Berkas Tahap II Komisaris PT DBG Dari Polda Ke Kejati DKI Belum Terealisasi


JAKARTA (wartamerdeka.info) -Penyerahan berkas dan tersangka Robianto Idup, yang ditunggu-tunggu Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI berelum terealisasi. Padahal jadwal pelimpahan  dari  penyidik Polda Metro Jaya Kamis lalu (14/5/2020).

Terkendalanya Tahap II (penyerahan berkas, barang bukti dan tersangka) Robianto Idup dari penyidik Polda ke Jaksa Kejati DKI Jakarta, karena alasan sakit.

Namun diduga karena tersangka Rubianto tidak ditahan di Rutan sejak ditangkap dari Belanda.

Tersangka Rubianto Idup yang dikenal masyarakat luas menjabat Komisaris PT Dian Bara Genoyang (DBG), tersangkut pidana beberapa waktu lalu.
Informasi yang berkembang di Kejati DKI menyebutkan bahwa kasus Robianto Idup melibatkan bintang-bintang dan petinggi-petinggi. Itu pula sebabnya, Robianto Idup tidak langsung dijebloskan ke dalam tahanan usai menyerahkan diri di Denhaag.

“Tersangka tidak datang, yang muncul surat keterangan sakit dari dokter suatu rumah sakit, yang diserahkan mungkin kuasa hukumnya,” kata seorang penyidik di Polda Metro Jaya.

Robianto Idup yang sebelumnya sempat buron sampai masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan red notice tidak menunjukkan batang hidungnya di Mapolda Metro Jaya untuk selanjutnya diserahkan ke penuntut umum atau JPU Kejati DKI dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan.

Karenanya sangat disayangkan setelah menjadi DPO, Rubianto Idup lalu menyerahkan diri di Denhaag (Belanda), penyidik Polda Metro Jaya tidak langsung melakukan penahanan, sehingga pelimpahan berkas, barang bukti dan tersangka tidak kunjung terlaksana.

Kamis lalu, Polda Metro Jaya menerima surat yang mengatakan tersangka Rubianto mengidap penyakit paru-paru. Apakah ini permainan tersangka Robianto, yang disebut-sebut licin kayak belut atau  permainan ini melibatkan oknum-oknum? Masih tanda tanya. Sebab penyidik Polda Metro Jaya enggan mengomentarinya. Hanya diisyaratkan, seseorang yang menderita sakit, apalagi jika sudah dalam kondisi kritis atau serius mempunyai hak dan alasan untuk tidak memenuhi panggilan aparat.

Kasipenkum Kejati DKI Nirwan Nawawi SH MH sebelumnya menyatakan bahwa berkas perkara tersangka Robianto Idup sudah P21 sehingga dijadwalkan penyidik untuk tahap II (dua) ke Kejati DKI/Kejari Jakarta Selatan. Namun dia menyebutkan tahap II sepenuhnya kewenangan penyidik dan Penuntut umum sifatnya pasif menunggu tahap dua tersebut.

Terhahap Robianto atau  penasihat hukumnya belum berhasil dimintai tanggapan atas batalnya tahap dua dan soal penyakit yang diderita tersangka tersebut, hingga penayangan berita.

Sementara saksi pelapor sekaligus korban penipuan, penggelapan dan pencucian uang yang dilakukan tersangka, Herman Tandrin, kecewa berat dengan batalnya tahap dua.

Herman berharap dilakukan monitoring apakah betul tersangka menderita sakit paru-paru hingga harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Jika ternyata tidak kritis, Herman Tandrin berharap segera dilakukan pemanggilan kedua yang bisa saja disusul lagi dengan jemput paksa kalau pemanggilan-pemanggilan tersebut tidak diindahkan.

“Saya harap Polda bertindak tegas! Kita semua berharap ada kepastian hukum dalam kasus ini, dan hukum juga ditegakkan tanpa pandang bulu,” tegas Herman Tandrin, di Jakarta, Jumat lalu, (15/5/2020).

Adapun Surat Tahap II (Dua) tersebut Nomor B-2496/M.1.4_EOH.1/03/2020, Tanggal10 Maret 2020 yaitu pemberitahuan hasil penyidikan perkara pidana atas nama Rubianto Idup dengan sangkaan melanggar Pasal 378 KUHP jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP atau Pasal 372 KUHP jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP. Artinya, sudah lengkap P-21, kata seorang sumber.

Mendengar informasi tersebut, mungkinkah terjadi DPO jilid II, Red Notice jilid II? Atau ada permainan-permainan (hukum) lain yang memanfaatkan celah hukum? Harus bagaimana kuatkah seorang saksi pelapor untuk menghadapi seorang tersangka yang dijerat dengan pasal 378 KUHP, 372 KUHP dan tindak pidana pencucian uang (TPPU)? Bukankah kepentingan (hukum) saksi korban sudah difasilitasi penyidik dan jaksa penuntut umum? Agaknya sepak terjang Robianto Idup selanjutnya akan menjawab berbagai pertanyaan terkait tersendat-sendatnya penanganan kasusnya.

"Dia akan dipanggil lagi untuk pelaksanaan tahap II. Kalau tetap tidak hadir mungkin akan dijemput paksa," kata sumber.

Dugaan kasus penipuan, penggelapan dan TPPU  terjadi sejak adanya kerja sama antara tersangka Robianto Idup (Komisaris PT DBG) dalam usaha pertambangan batubara dengan Herman Tandrin Dirut PT GPE pada pertengahan tahun 2011.

PT GPE yang memiliki peralatan lengkap diperjanjikan  mengerjakan penambangan batubara di wilayah izin pertambangan PT DBG di Desa Salim Batu Kecamatan Tanjung Palas Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.

PT GPE pun melakukan mobilisasi unit, land clearing dan pekerjaan overburden sesuai yang diperjanjikan sampai Agustus 2011. Kemudian dilanjutkan penggalian batubara September 2011. Namun PT DBG tidak kunjung melakukan pembayaran atas kerja PT GPE hingga saksi mengancam menyetop pelaksanaan pekerjaan penambangan.

Selanjutnya tersangka Robianto meyakinkan Herman Tandrin bahwa dirinya bukanlah tipe orang tak konsisten membayar hutang.  Tersangka meminta diteruskan pekerjaan dan akan dibayar sekaligus dengan bayaran yang telah dilaksanakan maupun yang dikerjakan selanjutnya.

PT GPE pun melakukan eksplorasi penambangan batubara hingga menghasilkan sebanyak 223.613 MT atau senilai Rp 71.061.686.405 untuk PT DBG. Namun, pihak PT DBG yang diwakili Robianto Idup tak kunjung membayar PT GPE yang ditaksir mencapai Rp 22 miliar lebih.  Berbagai upaya dilakukan Herman Tandrin tak dihiraukan tersangka Robianto Idup hingga akhirnya Robianto Idup dan Iman Setiabudi  dilaporkan ke Polda Metro Jaya. (dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama