Suami Jadi Tahanan Titipan Kejari di Polres Kotim : Tiga Emak-emak Ngadu ke Propram Polri

Dari kiri Korwil GJL Jabodetabek, Jansen Leo Siagian, para istri petani sawit dan Kadiv. Humas GJL DKI Jakarta, S Tete Marthadilaga (paling kanan). 
JAKARTA (wartamerdeka.info) - Tiga ibu rumah tangga nekat pergi ke Jakarta untuk mengadukan nasib suami mereka yang diduga menjadi korban kriminalisasi dan mafia tanah serta ditahan di Polres Kotawaringin Timur (Kotim), Polda Kalimantan Tengah. Tragisnya, ketiga petani sawit yang ditahan itu tidak boleh dijenguk keluarganya dan hanya diperbolehkan video call.

Ketiga emak-emak tersebut masing-masing Ny. Mega Puspita Arpikal (30), Ny. Wati Yasin (37) dan Ny. Jamilah Amirusin (48) tiba di Jakarta, Senin (21/11/2022) sore, langsung mengadukan nasibnya ke kantor Sekretariat Gerakan Jalan Lurus (GJL) di kawasan Jembatan III, Pluit, Jakarta Utara.

Menurut penuturannya, suami mereka ditahan terkait aksi pemortalan jalan di kawasan perkebunan kelapa sawit pada bulan Juni 2022 yang lalu. Saat itu ada 12 petani sawit yang diperiksa oleh polisi. Sedangkan laporan aksi pemortalan juga berbeda dengan titik lokasi pemortalan yang sebenarnya di luar lahan HGU. Anehnya pula, lokasi pemortalan yang dilaporkan juga masih dalam sengketa antar perusahaan sawit di pengadilan.

Dalam kurun waktu beberapa pekan, proses penyidikan dilanjutkan kembali dan mereka dinaikkan statusnya menjadi tersangka dan diwajibkan lapor seminggu dua kali di Polsek setempat. Ketiga tersangka, Arpikal (40), M. Yasin (40) dan Amir Husin (50) dipersangkakan pasal 368 junto 55 atau 368 ayat 1 junto 55 pada tindak pidana perampasan dan pengancaman. Padahal sebelumnya dikenakan pasal 107 ayat 1 Undang-undang nomor 39 tahun 2014 mengenai Perkebunan dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara. Sedangkan perubahan pasal itu pun tidak diberitahukan kepada para tersangka.

Namun tanpa disangka, ketiga suami emak-emak ini dipanggil ke polsek setempat. Selang beberapa saat datang 4 anggota dari Polres Kotawaringin Timur.  Ketiga petani sawit ini diberitahukan bahwa kasusnya dilimpahkan ke polres dan ketiganya digelandang ke Kejaksaan Negeri. 

Begitu dari kejaksaan, ketiga tersangka diberitahukan surat penahanan. Maka ketiga petani sawit ini, pada tanggal 10 November 2022 langsung digiring ke Mapolres Kotawaringin Timur dan dijebloskan ke sel penjara dengan status tahanan titipan kejaksaan.

Ternyata oh ternyata, singkat cerita, ketiga tersangka sudah dinyatakan P.21 dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kotawaringin Timur. Penyerahan tahanan pun dilakukan dan ketiganya menjadi tahanan titipan kejaksaan di Polres Kotim.

Menurut pengakuan Ny. Mega Puspita selama suaminya masuk dalam sel tahanan, mereka tidak diperbolehkan menjenguk suaminya.

"Ngantar makanan juga cuma dititipkan di Pos Jaga. Saya hanya diperbolehkan komunikasi lewat video call seminggu dua kali," ujar Ny. Mega.

Nasib serupa dan lebih memprihatinkan juga dialami Ny. Wati dan Ny. Jamilah.  Mereka berdua tidak bisa menemui atau menjenguk suaminya. Bahkan, tidak bisa melihat barang hidung suaminya di sel tahanan. Sedangkan untuk video call terkendala sinyal di tempat tinggalnya.

"Di tempat tinggal kami tidak ada sinyal sehingga kami tidak bisa komunikasi. Ketika mau menjenguk pun kami diusir oleh petugas jaga. Kok, suami saya diperlakukan seperti teroris,.?!" keluh kedua Emak-emak ini kepada media ini seusai mengadu ke Div Propam Mabes Polri, Selasa (22/11/2022). 

Sementara itu menurut Edy yang mendampingi ketiga Emak-emak ini bahwa tuduhan tindak pidana dinillai janggal.  Penetapan pasal semula pasal 107 yang menyangkut perkebunan, tiba-tiba ada penambahan di pasal 368 dengan tuduhan pengancaman dan perampasan.

Masih menurut Edy, laporan lokasi aksi pemortalan ke polisi juga tidak sesuai dengan titik aksi pemortalan di luar lahan HGU. Sedangkan titik aksi permortalan yang dilaporkan dialihkan justru merupakan lokasi yang masih sengketa antar perusahaan sawit di pengadilan.

"Soal lokasi atau titik pemortalan yang dipindahkan sebenarnya juga masih di lokasi lahan yang masih bersengketa di pengadilan. Jadi ada rekayasa dalam proses hukum ini," ungkap Edy.

Kedatangan tiga emak-emak itu ke Jakarta, lanjut Edy,  yakni untuk mencari keadilan terhadap suami mereka. Pihak GJL Jabodetabek akan mendampingi para korban mengadu ke Kemenko Polhukam, Kejagung, Komnas HAM, Kemenpolhukam dan Div. Propam Mabes Polri.

Sementara itu, Js Leo Siagian, Korwil GJL Jabodetabek yang didampingi Kepala Divisi Humas GJL DKI Jakarta, S. Tete Marthadilaga mengaku langsung berkomunikasi dengan Ketum GJL, Riyanta SH untuk menyikapi permasalahan tersebut yang menyangkut kader GJL di Kalteng.

Kepada Ketum dan Sekjen GJL, Leo menjelaskan bahwa setelah membaca dan  membahas kronologis kasus penangkapan  3 kader GJL Kalteng -- KSB nya, Arpikal, Amir Husin dan M Yasin, yang baru saja dikukuhkan oleh Ketum DPN GJL pada tanggal 7 Nopember 2022 yang lalu, dan setelah ia bertemu dan bercerita langsung dengan Ny. Mega, Ny Jamilah dan Ny. Wati -- isteri dari 3 kader GJL Kalteng itu disimpulkan bahwa penangkapan itu adalah merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap organ GJL.

Seperti diketahui, kasus ini terjadi berawal pada bulan Juni 2022, mereka bersama ratusan warga masyarakat melakukan pemblokiran jalan di kebun kelapa sawit. Tetapi justru mereka bertiga yang ditangkap polisi pada 10 Nopember 2022. Padahal, mereka baru saja dikukuhkan sebagai pengurus DPW GJL Kalteng pada tanggal 7 November 2022. Untuk itu, Kader GJL tidak boleh diam atas kasus Kalteng ini dan harus dilawan.

Leo juga berharap agar Kapolri dan Jaksa Agung berkenan mengusut dan menindak Kapolres dan Kajari Kotawaringin Timur, Kalteng itu,. Mereka layak dicopot atau diganti, karena mereka tidak mampu jadi pengayom dan pelindung rakyat kecil.

"Jangan mengulang lagi penegakan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Jangan pula hanya membela pengusaha yang berani bayar, sedangkan hak-hak para petani terabaikan, " tegas Leo.

Lanjut Leo, sejak ke 3 orang kader GJL itu ditangkap dan kini dijebloskan ke sel tahanan di Polres Kotim, Kalteng, hingga saat ini isteri mereka tidak boleh bertemu dan tidak diperkenankan menjenguk suaminya di tahanan. Mereka cuma boleh berkomunikasi via vidio call setiap hari Senin dan Kamis. Tidak boleh dikirimi rokok, hanya boleh nasi bungkus saja, itupun harus dititip di pos penjagaan, tidak boleh jumpa dengan suaminya.

"Seperti tahanan teroris saja layaknya," ujar Leo Siagian yang mantan aktivis Eksponen Angkatan '66 itu. 

Untuk mengklarifikasi dugaan kriminalisasi kepada ke tiga orang petani sawit yang dijadikan tersangka, tim redaksi belum berhasil menemui ataupun menghubungi aparat yang terkait baik Kejari  Kotawaringin Timur maupun Polres Kotim. (***)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama