Lulus Sarjana Jangan Mencari Kerja, Tapi Ciptakan Lapangan Kerja!


Oleh: Dr E Handayani Tyas 

(Dosen FKIP & Magister Administrasi Pendidikan Pascasarjana UKI Jakarta)
Lulus kuliah sebaiknya menciptakan lapangan kerja. Banyak sarjana yang ingin bekerja menjadi karyawan, ternyata tidak diterima. inteligensi tinggi harus diikuti soft skill yang baik dan karakter yang baik seperti jujur, rajin, tekun, kreatif dan inovatif.

BEGITU banyak pencari kerja/angkatan kerja setiap tahunnya, jumlah pencari kerja berjalan seperti deret ukur, sementara lowongan pekerjaan yang tersedia sebatas deret hitung; jadi mana mungkin terjadi keseimbangan, sampai kapan hal seperti ini berlangsung? Masalah mencari dan menemukan pekerjaan betul-betul merupakan masalah krusial (genting/gawat) yang harus segera diselesaikan sebab, jika tidak maka akan terjadi penumpukan ‘pengangguran terdidik’ di negara ini.

Sebagaimana kita (pendidik) tahu bahwa timbulnya masalah adalah terjadinya gap (jurang) antara harapan dan kenyataan, dan hal ini harus segera ditangani/ diselesaikan, setidaknya diperkecil sebab jika tidak maka akan selalu terjadi ketidakamanan di mana-mana. Angka kelulusan di setiap tingkat, terutama sarjana strata satu di negeri ini cukup banyak, namun, benarkah kalau sudah menyandang gelar sarjana lalu dengan mudah memperoleh pekerjaan? Sementara dengan mudah orang mengatakan, kalau sudah lulus sarjana jangan mencari kerja tapi menciptakan lapangan kerja!

Teman saya, seorang manajer mengaku bahwa tidak mudah bahkan sampai potang-panting memantau lulusan sejumlah perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, karena perusahaan yang dipimpinnya sangat memerlukan tenaga kerja yang mumpuni, jujur, disiplin, berintegritas, bertalenta, kompeten (terutama di bidang teknologi informasi/IT). Perusahaan ‘rela’ untuk tidak memandang lagi asal usul perguruan tinggi calon karyawannya dan bahkan setelah melewati beberapa tahapan test dan wawancara sebagaimana persyaratan yang diberlakukan (seleksi), kemudian barulah mereka dinyatakan diterima (tentu dengan menjalani masa percobaan).

Selanjutnya, mereka diberi pelatihan (Diklat), dididik dan dilatih keterampilan sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Setelah dinyatakan lolos, mereka dipenuhi hak-haknya sebagai karyawan. Singkat cerita perusahaan telah berbuat ‘the right man on the right place’. Akan tetapi menurut hemat penulis, itu saja belum cukup dan ingin rasanya penulis menambahkannya dengan ‘good character’, because attitude is everything. Lihat saja, begitu banyak orang diterima kerja karena knowledge (IQ)  nya tinggi, mungkin saja 120 – 130, namun akhirnya mereka berhenti kerja karena hal-hal seperti EQ dan AQ nya kurang.

Menurut Howard Gardner, pada diri seseorang itu ada IQ (Inteligensi Quotion/pengetahuan); EQ (Emotional Quotion/kecerdasan emosional); AQ (Advercity Quotion/ketahanmalangan); ketiganya itu harus ada pada diri seseorang sehingga ia dapat disebut cakap. Pintar secara pengetahuan tapi tidak dapat mengendalikan emosi misalnya atau pintar/cerdas dan dapat mengelola emosinya dengan baik namun AQ nya kurang, tidak ulet atau tidak tahan banting, mudah menyerah. Belum lagi hal komunikasi, kordinasi, kolaborasi, interpersonalnya/inteligensi sosialnya kurang bagus, tidak bisa bekerja dalam tim; merupakan faktor-faktor penentu keberhasilan seseorang.

Memang tidak ada manusia yang sempurna namun, setidaknya kriteria-kriteria sebagaimana penulis sebutkan di atas perlu dipunyai seseorang kalau ingin disebut sebagai generasi penghuni masa depan. Tidak mudah tapi itu nyata dibutuhkan, generasi milenial  membutuhkan pengembangan karir, mereka akan merasa ‘gerah’ jika mengalami hal-hal yang stagnan, bahkan sebagian mereka maunya instan (tidak sabaran). Mereka sangat antusias mempelajari hal-hal baru, sangat mandiri sehingga kadang-kadang terkesan ‘susah diatur’, benarkah demikian?

Mempersiapkan SDM (Sumber Daya Manusia) untuk senantiasa mampu berinovasi adalah tuntutan zaman kini. Oleh karena itu, para pendidik hendaknya terus melakukan terobosan-terobosan (kreatif dan inovatif) dalam mengemas dan menyajikan pembelajarannya, sehingga mudah dicerap peserta didiknya dan tentunya tetap bisa membangun gairah (memotivasi). Di sisi lain timbul pertanyaan, mampukah para pencari kerja itu memenuhi semua atau setidaknya sebagian persyaratan sebagaimana telah diuraikan di atas?  Kita harus siap ‘bertanding’ dan ‘bersanding’ (to compete and to corporate) dalam menghadapi masa kini kalau mau eksis.

Kurikulum program pendidikan hendaknya terus diarahkan untuk mendukung kompetensi yang dibutuhkan para pencari kerja, tidak sebatas yang terkait dengan bidang informatika saja. Ketiga ranah pendidikan harus senantiasa diasah dan diasuh secara terus menerus (kognitif – afektif – psikomotorik) secara totalitas. Kemampuan akademis memang dibutuhkan di samping keterampilan pribadi, serta kemauan untuk selalu belajar hal-hal baru, karena pada hakekatnya manusia itu multi talenta.

Berikut Howard Gardner menuliskan bahwa ada 7 kecerdasan manusia, yaitu:  (1) Kecerdasan Logika; (2) Kecerdasan Verbal; (3) Kecerdasan Visual; (4) Kecerdasan Musical; (5) Kecerdasan Kinestetical; (6) Kecerdasan Intrapersonal; (7) Kecerdasan Interpersonal. Kemudian seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka dikembangkanlah pendapatnya yakni dengan Kecerdasan Natural dan kemudian dinyatakanlah bahwa setiap manusia itu memiliki Kecerdasan Ganda (Multiple Smart). Luar biasa ciptaan Tuhan yang namanya manusia ini, oleh karena itu, wahai manusia siaplah belajar terus (lifelong learning/lifelong education). Tiada hari tanpa belajar dan jadilah manusia pembelajar seumur hidup. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama