Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Kepala Lembaga Peradaban Luhur (LPL)/Sekretaris RMI-NU DKI Jakarta
DI
awal tahun 2021, dari Januari sampai Februari awal, bencana terjadi di
berbagai wilayah di Indonesia terasa bertubi-tubi. Dari jatuhnya
pesawat Sriwijaya Air, gempa bumi, tanah longsong dan banjir bandang.
Belum lagi bencana pandemi Covid-19 yang belum juga usai, terlebih
Indonesia belum selesai melewati gelombang pertama pandemi ini seperti
negara-negara lain. Dan bencana pandemi Covid-19 telah menjadi induk
bencana yang telah melahirkan bencana lainnya: PHK, pengangguran, dan
bertambahnya kemiskinian. Walhasil, bangsa ini, sampai di awal bulan
Februari ini, tengah berada di pusaran bencana! Lalu, di mana peran
ulama? Apa hanya cukup memberikan taushiyah?
Sebuah
kegiatan pelatihan untuk para pelatih, training of trainers (TOT)
Pendampingan Tokoh Agama dalam Penanggulangan Bencana-Dukungan
Psikososial yang saya ikuti selama tiga hari telah memberikan wawasan
baru kepada para peserta tentang peran tokoh agama, ulama, yang sangat
penting ketika terjadi bencana, terutama dalam tindakan psikososial
kepada para penyintas atau korban bencana.
Kegiatan
TOT yang diselenggarakan oleh Wahana Visi Indonesia yang didukung oleh
USAID ini menghadirkan narasumber yang sudah berpengalaman dalam
menangani korban bencana, ulama, psikolog dan aktivis yang kegiatan ini
bertujuan agar peserta dapat melakukan tindakan psikososial jika terjadi
bencana. Pengertian psikososial sendiri adalah hubungan dinamis antara
aspek psikologi dan sosial, dimana masing-masing saling berinteraksi dan
mempengaruhi secara berkelanjutan. Sedangkan tindakan psikososial
adalah memberikan bantukan secara psikologi kepada individu dan
komunitas atau kelompok.
Tindakan psikososial
ini penting dilakukan ketika terjadi bencana dan pasca bencana karena
pihak yang paling menderita dari sebuah bencana adalah penyintas, korban
yang hidup atau keluarga yang ditinggalkan dari bencana itu sendiri
yang kondisi psikologinya sangat terdampak bahkan sampai tingkat trauma
dan depresi. Para penyintas ini tidak hanya memerlukan kebutuhan dasar
pangan, sandang dan papan, tetapi juga memerlukan pemulihan psikologis
melalui tindakan psikososial oleh pihak yang memiliki kompetensi. Dari
hasil survey yang disampailan pada TOT tersebut telah membuktikan bahwa
peran tokoh agama, ulama, sangat diperlukan dan sangat membantu korban
bencana yang masih hidup untuk memulihkan kondisi psikologi mereka walau
untuk pemulihan psikologi karena trauma dan depresi memang tidak dapat
ditangani oleh ulama, tetapi harus ditangani oleh psikolog atau
psikiater.
Dalam tindakan psikososial, ulama
dapat melakukan Dukungan Psikologi Awal (DPA). DPA adalah serangkaian
keterampilan yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif stres dan
mencegah timbulnya gangguan kesehatan. Karenanya, DPA bisa dilakukan
oleh bukan oleh konseling profesional, bisa dilakukan oleh tenaga non
ahli. Namun, untuk dapat melakukan DPA ini, ulama harus memiliki
kompetensinya. Minimal, ada delapan kompetensi, yaitu: Pertama, dapat
memberikan pemahaman , menginterpretasikan, terhadap kitab suci secara
relevan dan tanggung jawab.
Kedua,
memiliki kepemimpin yang akuntabel dan berintegritas. Mampu
mempertanggungjawabkan setiap interaksi yang dia lakukan. Andanya
keselararan antara yang dia pikirkan, ucapkan dan tindakan yang dia
lakukan. Dia menguasai inforrmasi dan mampu memberikan informasi di atas
mimbar dan media lainnya tentang kebencanaan.
Ketiga, pemahaman dasar tentang kebencanaan. Seperti tahu tentang apa itu bencana? Apa itu fase-fase kebencanaan?
Keempat,
kesiapsiagaan yang komperhensif, yaitu kemampuan tokoh agama dalam
mengindentifikasi sumber-sumber kesiapsiagaan bencana, seperti hal-hal
yang mendasar yang dibutuhkan masyarakat, memberikan peringatan, dan
lain-lain, dan dapat memberikan edukasi tentang bencana kepada
masyarakat.
Kelima, interaksi masyarakat yang
bermakna, yaitu kemampuan melakukan mobilasi, menghubungan sumber daya
dari komunitas agama kepada pihak-pihak lain yang terkait, dan memiliki
Interaksi masyarkat yang bermanfaat. Kemampuan menjadi penghubung:
mempunyai nomor kontak BNPB, Camat, Lurah, RW dan lain-lain.
Keenam,
pemahaman srategi dukungan psikososial. Tokoh agama bukanlah sosok yang
dapat memenuhi semua kebutuhan korban bencana, tetapi tokoh agama dapat
memberikan dukungan psikososial kepada korban, penyintas keluarga dan
atau masyarakat.
Ketujuh, memahami Dampak Psikologi Awal (DPA) dan aplikasinya.
Kedelapan,
menguasai pemahaman tentang kerentanan. bahwa penyintas dapat
mendapatkan dampak negatif dari bencana, sangat terpukul, stress bahkan
depresi. Ulama dapat melakukan tindakan agar penyitas diajak untuk
mengingat Allah SWT, memperbanyak dzikir dan lain-lain.
Akhir
kalam, tentu kedelapan kompetensi ini dapat dimiliki oleh ulama melalui
sebuah pendidikan dan pelatihan, seperti melalui TOT yang
diselenggarakan oleh Wahana Visi Indonesia yang didukung oleh USAID ini.
Dan diharapan TOT seperti ini dapat diselenggarakan lebih banyak dan
lebih intens lagi oleh Wahana Visi Indonesia untuk alim ulama di
berbagai daerah di Indonesia yang rawan bencana. Terima kasih,
Jazaakumullaah khairan, Wahana Visi Indonesia! ***
Tags
Opini