Penting Bagi Masyarakat, Ikatan Alumni MIH UKI Angkat Tema Webinar Tentang Hak dan Kekayaan Intelektual

Foto: Nara Sumber, Panitia dan peserta Webinar HKI

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Dirasa penting bagi masyarakat, akademisi dan para pencipta karya seni (digital), Ikatan Alumni Magister Ilmu Hukum (IKA MIH) Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Ikatan Alumni (IKA) UKI mengangkat tema Webinar “Penegakan Jaminan Perlindungan HKI  Bagi Professional  (Pemusik, seniman, akademisi) dan Pengusaha”.

Webinar berlangsung pada hari Rabu (29/07/2020), pukul 14.00-16.00 WIB melalui aplikasi zoom webinar, yang diikuti 112 peserta diantaranya: dosen, mahasiswa, pegiat karya seni, pemerhati, produser, pengusaha, dan berbagai profesi lainnya. Acara dipandu Host, Solagratia EM Baikhu (mahasiswi S-2 MIH UKI), yang di awal acara mengajak peserta menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, kemudian doa, dan dilanjutkan dengan sambutan-sambutan dan paparan narasumber.

Webinar menghadirkan 3 (tiga) nara sumber yaitu: Hulman Panjaitan, SH., MH (Dekan Fakultas Hukum UKI); Hj. Diana Dewi, SE (Ketua DPD KADIN DKI Jakarta); dan Johnny William Maukar, SH., MM (Sekjen PAPPRI/ Wakil Ketua LMK PAPPRI).

Mengawali sambutan, Ketua IKA MIH UKI, Aryanti Baramuli Putri, SH., MH mengatakan, Hak dan Kekayaan Intelektual itu sesungguhnya merupakan aset yang tak terlihat. Namun masih banyak masyarakat yang belum memahaminya, sehingga perlu diperbincangkan agar masyarakat luas dapat mengerti, bahwa HKI itu bisa diwariskan dan perlindungannya sangat penting. 

Sementara Saor Siagian, SH., MH, Ketua IKA UKI dalam sambutannya mengatakan Hak Cipta itu bukan saja hanya bicara soal hak ciptanya, tapi bagaimana hak cipta itu memberi dampak yang luar biasa bagi banyak orang. Pengacara kondang ini juga mengatakan sangat salut dan mengapresiasi teman-temannya di Ikatan Alumni MIH UKI, seperti Aryanti Baramuli, Diana Napitupulu, dan lain-lain, karena masih siap bekerja keras untuk turut mencerdaskan masyarakat, kendati ada kendala situasi pandemi Covid-19. 

Memasuki sesi diskusi, acara dipandu moderator Diana Napitupulu, SH, MH, MKn, M.Sc (Sekretaris IKA MIH UKI), yang memberikan pengantar sekilas mengenai apa itu Hak Kekayaan Intelektual (HKI), dan memunculkan beberapa pertanyaan terhadap gambaran umum penegakan jaminan Perlindungan HKI bagi Professional (Pemusik, Seniman, Akademisi) dan Pengusaha yang ada sekarang ini. 

Sebagai nara sumber pertama, Hulman Panjaitan, SH., MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia menerangkan, ide dan kegiatan kreatif dari hasil daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuk merupakan Kekayaan Intelektual yang dilindungi oleh Undang-Undang.

“Hak Kekayaan Intelektual yang adalah hak kebendaan yang berasal dari kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia dan mempunyai nilai. Hak Kekayaan Intelektual adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Semakin banyak Kekayaan Intelektual yang didaftarkan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, “ ujarnya mengawali paparan.

Sedangkan Hak Kekayaan Intelektual terbagi menjadi dua bagian yaitu Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. Salah satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual adalah Pengelolaan Royalti Lagu dan Musik di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta No.28 Tahun 2014. 

Sementara itu, penegakan hukum Hak Performing Rights dapat lebih dilakukan secara maksimal agar royalti musisi dapat dibayarkan. Namun tindak pidana pelanggaran hak cipta merupakan delik aduan, artinya jika tidak ada orang yang keberatan, maka itu tidak dapat diproses sebagai suatu pelanggaran atau kejahatan.

“Maka dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk memahami konsep dan konteks dari Undang-Undang Hak Cipta tersebut untuk membiasakan menghargai hasil karya orang lain, “ tandasnya.

Dalam hal Perlindungan Kekayaan Intelektual, ada 3 (tiga) jenis filosofi berdasarkan Teori Reward, Teori Public Benefit (Economic Growth Stimulus), dan Teori Hukum Alam (John Locke). Sedangkan Sistem Perlindungan Kekayaan Intelektual terbagi dua yaitu: Sistem Deklaratif, artinya tidak perlu atau harus didaftarkan, dan Sistem Konstitutif, atau harus dengan pendaftaran di Kemenkumham Paten, Merek, Design Industri.

Sementara soal penyelesaian sengketa, lanjutnya, dapat ditempuh dengan cara Litigasi yaitu penyelesaian di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Niaga. Sedangkan Non Litigasi, diselesaikan di Badan Arbitrase atau APS.

Namun dalam pengamatannya soal perlindungan HKI di Indonesia, masih belum berjalan efektif dan maksimal, sesuai aturan dan peraturan yang ada.

“Saya melihat, perlindungan HKI masih belum berjalan secara efektif dan maksimal sesuai Undang-undang. Data menunjukkan, kita itu nomor 10 di dunia sebagai pelanggar hak intelektual. Budaya hukumnya kurang menghargai hak kekayaan intelektual, dan pengaturan norma tidak ditegakkan,” tandasnya.

Sebab itu menurutnya, penegakan hukum perlindungan HKI harus terus diupayakan secara maksimal. Selain itu, sosialisasi perlindungan HKI harus dilakukan secara masif kepada para stakeholder, agar dapat mengakumulasi hak-hak intelektual yang berdampak terhadap pemilik hak cipta, dan mendukung pemberdayaan ekonomi, sesuai harapan UU. 

Sebagai pembicara kedua, Hj. Diana Dewi yang juga Ketua Umum DPP Asosiasi Industri Pengolahan Daging Skala UKM dan Rumah Tangga ini mengatakan, dirinya sangat mengapresiasi penyelenggaraan webinar yang mengangkat topik perlindungan hak intelektual.

“Saya sangat mengapresiasi penyelenggaraan webinar yang mengangkat topik perlindungan hak intelektual ini, yang juga membantu sosialisasi kepada masyarakat industri,” katanya mengawali paparannya.

Dikatakan Diana, dari sudut pandang ekonomi, pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat berkaitan erat dengan perlindungan HKI. Perlindungan terhadap HKI sangat dibutuhkan akibat perdagangan bebas, yang memungkinkan terjadinya pelanggaran hak cipta dan lain sebagainya. 

“Sebab itu, perlu ditegakkan perlindungan hak paten di dunia industri. Namun dalam penegakan hukumnya, dunia industri juga tidak bisa sendiri, dan perlu koordinasi yang lebih intensif dengan para aparatur penegak hukum,” tandasnya.

Menurutnya, penciptaan ide-ide baru lewat kreatifitas merupakan kekayaan intelektual. Dan untuk dunia industri, memberi dimensi nilai ekonomis yang dapat dijadikan sebagai bagian dari peningkatan ekonomi para pemilik hak intelektual maupun masyarakat. 

“Perlu adanya fasilitas pembiayaan berbasis kekayaan intelektual yang ketentuan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah. Skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual merupakan skema pembiayaan yang menjadikan kekayaan intelektual sebagai objek jaminan utang bagi lembaga keuangan agar memberikan pembiayaan kepada pelaku ekonomi kreatif, “ bebernya.

Sementara itu, Johnny William Maukar, yang juga pengacara ini menjelaskan bagaimana peran LMKN dan LMK sesuai Undang-undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UUHC), terkait perlindungan hak cipta. 

“Untuk melaksanakan hak-hak ekonomi khususnya Hak Performing Rights maka UUHC menetapkan adanya lembaga penghimpun dan pendistribusian Royalti  Lagu dan Musik yaitu LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) dan LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) unit organisasi terkait,” katanya mengawali paparan.

Dari pengalamannya selama ini, alumni FH UKI ini menilai, di Indonesia, kesadaran pengakuan terhadap hak cipta masih rendah, sehingga kurang menghargai hak penciptanya.

“Di kita ini kan, kalo bisa nggak harus bayar, mengapa harus bayar? Indonesia memang masih sangat rendah kesadaran atas penghargaan terhadap hak cipta. Kalah dengan Malaysia dan Singapura. Di Singapura, para pencipta lagu, musisi maupun pegiat seni, jauh lebih terlindungi hak-hak kekayaan intelektualnya, sehingga dapat merasakan manfaat nilai ekonomisnya,” tandasnya.

Sebab itu, ia menegaskan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif PAPPRI mencanangkan tahun 2021 sebagai tahun law enforcement untuk memaksa pembayaran royalti kepada pencipta musik. 

“Kami akan membangun gerakan lewat sosial media dan menempuh jalur hukum agar musisi di Indonesia mendapatkan hak royaltinya dari lembaga-lembaga yang menggunakan musiknya secara komersial. Musisi harus menjadi anggota dari Lembaga Manajemen Kolektif atau disingkat LMK untuk mendapat hak royalti atas lagu yang digunakan secara komersial. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional dan LMK merupakan lembaga penghimpun dan pendistribusian royalti lagu dan musik,“ tegasnya.

Dalam sesi tanya jawab, moderator Diana Napitupulu membaca beberapa pertanyaan yang sudah tersedia di chatt room webinar, dan memberi kesempatan kepada tiga orang penanya. Pertanyaan dijawab para nara sumber dengan menjelaskan lebih luas. (DANS)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama