Akhir Dari Kontroversi Pembaharuan KUHP


Oleh: Saiful Huda Ems (SHE)
- Lawyer dan Pengamat Politik.

Bangsa Indonesia sudah sewajarnya patut bersyukur, karena telah berhasil melewati perdebatan panjang soal rencana pembaharuan KUHP. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang pada awalnya mendapat respon pro dan kontra dari tokoh-tokoh masyarakat, pada akhirnya telah disepakati bersama oleh DPR untuk menjadi Undang-Undang, pada hari ini, Selasa 6 Desember 2022, melalui rapat paripurna. 

Dengan semangat pembaharuan Hukum Pidana dan sistem pemidanaan modern yang mengusung keadilan korektif, keadilan rehabilitatif dan keadilan restoratif, yang menurut team sosialisasi RKUHP ini sebagai respon terhadap asas legalitas yang diterapkan secara kaku, RKUHP yang telah disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang ini, telah menjadi jalan tengah dan terobosan baru untuk merajut Kebhinekaan Indonesia yang multi agama, multi etnis dan multi kultural. 

Ada yang menarik dari RKUHP yang sudah disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang ini, yakni yang pada awalnya RKUHP ini dianggap akan melegalkan Perzinahan dan LGBT, pada kenyataannya tidaklah 100 % demikian. Perzinahan dan LGBT tetaplah bisa dianggap sebagai tindak pidana, selama perbuatan itu telah memenuhi unsur-unsur tertentu, yang di antaranya adalah adanya unsur pemaksaan, unsur kekerasan, unsur publikasi (misal dilakukan secara terbuka atau di muka umum) dll. Sanksi Pidana juga tidak bisa dihukum sampai 15 tahun seperti banyak hoax yang berseliweran di medsos selama ini. 

Perzinahan tergolong sebagai delik aduan, dimana pelaku baru dapat diproses hukum apabila ada aduan dari pihak yang dirugikan, seperti suami/istri bagi yang terikat perkawinan atau orang tua/anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. Dan aduan atau pelaporan ini bisa ditarik kembali sebelum proses perkara di pengadilan belum dimulai. Ini artinya bahwa tidak sembarang orang, misalnya Hansip, Satpam, Office Boy atau para pegawai hotel, pegawai desa/kelurahan bisa sembarangan melaporkan orang yang melakukan perzinahan. Pelaku perzinahan dihukum penjara paling lama 1 tahun atau dikenai hukuman pidana denda kategori II. (Pasal 411 ayat (1) RKUHP).

Sedangkan untuk perbuatan yang tergolong LGBT, menurut pandangan saya dapat dimasukkan dalam Pasal Percabulan yang berpatokan pada UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Di pasal ini, meskipun tidak disebut LGBT secara tegas, namun unsur-unsur yang sama dengan perbuatan yang berkategori LGBT ini masuknya di ranah privat, dimana selama tidak ada unsur kejahatan pemaksaan, kekerasan atau ancaman kekerasan dan dilakukan di muka umum atau dipublikasikan, maka pelakunya tidak bisa dipidana. Namun jika percabulan ini dilakukan dengan pemaksaan, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dipublikasikan dll. ini bisa dipidana penjara maksimal 9 tahun. Jadi perkawinan sesama jenis yang biasa dilakukan oleh Kaum Gay maupun Lesbian di negara-negara luar, tidaklah mungkin dapat disahkan di negeri yang menganut Demokrasi Pancasila ini. 

Di dalam RKUHP yang baru akan di berlakukan tiga tahun kemudian setelah disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang ini, menurut team sosialisasinya, telah mengatur pembaruan hukum, antara lain alternatif sanksi pidana selain penjara yaitu pidana denda, kerja sosial dan pengawasan, kemudian tujuan dan pedoman pemidanaan, pergeseran paradigma dalam pidana dan pemidanaan untuk penjatuhan sanksi pidana yang lebih humanis dan bermartabat, serta pemaafan (pengampunan) oleh hakim (judicial pardon).
 
Atas dasar itulah, RKUHP mengatur keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan, antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia, antara tindak pidana dan sikap batin pelaku, yang semuanya berpedoman pada ideologi Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UUD 1945. 
 
Keseimbangan itu sekaligus memberikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berdemokrasi dan juga ruang privat masyarakat. Meski demikian, kebebasan tersebut juga diwujudkan secara bertanggung jawab, menghormati nilai-nilai keindonesiaan, dan juga menghormati hak asasi orang lain.  Begitulah kira-kira yang dapat saya rangkum, simpulkan dan yang dapat saya respon dari team sosialisasi RKUHP ini. 

Alhamdulillah, kita sudah tidak lagi menjadikan KUHP warisan Kompeni Belanda dan para penjajah negeri lainnya sebagai pedoman untuk mengadili warga negara sendiri, dan warga negeri asing yang harus atau terpaksa tunduk pada hukum pidana kita. Inilah hasil kerja keras putra-putri bangsa Indonesia yang sewajarnya kita apresiasi bersama. Dengan disahkannya RKUHP ini, semoga tidak ada lagi pelaku kejahatan yang mengelak untuk mendapatkan hukuman dengan dalih tidak mau dihukum dengan KUHP warisan penjajah !...(SHE).

06 Desember 2022.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama