Tertikamnya Sang Jendral di Tangan Seorang Katro


Oleh: Danny PH Siagian, SE, MM
(Pengamat Sosial Politik dan Kemasyarakatan)

Sungguh di luar nalar, sang Jendral mantan Panglima TNI, bisa kena tikam di bagian perut oleh seorang manusia katro bertampang culun, tapi bejatnya minta ampun. Bahkan mungkin ini pertama kalinya seorang Jenderal ditusuk.

Upaya penikaman sang Jendral tampak jelas sudah direncanakan, alias delik pembunuhan berencana. Terbukti si manusia katro Abu Rara itu sudah menyiapkan sebilah belati. Bahkan isterinyapun membawa gunting. Posisi mereka berduapun diketahui dalam jarak yang sangat dekat dengan sasaran.

Peristiwa yang mengenaskan itu terjadi saat sang Jendral, Menkopolhukam Wiranto menghadiri peresmian Gedung Kuliah Bersama Universitas Mathlaul Anwar di Desa Sindanghayu, Saketi, Pandeglang, Banten, yang kemudian Wiranto diserang di alun-alun Menes, Pandeglang, Banten saat baru turun dari mobil, Kamis, 10 Oktober 2019.

Se Indonesiapun langsung heboh, apalagi peristiwa ini terjadi ditengah panasnya suhu politik, jelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia Terpilih secara sah. Kecenderungan dugaan mengarah kepada adanya upaya pihak tertentu, untuk membuat teror jelang pelantikan 20 Oktober nanti.

Ada banyak pertanyaan yang timbul. Apakah benar ada kaitannya dengan rencana pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, atau murni tindakan kriminal? Kalau dikaitkan dengan pelantikan, apakah shock theraphy nya cukup ampuh? Tapi kalau tindakan kriminal, mengapa harus serang Jendral yang notabene pejabat Negara yang ditikam?

Mencermati pola-pola penyerangan yang dilakukan oleh mereka yang terdoktrin teroris dengan dalih jihad, bisa jadi ada kaitan. Karena jelas-jelas dipersiapkan. Yang diserang juga orang berpengaruh di Negara ini.

Bisa saja pola penyerangan yang tadinya sering menggunakan bom, beralih kepada senjata tajam. Dengan prinsip yang sama, yaitu membuat sebuah ancaman dan menghebohkan, serta dirinya siap mati. Karena itulah biasanya ciri-ciri dari seorang yang melakukan aksi teror, misi tercapai, sekalipun harus mati.

Pertanyaan lanjutan, apakah manusia bertampang katro ini memiliki jaringan atau tidak? Sebab biasanya, jika ada sebuah aksi teror, ada pihak-pihak tertentu yang mengaku bertanggungjawab, sebagai pertanda bahwa dibelakang pelaku, ada jaringannya.

Dilihat dari tanda-tandanya, sang penikam membawa isterinya dalam melakukan aksi. Ini juga salah satu ciri teroris, yang sering membawa atau melibatkan anggota keluarganya dalam penyerangan. Karena menurut keyakinan mereka, jika mereka mati dalam aksi, langsung masuk sorga. Tentu hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi kepolisian, untuk mengusut tuntas.

Warning Para Pejabat
Tak dapat dipungkiri, bagaimanapun peristiwa ini menodai TNI dan Polri. Karena yang dicederai adalah seorang Jendral, mantan Panglima TNI, dan masih menjabat Menko, dibidang Polhukam pula. Selain itu, Kapolsek yang juga kena tikam di bagian punggung, saat dirinya ingin melindungi Wiranto.

Peristiwa ini juga nampaknya sekaligus menjadi kewaspadaan, bahwa ternyata dalam kerumunan masyarakat, dalam ruang terbuka seperti itu, tidak identik dengan aman. Masyarakat juga ternyata tak bisa dijamin seratus persen baik dan tidak bermaksud apa-apa. Hal ini mengingatkan kita kepada peristiwa pembacokan Menhankam Matori Abdul Jalil tahun 2000, yang juga sedang ada diruang terbuka di depan rumahnya.

Selain itu, maraknya ajaran radikalisme yang membuat polarisasi masyarakat yang pada akhirnya sangat sulit terdeteksi, sekalipun orang-orang tersebut berada dalam lingkungan masyarakat pada umumnya. Apalagi mereka yang sudah terindikasi kena doktrin, mampu menyimpan dendam bagai bara api, yang kemudian sewaktu-waktu meledak bersama aksinya. Dan tentu masih banyak lagi aliran-aliran lain yang rentan dengan ulah maupun perilaku ujaran kebencian, yang perlu diwaspadai.

Oleh sebab itu, maka standar protokoler pengawalan para Pejabat Negara, menjadi sangat penting untuk ditegaskan kembali. Pengawalan dengan SOP yang umumnya sudah ada, perlu didisiplinkan kembali. Bahkan sterilisasi lokasipun jelas sangat dibutuhkan.

Jangan sampai Presiden Jokowi dan Ibu Iriana yang sering dekat berselfi ria dengan masyarakat, menjadi malapetaka dikemudian hari. Tentu Paspampres yang selama ini sudah cukup meyakinkan dalam pengawalannya, perlu makin waspada dan jeli, jika Presiden ada dalam keramaian atau kerumunan masyarakat. Bahkan kebiasaan Presiden berselfi ria dengan masyarakat, mungkin perlu dikaji ulang, untuk mengantisipasi risiko bahaya.

Bila perlu, demi keamanan dan keselamatan Presiden maupu Pejabat Negara, menghindari keramaian diruang publik. Karena memang sangat sulit mendeteksi dalam kerumunan masyarakat, mana yang baik, maupun mana yang siap-siap melakukan serangan terhadap sang tokoh. Lebih baik mencegah daripada menanggung segala risiko kejadian, yang nantinya akan berdampak luas dan berimbas kemana-mana.

Tentu, sebagian besar masyarakat Indonesia, sangat berharap, agar pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden K.H Maruf Amin dapat berjalan lancar tanpa hambatan apapun. Karena peristiwa monumental ini juga merupakan ukuran derajat keberadaban bangsa dan keamanan Negara Indonesia di mata dunia. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama