Kasus Hukum Bupati Merauke Terkait Kampanye Hitam, Sebaiknya Dihentikan

Ternyata Pelapor Malah Diuntungkan

Bupati Merauke Frederikus Gebze
Oleh: : Aris Kuncoro

Pemilu 2019  yang berlangsung  aman, jujur dan adil, pada 17 April 2018 lalu, ternyata masih menyisakan segelintir  masalah hukum, di Kabupaten Merauke.

Terutama, yang menonjol adalah penetapan status tersangka terhadap Bupati Merauke, Frederikus Gebze dalam kasus dugaan kampanye hitam.

Seperti diketahui, Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Kabupaten Merauke telah menetapkan Bupati Frederikus Gebze alias Freddy sebagai tersangka kasus dugaan kampanye hitam.

Bawaslu setempat memastikan  yang bersangkutan melakukan kampanye hitam terkait SARA dengan menyerukan pemilih untuk tidak mencoblos salah satu Caleg DPR RI dari Partai Gerindra, Steven Abraham.

Bupati Merauke tersebut dinilai telah menyuruh untuk memilih atau tidak memilih caleg tertentu.

Hal ini dibenarkan anggota Komisioner Bawaslu Papua, Amandus S.

Ia menjelaskan, setelah pembahasan II Sentra Gakkumdu, maka Bawaslu akan menyerahkan berkas tindak pidana kepada penyidik Gakkumdu dan dilakukan penyidikan selama 14 Hari Kerja.

Setelah 14 hari kerja, kasus tersebut akan dibahas dalam pembahasan III di Sentra Gakkumdu dan hasil penyidikan selanjutnya masuk berkas tahap I, lalu diserahkan kepada pihak Kejaksaan Negeri Merauke.

Kasus ini terungkap setelah calon anggota legislatif, Stevanus Abraham melapor ke Bawaslu Merauke terkait keterangan pers yang dilakukan Bupati Freddy di Merauke pada 6 April 2019.

Dalam keterangan pers yang terekam dalam video, Freddy  meminta agar tidak memilih caleg DPR RI atas nama Steven Abraham dalam pemilu legislatif 2019.

Saat ini Stevanus Abraham menjabat Ketua DPD Gerindra Kabupaten Merauke dan anggota DPR RI.

Dan Stevanus Abraham ini, pada Pemilu 2019 mencalonkan diri lagi sebagai anggota DPR RI untuk Dapil Papua.

Stevanus melaporkan ke Bawaslu karena merasa dirugikan dengan pernyataan Bupati Freddy.

Tapi, ternyata, dari hasil rekapitulasi suara oleh KPU, Stevanus Abraham  meraih suara cukup signifikan, dan dinyatakan lolos sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024.

Dalam konteks ini, pernyataan Bupati Merauke ternyata justru menguntungkan bagi Stevanus Abraham.

Jadi tentu kasus hukum yang menyangkut kampanye hitam tersebut, sebaiknya dihentikan saja. Daripada menimbulkan gejolak yang merugikan masyarakat Merauke. Toh, Stevanus Abraham, namanya justru terangkat dengan adanya video yang viral tersebut.

Bupati Merauke Frederikus Gebze sendiri tekait masalah tersebut menyatakan, KPU telah mengumumkan pleno secara nasional dan sudah berakhir sehingga apapun persoalan seharusnya berakhir.

Kepada seluruh masyarakat Merauke Bupati Freddy juga mengucapkan terimakasih Pemilu telah berakhir aman dan damai

"Mari kira kembali bersatu membangun Merauke. Jika ada hal atau masalah yang mengenai Pemilu harusnya berakhir. Apalagi pihak yang menganggap ada hambatan atau kerugian menyangkut masalah tersebut ternyata justru diuntungkan," ujar Bupati.

    Bupati Freddy mengajak masyarakat bersatu kembali merajut kebersamaan untuk membangun Merauke dan membangun Indonesia.

Penulis sendiri berharap, sudah saatnya berbagi pihak mendinginkan  suasana politik yang sempat panas di Kabupaten Merauke. Terutama terkait Pemilu 2019. Dan saatnya kembali beraktivitas normal.



Di sini, penulis mengingatkan, apa saja perbuatan-perbuatan yang dapat digolongkan sebagai Tindak Pidana Pemilihan Umum (Pemilu) diatur dalam Pasal 488 s.d Pasal 554 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Beberapa di antaranya adalah seperti melakukan pelanggaran atas larangan kampanye, melakukan kampanye di luar jadwal yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), memberikan keterangan yang tidak benar terkait daftar pemilih dan lain-lain.

Definisi

Tindak pidana Pemilihan Umum (“Pemilu”) menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum (“Perma 1/2018”) sebagai berikut:

Tindak Pidana Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Tindak Pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Sedangkan yang dimaksud dengan Pemilu menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU 7/2017”) adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jenis-Jenis Tindak Pidana Pemilu

Jenis-jenis tindak pidana pemilu diatur dalam Bab II tentang Ketentuan Pidana Pemilu Pasal 488 s.d. Pasal 554 UU 7/2017, beberapa di antaranya yaitu:

Memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data diri daftar pemilih;

Pasal 488

Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain terutang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar Pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.

Kepala desa yang melakukan tindakan menguntungkan atau merugikan perserta pemilu;

Pasal 490
Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.

Orang yang mengacaukan, menghalangi atau mengganggu jalannya kampanye pemilu;

Pasal 491
Setiap orang yang mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya Kampanye Pemilu dipidanadengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.

Orang yang melakukan kampanye pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan KPU;

Pasal 492
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye Pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (“KPU”), KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.

Pelaksana kampanye pemilu yang melakukan pelanggaran larangan kampanye;

Pasal 493
Setiap pelaksana dan/atau tim Kampanye Pemilu yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.

Memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu;

Pasal 496
Peserta Pemilu yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) serta Pasal 335 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.

Pasal 497
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.

Menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya;

Pasal 510
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.

Menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan;

Pasal 514
Ketua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 240 juta.

Memberikan suaranya lebih dari satu kali.

Pasal 516
Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu Tempat Pemungutan Suara (“TPS”)/Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri (“TPSLN”) atau lebih, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling banyak Rp 18 juta.
 
Yang Berwenang Memutus Perkara Tindak Pidana Pemilu
Terkait dengan tindak pidana pemilu ini, Pasal 2 huruf b Perma 1/2018 mengatur bahwa pengadilan negeri dan pengadilan tinggi berwenang memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana pemilu yang timbul karena laporan dugaan tindak pidana pemilu yang diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota dan/atau Panwaslu Kecamatan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia paling lama 1 x 24 jam (satu kali dua puluh empat jam), sejak Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota dan/atau Panwaslu Kecamatan menyatakan bahwa perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana pemilu.

Pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam UU 7/2017.

Dalam hal putusan pengadilan negeri diajukan banding, permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan. Pengadilan tinggi memeriksa dan memutus perkara banding paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima. Putusan pengadilan tinggi yang memeriksa dan memutus perkara banding dalam tindak pidana pemilu merupakan putusan terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.

Jadi, melihat masalah  pidana Pemilu yang terjadi di Merauke tersebut, seyogyanya tidak diteruskan. Karena hanya akan menguras energi.

Dan saat ini sebaiknya pihak-pihak yang bersaing dalam Pemilu kemarin, perlu melakukan rekonsiliasi. Bersatu untuk membangun Masa depan Kabupaten Merauke.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama