Berkarakter Baik – Posisi Baik (Good Character – Good Job)


Oleh: Dr E Handayani Tyas 
(Dosen FKIP & Magister Administrasi Pendidikan Pascasarjana UKI Jakarta)


SERING kita mendengar istilah karakter dalam kehidupan sehari-hari. Ada yang menyebutnya sebagai watak atau perangai, ada pula yang menamainya dengan istilah budi pekerti. Penggunaan kata karakter memang sering dipakai secara bergantian dengan watak, sikap, sifat, perilaku, bahkan sering pula dikaitkan dengan etika, moral, kebiasaan seseorang atau pembawaan seseorang.

Mendidik seseorang untuk berkarakter baik perlu niat, minat, komitmen, keteladanan dan berbasis kompetensi, serta motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari seorang pendidik yang benar-benar mampu ‘menggarami’ dan menjadi ‘virus’, menciptakan ‘atmosfer’ yang mendukung/kondusif. Banyak peran afektif dan psikomotorik di samping ranah kognitif.

Pembelajaran seperti disiplin dalam segala hal atau dalam arti luas yang senantiasa harus diinternalisasikan ke dalam setiap diri individu pada strata apapun dan dimulai sejak dini usia. Kebiasaan melakukan tegur sapa, senyum, anggukan kepala dan semua nilai-nilai kebaikan, ketulusan, kejujuran, merupakan ‘core’ sebuah institusi pendidikan mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan Perguruan Tinggi.

Pendidikan karakter tidak hanya dikemas di dalam kelas, diajarkan di kelas, lalu diuji dan kemudian dinyatakan lulus, selanjutnya dianggap selesai. Apakah hasilnya sudah berubah? Jawaban pastinya adalah belum! Pendidikan karakter tidak cukup hanya dilakukan oleh guru/pendidik di sekolah namun, ke tiga wilayah tempat peserta didik berada, yaitu: oleh orangtua di rumah dan lingkungan tempat tinggal peserta didik yang kita kenal dengan Tri Pusat Pendidikan. Justru di tangan orangtua di rumah masing-masing itulah sebagai pendidik pertama dan utama peserta didik ‘ditempa’, diberikan contoh-contoh perbuatan baik, maka nantinya setelah ia menamatkan studi nya dan dimanapun ia bekerja/berusaha, baik negeri maupun swasta atau bahkan berwirausaha maka karakter tersebut akan mengikutinya, melekat pada diri individu tersebut.

Tidak ada istilah terlambat guna pembentukkan karakter seseorang. Proses pembentukkan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang khas yang ada pada orang yang bersangkutan sering juga disebut sebagai faktor bawaan atau faktor endogen atau nature dan oleh faktor lingkungan atau eksogen atau nurture. Rumah dan sekolah adalah tempat persemaian, ibarat lahan yang subur bagi tumbuhkembangnya potensi manusia. Karakter terbentuk melalui perjalanan hidup seseorang. Ia dibangun oleh pengetahuan dan pengalaman, serta penilaian terhadap pengalaman itu. Human character and Behavior adalah salah satu cara membentuk pribadi unggul.

Pembentukkan watak didasarkan lima sikap dasar, yaitu: (1) jujur; (2) terbuka; (3) berani mengambil risiko; (4) komitmen dan mau berbagi merupakan upaya membentuk seseorang menjadi profesional; (5) bermoral dan berkarakter. Hal ini akan berhasil jika dimulai dari diri sendiri, dalam keluarga (sebagai sel inti komunitas bangsa) dan akhirnya dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

Hendaklah keluarga menjadi ‘school of love’ (sekolah untuk kasih sayang, karena keluarga adalah unit terkecil dari sebuah masyarakat); sedangkan sekolah adalah institusi yang menyelenggarakan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise). Jika kelak kemudian individu tersebut terjun ke dunia kerja niscaya ia sudah terbiasa dengan karakter terpujinya. Betapa sering kita menyaksikan bahwa seseorang diterima kerja karena kemampuan knowledge nya atau kognitif nya bagus namun, pada akhirnya yang bersangkutan berhenti kerja karena sikap (attitude) yang tidak bagus; juga lama kelamaan nampaklah karakter yang sesungguhnya (karakter yang tidak terpuji) yang mengakibatkan  ia harus mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

“When wealth is lost – nothing is lost; when health is lost – something is lost; when character is lost – everything is lost”.

Betapa mirisnya mengamati kondisi sekarang ini, sebagai karyawan berkarakter baik pun bisa saja di PHK, apalagi jika ia ada kekurangan dalam hal karakter baik. Dunia pekerjaan itu layaknya orang menampi beras, yang tidak berisi (sekam) akan segera ‘terbang’ keluar karena seleksi. Baik itu seleksi dalam pekerjaan atau seleksi alam. Pemalas dan orang berkarakter buruk tentu akan terpinggirkan di antara mereka yang rajin, disiplin, jujur, berintegritas, ditambah segudang kompetensi lainnya yang dibutuhkan dunia kerja atau dunia usaha sampai kapanpun.

Oleh karena itu, memperbincangkan perlunya pendidikan karakter kini menjadi persoalan yang mendesak untuk memenuhi harapan pemerintah, yaitu kebutuhan akan manusia unggul yang siap bersaing dan bertanding, siap disejajarkan dengan bangsa-bangsa lain yang sudah maju di era revolusi industri 4.0 diperlukan manusia terpilih di bidangnya masing-masing.

Diperlukan pendidikan karakter, karena penulis memandang bahwa melalui pendidikan karakter itulah yang menjadi sentral setiap gerak, kegiatan, pemikiran, diskusi, praksis yang terjadi di setiap institusi pendidikan dapat ditelusuri kembali, direnungkan, dievaluasi, sehingga dapat ditemukan jalan perbaikan yang terbuka terus menerus ditingkatkan bagi keunggulan setiap pribadi yang mengaku dirinya sebagai Warga Negara Indonesia.

“Tak seorang pun dapat mendaki melampaui batas karakternya. Bila karakter seseorang kuat, orang percaya kepadanya, orang mempercayai kompetensinya, mengerahkan segenap kemampuannya, karena ia telah menerapkan hal-hal baik tersebut atas dirinya sendiri”.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama