Berpolitik Secara Sehat, Mencerahkan dan Mencerdaskan

Oleh : Dr Fory Armin Naway

(Dosen FIP Universitas Negeri Gorontalo)

Memang harus diakui, dalam politik selalu saja ada intrik, manuver dan bahkan ada pengkhianatan dan kemunafikan di sana. Namun bukan berarti fenomena itu menjadi sebuah pembenaran untuk mengambil kesimpulan yang bersifat men-generalisir, melainkan hal itu dapat dipandang sebagai perilaku “oknum” yang tidak semuanya menjadi “pakaian” para politisi. 

Dalam pentas politik nasional dan di daerah-daerah, tidak bisa dipungkiri, terdapat  indikasi praktek  segelintir “oknum politisi”  yang terkadang menampakkan wajah politiknya yang culas, bermental munafik dan pengkhianat. Di depan ia nampak baik, tapi diam-diam menusuk dan mengkhianatai rekan dan sahabatnya satu partai dari belakang. 

Tidak perlu jauh-jauh, dalam perhelatan Pilkada misalnya, terendus fenomena adanya oknum politisi yang seakan menjadi “duri dalam sepatu”, secara kepartaian ia setuju, mengangguk-angguk, bersahabat  dan menyatakan siap bekerja keras memenangkan calon yang diusung oleh partainya, namun secara diam-diam, sembunyi-sembunyi dan rahasia,  ia justru bergerak secara massif memenangkan calon lainnya  yang tidak diusung oleh partainya. Ia seakan bermain “dua kaki”, berspekulasi dan hanya berorientasi pada kepentingannya. 

Politisi jenis ini, meminjam istilah orang Manado “tidak boleh pake”, ia bukan politisi ideal, bukan pula politisi yang diharapkan. Bagaimana mungkin, sahabatnya saja dikhianati, satu partainya saja diingkari dan didzolimi secara culas, bagaimana dengan rakyat yang tidak dikenalnya. Yang lebih menyedihkan lagi, jika praktek politik culas seperti itu, (Semoga saja ini tidak menggejala di Gorontalo), dilakoni misalnya, oleh wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif  

Ada pepatah yang mengatakan,“Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga”, “Sepintar-pintarnya menyembunyikan bangkai busuk, tetap akan tercium juga”, yakinlah bahwa jika ada politisi yang “bermuka dua”, ambisius dan merasa tidak bersalah mengkhianati rekan dan sahabatnya sendiri, karena merasa melakukan pengkhianatannya  secara diam-diam, sungguh itu sebuah kebodohan nyata.  

Dalam tataran ideal, jika ada yang tidak disukai dalam internal  partai politik misalnya, atau ada yang tidak berkenan baginya, maka shanya ada 2 pilihan, keluar dari partai politik itu, atau tetap bertahan sembari menyelesaikan persoalan yang ada secara taktik dan komunikatif.  

Itu baru disebut politisi sejati, yakni politisi yang memiliki daya nalar, naluri dan nurani sebagai politisi yang berkualitas. Semoga saja, dalam konteks lokal Gorontalo, tentu kita semua berharap , bahwa sebagai daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan budaya, maka praktek-praktek politik culas, munafik dan bermental pengkhianat, tidak akan lahir dan bermunculan di bumi Serambi Madinah. 

Bagaimanapun, model politisi seperti itu, selain hanya akan mengundang kegaduhan politik, juga tidak mendidik. Padahal, seorang politisi di manapun, tidak hanya dituntut piawai, cerdas dan senantiasa berjuang serta berpihak kepada masyarakat, tapi juga diharapkan menghadirkan sisi lain yang senantiasa mengedukasi, siap menghadirkan nilai-nilai keteladanan,  tampil menjadi guru yang pembelajar dan membelajarkan politik secara konseptual dan kontekstual kepada khalayak publik.

Itulah yang disebut dengan tanggung jawab pendidikan politik. Artinya, politisi di manapun,  memiliki tanggung jawab moral memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Pendidikan politik disebut pula sebagai political forming atau Bildung. Disebut “forming” karena terkandung intensi untuk membentuk insan politik yang menyadari status atau kedudukan politiknya di tengah masyarakat. Dan disebut “Bindung” (pembentukan atau pendidikan diri sendiri), karena istilah tersebut menyangkut aktvitas : membentuk diri sendiri, dengan kesadaran penuh dan tanggung jawab sendiri untuk menjadi insan politik. (Kartini Kartono, 2009: 63)

Lebih jelasnya lagi, insan politik adalah mereka yang menjunjung tinggi etika dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, bertindak dan bermanuver politik secara wajar dan normatif, tidak membenci tapi mencinta, tidak menyakiti tapi selalu menyadari hakekat dirinya sebagai hamba Tuhan yang bertanggung jawab. 

Dr. Nasiwan dalam Makalahnya, Fungsi dan Peran Pendidikan Politik dalam Kehidupan Bermasyarakat, mengatakan, pendidikan politik tidak harus menonjolkan proses kultivasi individu menjadi “intelektual politik” yang bersinggasana dalam menara gading keilmuan, atau menjadi pribadi kritis dan cerdas “yang terisolasi” dari masyarakat lingkungannya. Akan tetapi lebih menekankan relasi individu dengan individu lain, atau individu dengan masyarakatnya di tengah medan sosial; dalam satu konteks politik, dengan kaitannya pada aspek-aspek sosial-ekonomi-budaya; di tengah situasi-situasi konflik yang ditimbulkan oleh bermacam-macam perbedaan, atau oleh adanya pluriformitas (kemajemukan budaya). (Kartini Kartono, 2009: 63).

Artinya, menjadi insan politik yang pembelajar dan membelajarkan, tidak harus berdiri di muka publik, berorasi dan beretorika secara teoritis, layaknya  guru berdiri di muka kelas, melainkan, seorang insan politik, adalah mereka yang secara praktek, mencerminkan pribadi yang lurus, menggunakan nalar, naluri dan nurani kemanusiaannya dalam bertindak dan bersikap, tetap sabar dan istiqomah dalam koridor konstitusi serta  mengedepankan aspek moralitas ketika menghadapi lawan-lawan politiknya. Seorang insan politik atau politisi sejati, adalah mereka yang menolak adagium “persetan dengan moral” melainkan mereka yang menjunjung tinggi politik yang sehat, mencerahkan dan mencerdaskan. Semoga. (***) 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama