Kemenkumham Bukan Pengadilan Penentu Nasib Partai Demokrat


Oleh: Saiful Huda Ems

(Lawyer dan Ketua Departemen Komunikasi dan Informasi Partai Demokrat kepemimpinan Dr. Moeldoko)


Setelah mengikuti konferensi pers secara virtual dan mendengar keputusan Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham) R.I, atas penolakan permohonan pengesahan KLB Partai Demokrat Deli Serdang Tanggal 5 Maret 2021, beberapa wartawan langsung menghubungi saya melalui telpon dan pesan Whats App (WA), yang meminta komentar saya atas keputusan Kemenkumham tersebut.

Perlu diketahui terlebih dahulu, sebagaimana telah diberitakan oleh berbagai media online dan Stasiun-stasiun Tv, Menteri Hukum dan HAM Pak Yasonna Laoly yang didampingi oleh Menko Polhukam Pak Mahfud MD telah menyatakan dalam konferensi pers virtualnya Rabu (31/3) bahwa, "Masih terdapat beberapa kelengkapan yang belum dipenuhi antara lain Perwakilan DPD dan DPC. Dengan demikian, Pemerintah menyatakan permohonan pengesahan KLB Deli Serdang Tanggal 5 Maret 2021 ditolak".

Pak Menteri Yasonna Laoly menjelaskan lebih lanjut, dari pemeriksaan dan verifikasi tahap pertama, Kemenkumham menyampaikan sempat mengirim surat Tanggal 19 Maret 2021 yang intinya meminta melengkapi kelengkapan dokumen, namun kelengkapan tersebut belumlah dipenuhi. Dengan keputusan ini, maka pemerintah tetap menganggap Kepengurusan Partai Demokrat di bawah Ketum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai yang sah. Lalu bagaimana dengan komentar saya?:

Sejujurnya sejak awal mula saya sesungguhnya tidak terlalu akan mempersoalkan terhadap apa yang akan diputuskan oleh Kementrian Hukum dan HAM mengenai pengesahan Kepengurusan Partai Demokrat hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang. Mau diterimah ataupun ditolak sebenarnya tidak akan terlalu berpengaruh bagi kedua kubu yang bertikai. Sebab pokok penuntasan persoalan ini bukanlah di Kementrian Hukum dan HAM, melainkan di Pengadilan (PTUN).

Jikapun pihak kami (Partai Demokrat versi KLB yang berada di bawah kepemimpinan Pak Dr. Moeldoko) menang, Partai Demokrat kubu AHY pun akan melakukan gugatannya ke PTUN. Demikian juga ketika pihak kami yang ditolak oleh Kementrian Hukum dan HAM seperti sekarang, maka pastinya kami akan terus melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan di PTUN. Olehnya, Keputusan Kementrian Hukum dan HAM hanyalah babak awal dari perjuangan demokrasi Partai Demokrat yang berada di bawah pimpinan Pak Dr. Moeldoko.

Kementrian Hukum dan HAM bukanlah pengadilan yang dapat memutuskan menang atau kalahnya "Mujahid dan Mujtahid Demokrasi". Kementrian Hukum dan HAM bukanlah lembaga penentu terakhir bagi kelanjutan nasib para Pejuang Demokrasi yang terus berupaya mencari dan memperjuangkan keadilan. Maka kami tak akan pernah surut berjuang demi terjaganya marwah Negara Republik Indonesia sebagai Negara Hukum yang berpijak pada nilai-nilai Demokrasi dan bukan Dinasti.

Pintu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) masih terbuka lebar bagi kami untuk memasukinya dan melayangkan gugatan demi memperoleh keadilan dan kepastian hukum. Dan sebelum ada keputusan dari PTUN tidaklah elok bagi kubu yang telah menerima pengesahan dari Kementrian Hukum dan HAM bertepuk dada, apalagi fakta telah menunjukkan berbagai kenyataan bahwa terdapat banyak pelanggaran UU Partai Politik yang terdapat dalam AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Kami juga sangat memahami, betapa riskannya Kementrian Hukum dan HAM dalam memutus perkara ini, sebab haqul yakin Kementrian Hukum dan HAM tentunya juga sangat menyadari, bahwa ia bukanlah lembaga peradilan (Yudikatif). Jika Kementrian Hukum dan HAM memenangkan kepengurusan Partai Demokrat kubu Pak Dr. Moeldoko ia akan dicurigai sebagai intervensi Pemerintah atas terjungkalnya AHY dari Ketum Partai Demokrat. Karena itu Kementrian Hukum dan HAM sesuai prediksi saya tidak akan menerima kepengurusan dari pihak kami, namun akan tetap mensahkan kepengurusan pihak AHY. 

Serba kikuk memang bagi kami khususnya saya yang terus menerus memantau persoalan ini. Ingin menyalahkan Kementrian Hukum dan HAM tapi saya tidak tega, dan saya selalu berusaha untuk tidak mengikuti cara-cara AHY dan SBY yang brutal dan selalu menyalahkan kalau sedang kalah. Contoh saja misalnya kalau saya mau mempersoalkan Keputusan Kementrian Hukum dan HAM yang tidak terlebih dahulu memanggil kedua belah pihak yang bertikai untuk didengar pendapatnya sebelum Kementrian Hukum dan HAM menjatuhkan putusannya. Bukankah ini sebuah pelanggaran Undang-undang Administrasi Pemerintahan (UUAP)?

Namun sudahlah, keputusan dari Kementrian Hukum dan HAM sudah dilakukannya, dan kami semua sudah sangat menyadari bukan di Kementrian Hukum dan HAM medan pertarungan tersengit dan menentukan kita untuk memperoleh keadilan dan kepastian hukum, melainkan sebagaimana yang saya kemukakan di awal, bahwa medan pertarungan hukum terakhir dan paling menentukan itu ada di PTUN. Akhirnya, apapun keputusan dari Kementrian Hukum dan HAM, kami tetap mengucapkan beribu terimakasih pada (khususnya) Pak Yasonna Laoly dan Pak Mahfud MD, meskipun kami harus tetap melanjutkan perjuangan hukum dan demokrasi ini ke PTUN.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama