan terjemahannya jelek. Kesimpulannya bangsa Indonesia yang juga merupakan negara jajahan Belanda,  bernasib sama dengan negara-negara jajahan lain. Negara Prancis, Inggris dan Spanyol telah melakukan lobi untuk sastrawan negara bekas jajahan mereka.Tetapi Belanda?

Perkembangan di Indonesia ada yang mengkaitkan bahwa pemerintah Indonesia tidak bersungguh-sungguh mendukung Novel Pram dikarenakan masa lalu Pram yang diduga terlibat Partai Komunis Indonesia sehingga dibuang ke Pulau Buru. Memang Novel “Tetra Buru”, atau “Tetra Pulau Buru,” atau “Tetralogi Bumi Manusia,” adalah nama dari empat Novel karya Pram yang terbit dari tahun 1980 hingga 1988. Novel ini pernah dilarang peredarannya oleh Jaksa Agung Indonesia selama beberapa masa. 

Menurut saya, sebaiknya ketika Novel Pram dinominasi, pemerintah mendukung hal tersebut. Saya berkesimpulan, banyak faktor yang mempengaruhi mengapa Novel Pram gagal meraih Nobel Kesusatraan, baik dari jeleknya penterjemahan sebagaimana diungkap Ben Anderson, kemauan negara penjajah Belanda melobi Komite Nobel hingga dukungan pemerintah Indonesia sendiri terhadap Novel Pram.

Hikmah apa yang bisa kita ambil dari acara "Cerita dari Blora," tanggal 12-15 September 2018 akan datang, adalah karya-karya Pram tetap diminati oleh bangsanya sendiri. Jika ada yang mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghargai pahlawannya, juga pahlawan di bidang kesusasteraan Pramoedya Ananta Toer.

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama